Konten dari Pengguna

LPDP dan Alumninya yang Tak Mau Pulang

Rahmat Tri Prawira Agara
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
7 November 2024 9:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rahmat Tri Prawira Agara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perguruan Tinggi di Luar Negeri (Sumber: Pexel.com [Pixabay])
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perguruan Tinggi di Luar Negeri (Sumber: Pexel.com [Pixabay])
ADVERTISEMENT
LPDP merupakan program beasiswa milik pemerintah yang belakangan menjadi perbincangan khalayak ramai. Salah satu topik yang rutin menjadi perdebatan adalah banyaknya jumlah penerima beasiswa yang tidak kembali ke dalam negeri setelah selesai menempuh studinya.
ADVERTISEMENT
Kita mungkin kemudian teringat juga kasus Veronica Koman yang sempat ramai beberapa tahun yang lalu. Veronica adalah seorang penerima beasiswa LPDP yang berkuliah di Australia dan memutuskan untuk tidak pulang ke Indonesia. Karena sikapnya ini, banyak yang kemudian menyebutnya sebagai orang yang tidak tahu terima kasih, tidak nasionalis, dan perkataan lain sejenisnya.
Sebenarnya kasus alumni yang banyak menolak untuk pulang seperti ini bisa dilihat dari dua sisi. Pertama dari sisi penerima dan yang kedua dari sisi pemberi beasiswa. Dari sisi penerima beasiswa, keengganan untuk pulang itu dapat disebabkan karena hilangnya peluang berkarier jika kembali ke Indonesia.
Ketika seseorang telah berkuliah di luar negeri, mereka tentu sudah mendapatkan jejaring akademisi & praktisi, fasilitas riset yang memadai, dan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi. Jika mereka memilih pulang, semua privilege berupa jejaring, fasilitas riset, serta gaji yang tinggi itu tentu harus mereka tinggalkan.Tentu saja pilihan tersebut bukan hal yang mudah untuk diambil. Ditambah lagi ketika pulang, para alumni ini bisa jadi tidak memiliki prospek karier dan fasilitas yang setara seperti di tempat studi asalnya.
ADVERTISEMENT
Ambil contoh mereka yang belajar Teknik Nuklir. Apabila orang tersebut memilih untuk menekuni ilmu pembangkit daya berbahan nuklir, maka bisa dipastikan peluangnya untuk mengaplikasikan ilmunya di Indonesia sangat kecil. Karena sejauh ini, pembangkit listrik berbahan nuklir hanya ada 2 di Indonesia. Untuk mengembangkan dan menerapkan ilmunya secara maksimal, mereka perlu berkarier lebih lanjut di negara-negara yang memang sudah menjadikan nuklir sebagai salah satu sumber energi di dalam negerinya.
Sementara itu jika orang tersebut ingin fokus menjadi akademisi di bidang nuklir, pusat studi nuklir terbaik di dunia sejauh ini adalah lembaga CERN yang berlokasi di negara Swiss. Untuk melakukan riset dan pembelajaran secara intensif dan mendalam, tentu mereka harus tinggal dan melakukan riset di negara Swiss, bukan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Seandainya pun mereka pulang, apakah laboratorium atau pusat riset di Indonesia dapat menyediakan fasilitas yang setara dengan CERN untuk mewadahi riset-riset di bidang nuklir? Nah, di sinilah kemudian dilema untuk kembali pulang ke Indonesia itu muncul dan banyak alumni LPDP yang akhirnya memilih untuk tidak kembali.
Namun disisi lain, permintaan penyelenggara beasiswa LPDP agar para alumninya pulang juga bisa dibilang tidak salah. Biaya beasiswa LPDP diambil dari APBN dan jumlahnya tidak kecil. Ibarat sebuah investasi, mereka yang disekolahkan di luar negeri diharapkan dapat kembali pulang dengan ilmu yang mereka dapat setelah lulus untuk mendorong kemajuan dan inovasi di dalam negeri sesuai dengan bidang ilmunya masing-masing. Ketika para alumni tersebut tidak kembali, maka imbal balik dari investasi yang dilakukan oleh LPDP tentu akan hilang dan tidak dapat dirasakan manfaatnya untuk negara.
ADVERTISEMENT
Bila kita lihat secara lebih saksama, sepertinya salah satu celah utama dalam klausul perjanjian LPDP adalah tidak adanya batasan yang jelas apa yang harus dilakukan alumni ketika mereka kembali ke Indonesia. Adanya frasa "berkontribusi untuk negara" memiliki makna yang sangat luas. Karena tidak ada penjelasan spesifik mengenai bentuk pengabdian itu, maka bentuknya dapat bermacam-macam. Mulai dari melakukan riset, mengajar, mengerjakan proyek pemerintah, menjadi pegawai negeri sipil, dan berbagai macam bentuk kontribusi lainnya.
Pertanyaan kedua yang muncul adalah apakah semua bentuk pengabdian tersebut harus dilakukan dengan pulang ke Indonesia? Karena seperti contoh kasus yang telah disebutkan di atas, ada beberapa bidang ilmu yang fasilitas dan sarananya belum memadai di Indonesia. Sehingga untuk melakukan pengabdian berupa riset dan mengajar, akan lebih masuk akal apabila mereka dibiarkan untuk tetap berada di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Tetapi apabila pemerintah tetap bersikeras untuk mewajibkan alumni untuk kembali ke Indonesia, akan lebih baik apabila pemerintah menyediakan skema-skema pengabdian yang jelas untuk para alumni tersebut. Entah dengan merekrut mereka sebagai konsultan ahli pada proyek pemerintahan, menjadi pengajar pada universitas dan sekolah-sekolah negeri, direkrut sebagai peneliti di lembaga-lembaga riset pemerintah, dan berbagai macam skema pengabdian yang lain. Sehingga ketika mereka pulang, mereka mendapat wadah yang pasti untuk dapat berkontribusi dan tidak dibiarkan kebingungan harus melakukan apa setelah kembali ke Indonesia.
Tetapi hal penting yang perlu diingat juga, beasiswa itu pada dasarnya adalah kontrak perjanjian yang memiliki hak dan kewajiban tertentu yang harus dipenuhi. Jika di awal penyelenggara beasiswa memang mensyaratkan para alumni untuk pulang setelah menyelesaikan studi, maka penerima beasiswa mau tidak mau harus kembali pulang ke Indonesia. Perjanjian kontrak tersebut harus dihormati dan memiliki sanksi jika dilanggar.
ADVERTISEMENT
Jika memang sejak awal para penerima tidak berniat untuk kembali ke Indonesia setelah lulus, akan lebih baik jika di awal memilih beasiswa lain yang tidak mensyaratkan hal tersebut. Atau jika ternyata ada kondisi tertentu yang menghalangi untuk pulang ke Indonesia, penerima beasiswa dapat mengkomunikasikannya dengan pengelola beasiswa untuk diberikan keringanan berupa penundaan waktu pulang atau memberikan skema pengabdian lain yang dapat dilakukan alumni di luar negeri.
Selama alumni memiliki itikad baik dan mengkomunikasikannya dengan pengelola beasiswa, maka tidak ada salahnya apabila LPDP dapat mempertimbangkan untuk memberikan skema pengabdian yang beragam kepada alumninya sesuai dengan kapasitas dan kondisi dari masing-masing alumni tersebut.
Tetapi jika memang alumni tersebut tidak memiliki itikad baik, tidak berkomunikasi dengan baik, dan menggunakan LPDP untuk kepentingan pribadinya saja seperti misalnya dengan memalsukan bukti kepulangan di Indonesia atau kemudian memilih berganti kewarganegaraan setelah selesai studi, maka alumni seperti ini dapat dikenakan sanksi untuk mengembalikan dana beasiswa secara penuh.
ADVERTISEMENT
Dengan melakukan perbaikan-perbaikan yang mempertimbangkan kepentingan aspek penerima dan pengelola beasiswa secara seimbang semoga saja ke depannya LPDP memang dapat difungsikan sebagaimana tujuan utamanya, yaitu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memajukan inovasi di Indonesia. Bukan seperti kritik publik yang menyebutnya sebagai alat untuk membiayai orang-orang jalan semata.