Konten dari Pengguna

Kasak-kusuk Pembinaan Sepak Bola Indonesia

Muhammad Raihan Azmi
Mahasiswa Jurusan Sejarah,Universitas Negeri Semarang
6 Oktober 2023 13:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Raihan Azmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sepak bola Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sepak bola Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangan sepak bola yang telah berlarut-larut dilakukan, kerugian besar telah sama kita rasakan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Ketidakhadirannya prestasi menjadi suatu ideologi yang sudah mendarah daging di dalam diri sepakbola kita.
ADVERTISEMENT
Liga atau timnas, dahulunya terlihat sama, hanya ada kegagalan yang membayang. Sekian tahun berlalu dan berjalan, sepak bola "dagelan" ini terus mengalami sebuah revolusi.
Tahun ini, di tahun 2023, masa depan sepak bola kita terbilang cerah untuk dipandang. Berbagai prestasi yang cukup membanggakan jadi bukti bahwa sepakbola kita sudah mulai berubah dari sebelumnya.
Tetapi, tidak berarti bukti itu jadi cukup menggambarkan bahwa sepakbola ini telah kembali pulih, masih banyak problem lain yang menghantui masa depan sepakbola kita. Salah satunya adalah pembinaan.
Riset serta data menunjukkan bahwa progres sepak bola kita secara tidak langsung telah mengalami sebuah kemandekan dalam proses perjalanannya. Tidak hanya dalam hal prestasi, namun juga dalam hal pembinaan—suatu titik yang menjadi tolak dasar dari adanya perubahan dalam sepak bola nasional. Inkonsistensi program dan berubahnya kurikulum pembelajaran telah menjadi penghambat utama dari kemajuan sepak bola kita.
ADVERTISEMENT
Pembinaan telah menjadi PR besar dari sebabnya kita tidak bisa masuk Piala Dunia. Semua hanya terus bermimpi tanpa tau berjalan, itulah yang mungkin kita rasakan beberapa tahun yang lalu.
Ilustrasi bermain sepak bola. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Seketika tebersit sebuah pertanyaan dalam diri saya: Sebenarnya sudah berapa puluh program pembinaan yang telah dicanangkan oleh para ketua PSSI di setiap periode kepemimpinannya—hingga kita tidak bisa masuk piala dunia?
Semuanya bagus dilakukan. Dasar pembinaan pada mulanya adalah untuk menjaring bibit-bibit potensial yang ada di usia muda, namun tidaklah baik ketika cara program itu terus berubah tiap tahunnya.
Hari ini kita melihat sentimen orang-orang yang negatif terhadap pemain muda kita, terhadap pemain lokal kita, ataupun terhadap pelatih lokal kita. Tapi, sebenarnya apa yang bisa diharapkan dan siapa yang harus disalahkan—dari kenyataan bahwa mereka tidak sebaik pemain luar?
ADVERTISEMENT
Saya yakin mereka semua cinta sepakbola, tapi masalahnya siapa yang menciptakan iklim sepak bola ini sejak mereka muda? Dan siapa yang membuat permainan mereka seperti ini?
Kita tidak bisa menyalahkan bahwa perkembangan sepak bola kita berjalan secara buruk dan tradisional. Coba saja liat dari fasilitasnya. Atau, yang paling kentara melalui cara permainannya.
Dari beribu-ribu orang yang hidup melalui sepak bola, beberapa orang sadar bahwa sepak bola kita sedang tidak baik-baik saja? Dan, sebagian sisanya mungkin tidak peduli dengan sepak bola itu sendiri. Mereka hanya fokus bagaimana nasib hidup mereka ke depannya.
Timnas U-24 Indonesia menghadapi Kirgistan dalam Asian Games 2022 di Hangzhou, China, Selasa (19/9/2023). Foto: NOC Indonesia
Bagi saya, PSSI telah menjadi benalu dari hadirnya situasi yang tidak stabil di dalam lika-liku perjalanan sepak bola kita. Dalam setiap pergantian kepemimpinan, mereka seakan terlihat tidak menoleh ke belakang untuk melihat apa yang seharusnya diubah, serta hal apa yang harus dipertahankan.
ADVERTISEMENT
Mereka hanya melihat kesalahan total dalam kejadian sebelumnya. Dalam toreh kepemimpinannya, mereka cenderung memandang yang lalu adalah sebuah kesalahan tanpa penilaian yang lebih dahulu dilalui.
Setiap perbuatan baik harus dipertahankan. Sedangkan hal buruk harus cepat dihindarkan dan diubah keadaannya. Begitulah semestinya yang harus dilakukan.
Namun, sepak bola di Indonesia adalah tempat yang ramai dan mengundang banyak jerat umpan untuk masuk ke dalamnya. Penggemar yang hampir jutaan, penonton yang menyentuh angka ribuan, serta orang-orang yang berada dalam permainan yang jumlahnya tidak kurang dari 22 orang, semuanya hidup dari sepak bola. Semua berputar dalam roda yang telah dibuat sebagai suatu siklus alami dari adanya sepak bola.
Di sisi lain, siklus lama juga terus kembali berulang, salah satunya adalah ketika memasuki proses pergantian jabatan. Semua orang sibuk dengan kepentingannya masing-masing. Orang lama sibuk untuk mempertahankan kedudukannya, sedangkan orang baru terlihat sibuk dengan urusan segala perubahan dan pencitraan berupa aksi nyata.
ADVERTISEMENT
Mereka secara tidak langsung mengubah beberapa instrumen vital dalam sepak bola sebagai suatu inovasi terbarukan. Namun ujung-ujungnya, mereka hanya mengulang—dengan membuka ruang baru dan meninggalkan yang lalu. Itulah yang kemudian dikerjakan.
Ilustrasi PSSI. Foto: ADEK BERRY/AFP
Kembali dalam cerita, tentang dongeng masuk piala dunia, jalan pintas pun kemudian dilalui. Sampai hari ini, naturalisasi pun gencar dilakukan. Erick, menurut hemat saya, menjadi tokoh yang seakan menyenangkan publik sepak bola tanah air dengan hal yang memantik kegembiraan sesaat.
Solusi cepat selalu jadi jalan yang ia gunakan untuk membereskan semua kebusukan yang terjadi di sepak bola. Tapi tak ada yang bisa dilakukan secara instan di dunia ini. Proses hidup dan pencapaian, kesemuanya lahir dari adanya konsistensi. Tidak ada cara cepat untuk menjadi "Brasil" atau paling dekat menjadi "Jepang" di dalam sepak bola.
ADVERTISEMENT
Untuk Brasil, sejak dulu, itulah makanan sehari-hari mereka. Jadi wajarlah mereka bisa jadi seperti itu. Namun, bagaimana dengan Jepang? Tiga sampai empat dekade yang lampau, mereka cuma angin lalu bagi sepak bola Indonesia. Tapi kini kondisinya berbalik 360 derajat keadaannya.
Tidak hanya Erick, bermacam tekanan itu juga semakin nyata diteriakkan oleh para peminat sepak bola garis keras. Berbagai kesimpulan liar juga selalu mendekam dalam pikiran masyarakat sepak bola kita yang "ramah".
Mereka selalu menuntut sepak bola untuk melaju selevel di Asia. Padahal baru saja terlihat cahaya di depan, tapi seakan-akan kita sudah sampai di sana. Atau, bahkan mendekatinya.
Pada akhirnya semuanya hanya menjadi angan-angan yang belum dapat direalisasikan. Ketika kita punya mimpi, maka proses yang dilakukan harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
ADVERTISEMENT
Jujur, selama beberapa-tahun menonton sepak bola kita, saya melihat banyak potensi yang dapat dihadirkan dengan baik. Mereka telah berjalan sebagai tokoh individu yang menginspirasi. Sebut saja nama Andik, Pahabol, Oktavianus Maniani, atau yang baru-baru ini terlihat Marselino Ferdinand.
Marselino Ferdinan saat membela KMSK Deinze di pramusim jelang kompetisi 2023/24. Foto: Instagram @kmskdeinze
Perbaikan di akar rumput sudah seharusnya menjadi fokus utama yang langsung dibenahi oleh federasi. Tidak hanya pada pemahaman filosofi, namun juga pada penyediaan fasilitas yang lebih layak dan berstandar.
Pembuatan anggaran jangan lagi difokuskan pada hal-hal yang tidak perlu dan beberapa harus dialihkan pada anggaran pembinaan. Ini hanya masalah waktu dan uang. Ketika hari ini kita sudah membina dan memberi secara maksimal, maka di kemudian hari kita akan menuai hasilnya.