Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jugun Ianfu: Aku yang Dijual Kepala Desaku
4 Juni 2022 8:22 WIB
Tulisan dari Raihan Jasmine Alisahaq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika kalian ingat masa penjajahan yang dilakukan Jepang ke Indonesia, yang pastinya melekat dibenak kalian yakni kejadian “Romusa.” Yang dimana, Romusa ini merupakan sistem kerja paksa yang diluncurkan oleh pemerintahan Jepang terhadap masyarakat Indonesia yang terikat dengan kontrak kerja. Walaupun ada kontrak kerja tidak menjamin keamanan para pekerjanya, mereka banyak mendapatkan perlakuan kekerasan, kelaparan, hingga pembunuhan. Jikalau mereka mencoba untuk melakukan perlawanan rasanya sia-sia saja, karena nantinya akan mendapatkan kekerasan lebih kejam lagi.
ADVERTISEMENT
Kerja paksa ini terjadi karena adanya peralihan sistem kedudukan pemerintahan Belanda ke pemerintahan Jepang. Pada keadaan ini, pemerintahan terjadi depresi ekonomi yang tidak mampu disokong sendiri. celah tersebut dimanfaatkan pemerintah Jepang untuk mengambil keuntungan dari Indonesia dengan dalih memberikan bantuan Rakyat Indonesia. Akhirnya, Romusa dibentuk untuk menjadi pioner dalam membangun negara Indonesia.
Kerja paksa ini memiliki banyak sisi gelap, konsep kerja paksa ini menjadikan laki-laki sebagai budak pekerja dan perempuan menjadi budak pemuas hasrat atau nafsu binal para tentara Jepang. Sedangkan dikeadaan lain perempuan terlibat di beberapa aksi, kepentingan-kepentingan yang bersifat formal (Fujinkai) ataupun informal yakni jugun ianfu. Berbeda dengan kepentingan yang bersifat formal yakni fujinkai yang bisa di bicarakan oleh khalayak umum, tetapi untuk pelaku jugun ianfu ini dibungkam dan mendapatkan pengucilan dari orang-orang apabila diketahui latar belakang mereka yang dahulu sebagai pekerja seks komersial pada masa penjajahan Jepang. Mungkin, dari kalian masih asing dengan kata jugun ianfu atau untuk memudahkan yakni sebutan untuk wanita penghibur pada masa penjajahan Jepang di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam praktik jugun ianfu para perempuan diperlakukan tidak manusiawi dan dimanfaatkan tubuhnya untuk “pendukung perang” yang lebih condong ke eksploitasi sebagai budak pelampiasan seksual para tentara Jepang. Ternyata praktik jugun ianfu ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dilakukan di Thailand, Filipina, Myanmar, Vietnam, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), India, Belanda, Eurasia, dan kepulauan Pasifik (Listiyanti, 2008).
Dalam sistem perekrutan perempuan yang akan dipekerjakan sebagai jugun ianfu ini dilakukan tertutup, berbeda dengan perekrutan romusa yang dilakukan secara terang-terangan. Sistem perekrutan jugun ianfu dilakukan oleh pemerintah militer Jepang dengan tiga cara yakni (1) Perekrutan sukarela, (2) Pemaksaan secara besar-besaran dan juga penculikan dengan kekerasan atas para perempuan, (3) Perekrutan melalui para agen dan berkolaborator mendatangi desa-desa dengan memberikan janji palsu akan memberikan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian. Praktik perekrutan jugun ianfu biasanya pemerintah militer Jepang akan meminta bantuan dari para pejabat daerah, lurah, camat, dan juga kepala desa.
ADVERTISEMENT
Pada novel Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku Miyako karya E. Rokajat Asura yang menjelaskan dan memberi gambaran kejadian jugun ianfu dalam narasinya. Novel ini menyebutkan nama-nama jugun ianfu beserta daerah asalnya yakni Lasmirah (Miyako), Mintarsih (Sakura), Rosa (Ayumi) dan masih banyak lagi. Mereka semua berasal dari Jawa yang dijemput lalu dibawa ke Surabaya dan ditempatkan di kamp. Ianp-jo yang berada di Telawang, Kalimantan Selatan. Namun yang dibawa ke kamp tersebut hanya 24 orang dari 40 orang dan setelah itu masih ada lagi gelombang-gelombang penambahan jugun ianfu di kamp. Ian-jo Telawang.
Serta, pada novel tersebut disebutkan bahwa Lasmirah (Miyako) sangat ingat benar bagaimana Rosa (Ayumi) dijual oleh kepala desanya kepada tentara Jepang, yang awalnya Rosa mengira dia akan dijadikan gundik tentara Jepang, tetapi dugaannya meleset karena dia dijadikan jugun ianfu di kamp. Ian-jo Telawang dan menempati kamar nomor lima. Alasan dijualnya Rosa oleh kepala desanya kepada tentara karena ayahnya memiliki utang kepada kelapa desa, juga pada saat itu posisi anak perempuan seakan-akan tidak penting dilihat dari mudahnya ayah rosa menyerahkan dirinya kepada kepala desa.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, di kamp. Ian-jo para perempuan jugun ianfu ini dipaksa melayani sekitar 10-20 orang tentara Jepang dalam melepaskan hawa nafsu binalnya. Tetapi, di sana pun mereka tetap diberikan beberapa fasilitas yakni makan, cek kesehatan, kamar tidur. Untuk fasilitas makan mereka yang awalnya diberi lauk daging, akan tetapi lambat laun menjadi berkurang karena banyaknya jugun ianfu yang awalnya makan 3 kali sehari menjadi satu kali sehari.
Lalu, untuk fasilitas kamar yang digunakan untuk melayani para tentara ini ditaruh agak jauh dari permukiman dan tetap diawasi secara ketat. Jika dilihat dari cerita para mantan jugun ianfu, apabila mereka menolak permintaan untuk melayani tentara Jepang maka akan diberi hukuman dengan cara ditendang dan juga ditampar. Bahkan, ada dari mereka yang bernama Giyah yang tubuhnya menjadi kurus dan akhirnya meninggal dunia, tetapi tubuhnya hanya ditumpuk bersamaan dengan korban romusa dan dibiarkan membusuk begitu saja di Pasar Lama (Poesponegoro dkk, 2008).
ADVERTISEMENT
Adapun Kapitan Takeda yang terkenal dengan kekejamannya dan dia hanya mau dilayani oleh perempuan yang dianggapnya cantik. Jika perempuan itu menolak, maka dia tidak segan-segan untuk membunuhnya. Sebenarnya, para jugun ianfu ini diberikan tawaran untuk mendapatkan uang jika mereka telah selesai bekerja di sana dengan cara menukarkan tiket karcis yang diperoleh dari para tentara, akan tetapi hingga saat ini tidak ada kejelasan akan nasib mereka.
Berbeda dengan korban romusa yang dapat meminta keadilan dengan terbuka, untuk kasus ini para wanita jugun ianfu enggan melakukannya karena malu dan takut dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya. Faktor lainnya karena adanya cap sebagai wanita penghibur yang sangat dijadikan momok cemoohan dan dianggap hina.
ADVERTISEMENT
Banyak dari mereka yang mengalami cacat fisik dan juga psikis karena kejadian itu. Juga untuk pihak Jepang sendiri tidak ingin mengakui akan kejadian tersebut karena menurut mereka buktinya kurang kuat, hingga pada akhirnya kasus perkara perbudakan seks selama pendudukan Jepang (1942-1945) ditangani oleh LBH Yogyakarta yang dibantu CFR (Citizens Fund For Redress World II Victimis in Asia And The Pasific). Hasilnya didapatkan sebuah kesepakatan, yakni dana kesehatan bagi korban jugun ianfu sebesar 50.000 yen setiap bulan. Selain itu, LBH Yogyakarta berharap pemerintah Indonesia tidak lepas tangan atas nasib korban jugun ianfu yang masih tersisa. Pada akhirnya pemerintah Jepang mengakui praktik jugun ianfu selama masa pendudukan di Indonesia. Pemerintah Jepang tetap tidak melakukan permintaan maaf secara pribadi terhadap mantan jugun ianfu. Pemerintah Jepang berdalih jika praktik perbudakan seks dilakukan pihak swasta atau perorangan. Pihak Jepang memberikan dana santunan sejumlah 380 juta yen yang diangsur selama 10 tahun. Pada 25 Maret 1997 pemerintah Indonesia dan Jepang melakukan Memorandum Of Understanding (MoU) terkait pemberian dana kompensasi korban jugun ianfu (Hindra & Kimura, 2007).
ADVERTISEMENT
Referensi:
Hallatu, Trinovanto George Reinhard. 2015. Dampak Psiko-Sisoal pada Mantan Jugun Ianfu. Pend. Guru Sekolah Dasar: Unmus. Vol 4 (1)
Martin, Megasaari. dkk. Bias Gender dalam Novel , Jugun Ianfu: Jangan Panggil Aku Miyako Karya Rokajat Asura: Suatu Kajian Feminisme. FKIP Univ. Muhammadiyah, Sumatra Barat. E-ISSN: 2580-3255
Pradita, Silvy Mei. 2019. Jugun Ianfu Indonesia: Budak Seks Jepang (Sejarah Kelam Masa Lalu dan Tindakan Pemerintah Indonesia dalamJepang terhadap Kasus Jugu Ianfu. Prodi Pend. Sejarah: STKIP Persatuan Islam. Vol 2 (1)
Rahma, Astrid Dwi. 2020. Jugun Ianfu: Kekerasan Seksual terhadap Perempuan pada Masa Pendudukan Jepang di Jawa Barat Tahun 1942-1945. Chronologia. Vol 1 (3).
Wargiati, Laila. Dkk. 2021. Jugun Ianfu dan Hegemoni Jepang di Indonesia: Sejarah Perbudakan Seks dalam Narasi Sastra. UIN Sunan Ampel: Surabaya. Vol 3 (2).
ADVERTISEMENT