Konten dari Pengguna

Epistokrasi sebagai Pelengkap Sistem Demokrasi

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Direktur Eksekutif Amnesty UNNES
18 Juni 2023 11:53 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi epistokrasi. Foto: nuvolanevicata/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi epistokrasi. Foto: nuvolanevicata/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Disukai tidak disukai, disadari tidak disadari, demokrasi telah menghasilkan kekacauan yang menghasilkan wakil rakyat bobrok dan masyarakat yang jeblok. Jauh sebelum adanya peradaban seperti sekarang ini, Sokrates telah mewanti-wanti mengenai bobroknya sistem demokrasi.
ADVERTISEMENT
Kata demokrasi bersumber dari bahasa Yunani, yakni demos yang berarti rakyat dan kratos berarti pemerintahan atau kekuasaan. Sederhananya, demokrasi didefinisikan sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dengan demikian, dalam sistem pemerintahan yang demokratis, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat—entah rakyat yang berkualitas dan berpendidikan entah rakyat yang kriminal, tidak cerdas, dan tidak berpendidikan.
Para filsuf juga sering mengkritik demokrasi sebagai mobokrasi atau rule of the crowd alias diperintah oleh massa. Jika kita mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mobokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang dipegang dan dipimpin oleh rakyat jelata yang tidak tahu seluk-beluk pemerintahan.
Ilustrasi kualitas mengalahkan kuantitas. Foto: pogonici/Shutterstock
Agaknya demokrasi terdapat banyak kelemahan yang berdampak buruk bagi sistem pemerintahan suatu negara, sehingga perlu adanya sistem pelengkap yang bisa mendampinginya, yakni sistem epistokrasi.
ADVERTISEMENT
Jason Brennan, seorang profesor dan penulis yang dikenal dengan karya-karyanya mengenai filosofi politik dan etika, di dalam bukunya yang berjudul Against Democracy, beliau menyatakan bahwa demokrasi seperti yang kita kenal sekarang, punya banyak kelemahan.
Menurut beliau, tidak semua individu punya pengetahuan, pemahaman, atau kompetensi yang cukup tentang politik untuk membuat keputusan yang berinformasi dan bijaksana.
Dengan memberikan hak suara kepada semua warga negara tanpa mempertimbangkan pengetahuan atau kompetensi mereka, demokrasi bisa membuka jalan bagi keputusan yang buruk, yakni bisa merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Sebagai alternatif, Brennan mengusulkan konsep yang epistokrasi, yang mana kekuasaan politik diberikan berdasarkan pengetahuan atau kompetensi. Menurut Brennan, ini bisa membantu memastikan bahwa keputusan politik dibuat oleh orang-orang yang memiliki pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu yang relevan.
ADVERTISEMENT
Secara etimologi, epistokrasi bersumber dari bahasa Yunani, yakni episteme yang berarti pengetahuan dan kratos yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Sehingga, secara harfiah, epistokrasi diartikan sebagai kekuasaan pengetahuan.
Ilustrasi orang cerdas. Foto: ImageFlow/Shutterstock
Brennan mengungkapkan gagasan yang radikal dengan mengganti sistem pemerintahan demokrasi—sistem pemerintahan yang dilebih-lebihkan—dengan epistokrasi, yang dianggap lebih ideal diterapkan di pelbagai negara. Karya Brennan yang berjudul Against Democracy merupakan kritik serius terhadap fondasi moral dan struktural demokrasi.
Demokrasi dinilai tidak adil karena melanggar yang disebut hak kompetensi, yang mana setiap orang mesti tunduk kepada keputusan politik yang bisa dibuat secara tidak kompeten oleh orang yang juga tidak kompeten.
Sebetulnya, Brennan merupakan seorang penggemar sekaligus kritikus demokrasi. Beliau seorang pendukung demokrasi dalam beberapa hal, tetapi juga seorang kritikus terhadap aspek-aspek tertentu dari demokrasi. Brennan percaya bahwa demokrasi memiliki nilai-nilai tertentu, seperti inklusivitas dan partisipasi publik.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, beliau juga menyoroti bahwa demokrasi sering kali memberikan hak suara kepada individu yang mungkin tidak punya pengetahuan atau pemahaman yang cukup tentang isu-isu politik, yang dapat membuka jalan bagi keputusan politik yang buruk, sehingga konsep epistokrasi bisa menghasilkan keputusan politik yang lebih baik dan membantu menghindari beberapa masalah yang sering muncul dalam demokrasi.
Brennan menyatakan bahwa ada efek samping dari sistem demokrasi, yakni mendorong warga untuk menjadi bodoh, irasional, kesukuan, dan tidak menggunakan suara mereka dengan cara yang sangat serius.
Di dalam konsep epistokrasi dinyatakan bahwa individu yang punya pengetahuan atau pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu politik cenderung membuat keputusan politik yang lebih baik.
Dalam sistem ini, semua warga negara diberikan hak untuk memilih, tetapi suara beberapa warga negara diberi bobot lebih berdasarkan pengetahuan politik mereka. Misalnya, seorang profesor ilmu politik mungkin punya suara yang lebih berat daripada rata-rata warga negara.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem epistokrasi, warga negara mesti melewati tes pengetahuan politik sebelum mereka diizinkan untuk memilih. Tes ini mungkin mencakup pertanyaan tentang struktur pemerintahan, isu-isu utama dalam pemilihan, dll.
Brennan juga berpendapat, walaupun demokrasi mempunyai beberapa nilai, kita juga mesti mempertimbangkan alternatif yang mungkin lebih efektif dan adil. Beliau bilang bahwa epistokrasi, atau pemerintahan oleh orang-orang yang berpengetahuan, bisa menjadi solusi yang lebih baik.
Ilustrasi orang yang sedang merawat pikiran. Foto: Pictrider/Shutterstock
Meskipun demikian, pandangan Jason Brennan mengenai demokrasi juga banyak dikritik, salah satunya oleh Profesor Ilmu Politik di Indiana University, James H. Rudy. Di dalam tulisannya, beliau menyatakan kalau argumen Brennan terhadap demokrasi sangat cacat karena menganggap warga negara yang bodoh secara rasional dan sering memfitnah.
Brennan juga dikritik oleh para demokrat (huruf kecil semua) yang berpendapat bahwa, meskipun demokrasi punya kekurangan, itu masih merupakan sistem terbaik yang dimiliki untuk memastikan kesetaraan dan keadilan bagi semua warga negara. Selain itu, ada pertanyaan yang valid tentang bagaimana "pengetahuan" atau "kompetensi" mesti didefinisikan dan diukur dalam konteks politik.
ADVERTISEMENT
Sistem penentuan dan pengukuran pengetahuan atau kecerdasan dalam konsep epistokrasi juga masih dipertanyakan. Dalam konteks ini, konsep ini juga dianggap diskriminasi dan tidak adil untuk semua kalangan. Selain itu, ada juga kekhawatiran tentang apakah epistokrasi bisa menghargai prinsip-prinsip demokratis seperti kesetaraan dan inklusivitas.
Penerapan epistokrasi juga berisiko serius bahwa sistem seperti itu dapat dieksploitasi untuk melayani kepentingan elit tertentu (elitis) dan mengurangi partisipasi demokratis, dan banyak yang berargumen bahwa hak untuk berpartisipasi dalam proses politik tidak mesti bergantung pada tingkat pengetahuan atau pendidikan seseorang, tetapi mesti dianggap sebagai hak asasi manusia (HAM).
Walaupun konsep epistokrasi Jason Brennan banyak dikritik, tetapi konsep ini tidak sepenuhnya salah dan buruk. Sistem demokrasi yang ada juga tidak sepenuhnya buruk, maka tidak perlu digantikan. Epistokrasi bisa menjadi pelengkap untuk mengatasi kelemahan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Epistokrasi sebagai pelengkap sistem demokrasi bisa menjadi ide yang menarik, meski juga memunculkan beberapa tantangan dan pertanyaan penting. Ide ini didasarkan pada gagasan bahwa sementara demokrasi sangat penting untuk memastikan keadilan dan kesetaraan, ada beberapa aspek di mana sistem ini bisa diperbaiki, dan epistokrasi mungkin menawarkan beberapa solusi potensial.
Ilustrasi sistem epistokrasi sebagai pelengkap sistem demokrasi. Foto: Lightspring/Shutterstock
Demokrasi beroperasi berdasarkan prinsip bahwa semua warga negara punya suara yang sama dan hak yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik. Namun, ini juga berarti bahwa suara mereka yang tidak berpengetahuan atau tidak berminat dalam politik memiliki bobot yang sama dengan mereka yang menghabiskan waktu dan energi untuk memahami isu-isu yang kompleks.
Tentu saja, ada banyak tantangan praktis dan etis yang perlu diatasi. Bagaimana kita menentukan dan mengukur "pengetahuan politik"? Bagaimana kita memastikan bahwa sistem ini tidak diskriminatif atau merugikan kelompok-kelompok tertentu? serta bagaimana kita memastikan bahwa itu tidak merusak prinsip-prinsip demokrasi penting, seperti kesetaraan dan inklusivitas?
ADVERTISEMENT
Mengingat semua pertanyaan dan tantangan ini, perlu dilakukan lebih banyak penelitian dan diskusi untuk mengeksplorasi bagaimana konsep epistokrasi dapat diintegrasikan ke dalam sistem demokrasi yang ada.
Terdapat pendekatan yang bisa membantu mengintegrasikan aspek-aspek tertentu dari konsep epistokrasi ke dalam sistem demokratis, seperti memastikan bahwa setiap warga negara punya pengetahuan dasar yang diperlukan untuk membuat keputusan politik yang berpengetahuan, pendidikan politik mesti ditingkatkan dan diakses oleh semua orang.
Kemudian, dengan adanya proses deliberatif menjadi salah satu upaya efektif dalam mencapai prinsip penting epistokrasi, yakni mengambil keputusan politik berdasarkan pengetahuan daripada preferensi pribadi. Dalam proses ini, warga negara berpartisipasi aktif dalam diskusi terbuka mengenai isu-isu politik, yang dapat dilakukan melalui forum komunitas, jaringan online, atau pertemuan publik lainnya.
ADVERTISEMENT
Beberapa bentuk demokrasi, seperti demokrasi deliberatif atau demokrasi partisipatif, menyoroti pentingnya mewakili pelbagai sektor masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Salah satu cara untuk memperluas representasi ini adalah dengan mempertimbangkan perwakilan khusus bagi individu yang memiliki keahlian khusus dalam topik yang sedang dibahas.
Di sinilah konsep epistokrasi bisa menjadi pelengkap yang berharga. Dengan memberikan lebih banyak bobot pada suara mereka yang memiliki pengetahuan politik yang lebih baik, sistem ini bisa mendorong keputusan politik yang lebih berinformasi dan lebih bijaksana.
Akan tetapi, penting untuk menekankan bahwa epistokrasi sebagai pelengkap bukan pengganti demokrasi. Hal ini semestinya tidak berarti menghilangkan hak semua warga negara untuk berpartisipasi dalam proses politik, tetapi lebih pada mencari cara untuk memperbaiki dan memperkuat proses tersebut dengan lebih menghargai pengetahuan dan keahlian.
ADVERTISEMENT