HANI 2023: Menyelisik Pro dan Kontra Legalisasi Ganja untuk Medis

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
26 Juni 2023 12:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah besar bunga ganja tangan konsep karyawan Medetsinsky budidaya berlimpah. Foto: Dmytro Tyshchenko/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah besar bunga ganja tangan konsep karyawan Medetsinsky budidaya berlimpah. Foto: Dmytro Tyshchenko/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setiap tanggal 26 Juni, seluruh dunia—termasuk Indonesia—memperingati Hari Anti-Narkotika Internasional alias HANI. Pada 7 Desember 1987, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan untuk menetapkan tanggal 26 Juni sebagai Hari Anti-Narkotika Internasional sebagai upaya bersama internasional untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah yang disebabkan oleh penyalahgunaan dan perdagangan gelap narkotika. Keputusan ini diambil berdasarkan Resolusi 42/112.
ADVERTISEMENT
Peringatan HANI mempunyai beberapa tujuan penting, antara lain untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai isu global penyalahgunaan narkoba dan berusaha meraih tujuan dunia tanpa narkoba. Ini juga dirancang untuk mendidik masyarakat tentang risiko penyalahgunaan narkotika dan mendorong pencegahannya.
Selain itu, peringatan ini memberikan kesempatan untuk menunjukkan solidaritas global terhadap mereka yang menderita akibat penyalahgunaan narkoba, dan mempromosikan strategi baru dan kerja sama antarnegara dalam menangani masalah ini.
Hal yang sering menjadi sorotan dunia internasional, termasuk masyarakat Indonesia adalah mengenai legalisasi ganja untuk medis. Ada pro dan kontra di masyarakat, pihak pro legalisasi ganja menilai bahwa ganja memiliki segudang manfaat, khususnya dalam dunia kesehatan. Pihak yang kontra menolak wacana ini dikarenakan bertentangan dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang memuat pelanggaran pidana dalam kepemilikan ganja.
ADVERTISEMENT

Sekilas tentang Ganja

Gambar daun ganja. Foto: Stereo Lights/Shutterstock
Ganja, juga dikenal dengan nama mariyuana atau kanabis, merupakan tanaman yang digunakan manusia selama berabad-abad, baik untuk tujuan kesehatan, hiburan, atau spiritual. Ganja menghasilkan pelbagai senyawa yang disebut cannabinoid, yang berpengaruh pada tubuh kita.
Merujuk pada National Institute on Drug Abuse, dua cannabinoid paling terkenal adalah tetrahydrocannabinol (THC) dan cannabidiol (CBD). THC memberikan efek mabuk atau bahagia pada pengguna, sementara CBD tidak memberikan efek seperti itu dan justru diteliti sebagai obat untuk beberapa kondisi medis seperti epilepsi, kecemasan, dan nyeri kronis. Penggunaan ganja seringkali menjadi topik perdebatan dan kontroversi.
Ada bukti yang menunjukkan manfaat ganja untuk kesehatan, tetapi ada juga kekhawatiran tentang risiko penyalahgunaan dan efek jangka panjangnya terhadap kesehatan fisik dan mental. Hukum tentang ganja berbeda-beda di setiap negara dan daerah.
ADVERTISEMENT
Di beberapa tempat, ganja dilegalkan atau hukumannya dikurangi, baik untuk tujuan medis atau hiburan. Namun, di tempat lain, ganja masih dianggap sebagai narkoba ilegal dan penggunaannya dilarang.
Meski terdapat potensi medis dari ganja, bukan berarti ganja aman untuk digunakan oleh semua orang dalam setiap situasi. Penggunaan ganja dalam jumlah besar atau jangka panjang bisa terjadi penyalahgunaan, termasuk penyalahgunaan, ketergantungan, dan efek buruk pada kesehatan mental dan fisik.

Ganja Tidak Perlu Dilegalisasi Meski untuk Keperluan Medis

Ilustrasi penelitian tanaman ganja oleh ilmuwan. Foto: OMfotovideocontent/Shutterstock
Pakar kesehatan menilai bahwa sebetulnya ganja tidak perlu dilegalisasi meskipun untuk keperluan medis. Merujuk pada laman resmi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Apt. Zullies Ikawati, Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, berpendapat bahwa legalisasi ganja, bahkan untuk tujuan medis, tidak seharusnya diterapkan karena ganja, dalam bentuk aslinya, mengandung tetrahydrocannabinol (THC), sebuah senyawa psikoaktif yang dapat memengaruhi psikis pengguna dan menimbulkan ketergantungan.
ADVERTISEMENT
Beliau menyatakan bahwa senyawa turunan ganja, seperti cannabidiol (CBD), yang tidak memiliki aktivitas psikoaktif, dapat dilegalkan atau diatur untuk penggunaan medis. CBD ini telah terbukti memiliki efek anti kejang, tetapi tidak semestinya dianggap sebagai pengobatan utama dan seharusnya hanya dianggap sebagai opsi terakhir jika obat lain tidak efektif.
Beliau juga menekankan bahwa proses legalisasi harus melalui pengujian klinis yang ketat dan harus didaftarkan di BPOM. Sementara itu, Prof. Dr. Apt. Suwijiyo Pramono, DEA, Pakar Herbal UGM, membedakan antara hemp dan mariyuana, yang hemp memiliki kandungan THC yang lebih rendah dan kandungan CBD yang lebih tinggi dibandingkan mariyuana.
Sejalan dengan ini, merujuk pada laman resmi Badan Narkotika Nasional (BNN), BNN tetap mempertahankan posisi yang kuat terhadap ganja sebagai narkotika golongan I menurut UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Risiko legalisasi mencakup perdagangan gelap, kecanduan, halusinasi, dan peningkatan kriminalitas, serta potensi konflik sosial dan monopoli pasar.
ADVERTISEMENT
Dengan manfaat yang belum jelas melawan risiko yang nyata, belum ada urgensi dalam legalisasi ganja di Indonesia. Terlebih lagi, perkembangan dalam teknologi medis bisa menawarkan alternatif lain untuk kondisi yang dianggap memerlukan pengobatan ganja.

Ganja Perlu Dilegalisasi untuk Keperluan Medis karena Dinilai Aman dan Bermanfaat

Gambar ilmuwan yang sedang menguji tunas ganja untuk ekstraksi minyak obat. Foto: Kitreel/Shutterstock
Pada sidang UU Narkotika di MK Agustus 2021, David Nutt, dosen dari Imperial College London Drug Science, menyatakan kalau penggunaan ganja untuk medis terbukti aman bagi pasien dengan kondisi tertentu, seperti epilepsi.
Menurut beliau, ganja medis sudah menjadi bagian dari praktik pengobatan di banyak negara seperti Jerman, Italia, Belanda, AS, Kanada, Israel, dan Australia dengan sedikit dampak buruk yang ditimbulkan. Jadi, banyak pasien di negara-negara tersebut telah mendapatkan resep untuk menggunakan ganja sebagai obat.
ADVERTISEMENT
Kemudian, salah satu lembaga yang berjuang supaya legalisasi ganja untuk pemanfaatan di Indonesia, Lingkar Ganja Nusantara (LGN), juga mendukung adanya legalisasi ganja untuk pemanfaatan. LGN setuju adanya upaya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam meninjau legalisasi ganja untuk tujuan medis.
Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara (YSN) dan pendiri LGN, Dhira Narayana, menyerukan agar pemerintah dan DPR segera melakukan penelitian terkait hal ini. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh LGN, ganja bisa berpotensi sebagai pengobatan untuk 30 jenis penyakit, yang termaktub di dalam buku Hikayat Pohon Ganja.
Penyakit-penyakit tersebut mencakup alzheimer, glaukoma, gangguan buang air, radang sendi, kanker, hingga cerebral palsy (CP). Dhira berharap hasil riset tersebut dapat menjadi referensi dalam kajian pemerintah dan DPR. Beliau juga menekankan pentingnya merujuk kepada praktik penggunaan ganja medis di Aceh dalam riset tersebut.
ADVERTISEMENT
Beliau juga membicarakan tentang seorang ibu bernama Santi Warastuti, yang memiliki anak dengan kondisi cerebral palsy, dan sangat membutuhkan ganja sebagai alternatif pengobatan. Santi telah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar ganja, yang saat ini masuk dalam golongan I UU Narkotika, bisa digunakan untuk tujuan medis.

Legalisasi Ganja di Belahan Dunia

Acara ganja di Nakhon Pathom, Thailand, pada 11 Juni 2022. Penjual menyajikan produk ganja mereka setelah adanya legalisasi ganja oleh pemerintah Thailand. Foto: MrWinn/Shutterstock
Melansir dari laman kesehatan Harvard, ganja saat ini legal di 29 negara bagian di Amerika Serikat (AS) dan di Washington, DC, tetapi tetap ilegal menurut hukum federal. Sebagian besar orang AS mendukung legalisasi ganja untuk medis, dan beberapa juta orang di AS diperkirakan menggunakan produk ini.
Ganja yang punya lebih dari 100 komponen aktif, termasuk CBD dan THC, diklaim punya manfaat yang luas. Beberapa manfaat yang dilaporkan adalah penghilangan insomnia, kecemasan, spasme, dan nyeri hingga pengobatan kondisi berpotensi mengancam jiwa seperti epilepsi.
ADVERTISEMENT
Sudah banyak sebetulnya negara di dunia yang melegalkan ganja, khususnya untuk keperluan medis. Di antaranya adalah Siprus, Kroasia, Finlandia, Inggris, Thailand, dan lain-lain. Masyarakat Indonesia sendiri sebetulnya sudah banyak yang memperjuangkan supaya ganja dilegalkan untuk keperluan medis, perihal ini sampai dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi ditolak.
MK sudah memerintahkan pemerintah untuk segera melakukan penelitian tentang manfaat potensial ganja medis untuk kesehatan, meski telah menolak gugatan terkait legalisasi ganja medis. MK menegaskan pentingnya penelitian lebih lanjut tentang narkotika Golongan I (termasuk ganja) untuk mengevaluasi potensi manfaat kesehatan.
Selanjutnya, MK menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan revisi undang-undang yang relevan, karena perubahan dalam Undang-Undang Narkotika merupakan wilayah legislasi yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan DPR. Pernyataan ini berlatar belakang pemahaman bahwa manfaat potensial narkotika bagi kesehatan belum tentu sebanding dengan kerugian yang mungkin terjadi jika infrastruktur yang tepat belum disiapkan.
ADVERTISEMENT
Legalisasi ganja untuk tujuan medis menjadi topik perdebatan yang hangat dan memunculkan banyak pendapat pro dan kontra. Biar bagaimanapun, semua untuk kepentingan banyak orang, dan yang dilarang adalah menyalahgunakannya. Selamat Hari Anti-Narkotika Internasional.
Aku tak butuh narkoba untuk merasakan euforia, cukup dengan senyummu, sudah membuatku melayang. Cinta kita lebih adiktif daripada narkoba, tetapi jauh lebih sehat dan membahagiakan. Aku mau kamu selalu sehat dan bahagia, jadi janji, ya, jauhi narkoba demi masa depan kita bersama. Katakan tidak pada narkoba.