Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Maukah Indonesia Mengakui Sejarah Kelam Masa Bersiap?
3 Juli 2023 13:45 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belakangan ini, santer terdengar berita mengenai pemerintah Belanda meminta maaf dan mengakui perbudakan (kejahatan kemanusiaan) yang dilakukan oleh Belanda pada masa lalu.
ADVERTISEMENT
Raja Belanda, Willem-Alexander, mengungkapkannya pada hari Sabtu, 1 Juli 2023, dalam rangka memperingati 160 tahun penghapusan perbudakan secara legal di Belanda, termasuk di negara bekas jajahannya di Karibia.
Dalam sejarahnya, sebagaimana yang tercantum di laman Slavery and Remembrance, antara tahun 1596-1829, Belanda terlibat aktif dalam perdagangan budak trans-Atlantik, mengangkut setengah juta orang Afrika ke berbagai destinasi.
Sebagian besar di antaranya dibawa ke pulau-pulau Karibia, Curaçao, dan St. Eustatius, yang berfungsi sebagai stasiun untuk penjualan ulang dan pengiriman ke koloni budak Amerika lainnya, termasuk ke koloni Spanyol.
Selain itu, Belanda pun mengirimkan jumlah yang sama ke pemukimannya di Guyana Belanda (sekarang: Suriname) untuk bekerja di perkebunan gula. Pada abad ke-18, hampir 10 persen budak di Suriname melarikan diri dari kondisi yang brutal dan membentuk atau bergabung dengan komunitas merah marun, dengan tujuan hidup bebas dari kendali sistem perbudakan.
ADVERTISEMENT
Kita tahu, Indonesia juga pernah dijajah Belanda, yang menurut Dr. Lilie Suratminto, Indonesia dijajah oleh kolonial Belanda selama 126 tahun. Sementara itu, Prof. Gertrudes Johannes Resink menyatakan bahwa Indonesia dijajah oleh pihak kolonial Belanda kisaran 40-50 tahun. Selama masa penjajahan oleh Belanda itu, di Indonesia juga ditemukan praktik perbudakan.
Pihak Belanda pun telah meminta maaf kepada negara-negara bekas jajahannya atas perbuatan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Belanda pada masa lalu. Pada 2020, Willem-Alexander meminta maaf di Indonesia atas kekerasan berlebihan selama pemerintahan kolonial Belanda.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Belanda juga sudah mengakui sepenuhnya dan tanpa syarat bahwa 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia—dari yang sebelumnya mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949, yang mana terus bersikukuh tidak mengakui Indonesia secara de jure merdeka pada 17 Agustus 1945.
Adanya permintaan maaf dan pengakuan Belanda atas kejahatan-kejahatan pada masa lalu tentu harus kita apresiasi karena sudah mengakui perbuatan kelamnya. Hal ini penting supaya perbuatan kejahatan kemanusiaan tidak terjadi lagi pada era sekarang dan yang akan datang.
Kemudian, kita tahu, Indonesia secara de jure merdeka pada 17 Agustus 1945, dengan diproklamasikannya kemerdekaan oleh Sukarno, Hatta, dan wakil-wakil bangsa Indonesia lainnya ketika itu. Dengan diproklamasikannya kemerdekaan, telah menandakan titik balik sejarah, yang mana Indonesia memutuskan ikatannya dengan negara penjajah, dan bertekad berdiri sebagai negara merdeka dan berdaulat.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini tidak cuma menegaskan kedaulatan Indonesia sebagai negara yang punya hak penuh atas wilayah dan urusannya sendiri, tetapi juga merayakan pencapaian kemerdekaan setelah bertahun-tahun berjuang melawan penjajahan yang kejam.
Masa Bersiap, Sejarah Kelam Bangsa Indonesia
Akan tetapi, pasca-Kemerdekaan Indonesia, terjadi peristiwa kelam yang menyelimuti sejarah Indonesia, yakni masa bersiap. Masa bersiap merupakan masa yang merujuk pada periode konflik dan kekacauan yang berlangsung di Indonesia pada tahun 1945 hingga 1946.
Periode ini ditandai oleh pertempuran dan perang saudara antara pelbagai kelompok yang berusaha mengisi kekosongan kekuasaan setelah Jepang menyerah kepada Sekutu.
Masa ini dinamai "bersiap", sebuah kata dalam bahasa Indonesia yang berarti "bersiap-siap" atau "siap", sebagai simbol dari kesiapan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya dari penjajahan asing.
ADVERTISEMENT
Masa Bersiap menjadi titik awal dari apa yang kemudian dikenal sebagai Perang Kemerdekaan Indonesia, konflik antara Indonesia dan Belanda yang berlangsung hingga tahun 1949, yang berakhir dengan pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia.
Penggunaan istilah “bersiap” tampaknya dipersoalkan oleh sejumlah sejarawan, yang mana tidaklah tepat menggunakan istilah tersebut karena berkesan rasis. Istilah “bersiap” lebih akrab dengan Belanda, sedangkan di Indonesia lebih mengenalnya dengan sebutan agresi Belanda.
Kemudian, Rosihan Anwar di dalam bukunya Napak tilas ke Belanda: 60 tahun perjalanan wartawan KMB 1949 (2021: 41), menyatakan,
Perlu diakui bahwa periode ini merupakan masa kelam bangsa Indonesia, yang mana sudah memakan korban dengan perkirakan antara 3.500-20.000 jiwa, mencakup orang-orang Belanda dan keturunannya, serta komunitas Tionghoa, Jawa, dan Maluku.
ADVERTISEMENT
Masa bersiap telah memakan banyak korban, ada yang disiksa dan diperkosa, bahkan dibunuh. Perdana Menteri Sjahrir pun turut menjadi target pembunuhan kala itu.
Isu rasial di Indonesia kala itu pun banyak ditemukan, hal ini juga diaminkan oleh Sutan Sjahrir sebagaimana yang ditulis di bukunya Perjuangan Kita,
Adanya peristiwa kelam ini tentu jarang—bahkan tidak pernah—diajarkan oleh sekolah-sekolah di Indonesia, kita lebih sering mempelajari betapa menyedihkannya negeri kita dijajah oleh bangsa-bangsa asing, seperti Belanda, Jepang, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam realitasnya, periode kelam ini pun turut mewarnai sejarah yang terjadi di Tanah Air kita tercinta.
Sejumlah Negara yang Mengakui Kejahatan Kemanusiaan Masa Lalu
Tanpa mendukung dan membenarkan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh mereka, sejumlah negara di dunia yang dulunya melakukan kejahatan kemanusiaan sudah banyak yang mengakui. meminta maaf, dan bahkan bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Pada 2019 lalu, Inggris, melalui Perdana Menteri Theresa May, sudah mengakui dan meminta maaf atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama penjajahan mereka, termasuk insiden penembakan di Jallianwala Bagh alias pembantaian Amritsar, India pada 1919. Inggris juga sudah mengakui dan meminta maaf mengenai banyak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh mereka pada masa lalu, seperti perdagangan budak.
Kemudian, Jerman, melalui Menteri Luar Negerinya, secara resmi sudah mengakui dan menyampaikan permintaan maaf atas genosida suku Herero dan Nama di Namibia selama masa penjajahan mereka, serta telah menyiapkan dana sebesar €1,1 miliar.
Selain itu, Jepang juga sudah meminta maaf kepada Korea Selatan terhadap penjajahan sekaligus kejahatan kemanusiaan pada zaman dulu. Pada 2015 lalu, Perdana Menteri Shinzo Abe telah meminta maaf pada negara-negara yang dijajah dan dirugikan oleh Jepang Termasuk Indonesia—pada masa Perang Dunia II.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya pun, pada tahun 1995, dalam peringatan lima puluh tahun penyerahan Jepang dalam Perang Dunia II, Perdana Menteri Tomiichi Murayama secara resmi meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan oleh negaranya selama perang. Ini merupakan kali pertama Jepang secara tegas mengakui kesalahan mereka. Perdana Menteri Murayama mengakui bahwa tindakan Jepang telah menyebabkan penderitaan bagi banyak orang di berbagai negara.
Pada tahun yang sama, Presiden Prancis Jacques Chirac juga mengakui kesalahan negaranya dalam deportasi puluhan ribu orang Yahudi ke kamp konsentrasi Nazi.
Ini merupakan langkah yang berani, mengingat pemerintah Prancis sebelumnya menyalahkan Nazi dan menolak bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Chirac dengan tegas menyatakan bahwa saatnya mengakui kesalahan masa lalu dan kesalahan bersama sebagai sebuah bangsa.
ADVERTISEMENT
Maukah Indonesia Mengakui Masa Bersiap?
Budaya mengakui kesalahan dan sikap bertanggung jawab memang perlu dilakukan oleh negara-negara yang sudah melakukan kejahatan kemanusiaan. HAM setiap orang telah dilindungi, sebagaimana yang telah disahkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration on Human Rights) alias DUHAM oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948 silam.
DUHAM merupakan sebuah dokumen yang menggarisbawahi hak-hak dasar yang mesti diakui dan dihormati oleh semua individu di seluruh dunia. Dokumen ini diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948. DUHAM adalah salah satu instrumen hukum internasional paling penting dalam bidang hak asasi manusia.
Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, terdapat 30 pasal yang menguraikan hak-hak yang diberikan kepada setiap individu, termasuk hak untuk hidup, kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, hak atas pendidikan, dan hak untuk tidak mengalami penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi.
ADVERTISEMENT
Dokumen ini juga menyatakan bahwa semua orang dilahirkan bebas dan setara dalam martabat dan hak-haknya, tanpa memandang ras, warna kulit, agama, gender, atau status sosial. DUHAM memberikan dasar dan standar universal bagi perlindungan hak asasi manusia di seluruh dunia.
Meskipun tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara langsung, deklarasi ini menjadi pedoman dan acuan penting dalam mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia di tingkat nasional, regional, dan internasional.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia telah menjadi pijakan bagi perkembangan lebih lanjut dalam bidang hak asasi manusia dan menjadi dasar bagi banyak perjanjian dan instrumen hukum internasional yang lebih spesifik.
Adanya masa kelam—entah istilahnya agresi Belanda, entah masa bersiap—ini tentu akan terus tercatat dalam sejarah. Di atas kepentingan politik dan egoisme, ada nilai-nilai kemanusiaan yang mesti dijaga dan diutamakan.
ADVERTISEMENT
Maka penting bagi Indonesia untuk mengakui dan meminta maaf terhadap kejahatan kemanusaiaan pada masa lalu ini. Kendati demikian, kita juga perlu melihat perpolitikan Belanda. Para politisi sayap kanan Belanda juga turut menuntut kepada Indonesia terkait masa besiap ini.
Tentu, para politisi sayap kanan Belanda punya kepentingan politik, sering kali mereka bereaksi terhadap keputusan yang diambil oleh Pemerintah Belanda.
Keputusan yang kita ambil dalam mengakui dan meminta maaf tentu harus tulus, bukan karena adanya tuntutan yang bernuansa kepentingan politik. Sejatinya, bangsa Indonesia juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang ada di Konstitusi dan Pancasila.
Kita juga tahu, bahwa adanya masa bersiap bukan merupakan sikap dari pemerintah Indonesia ketika itu. Pemerintah kita kala itu juga tidak setuju dengan adanya pembantaian tersebut, termasuk Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang memerintahkan supaya melindungi orang-orang Belanda.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, mengakui dan meminta maaf atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh sejumlah”oknum” rakyat Indonesia terhadap orang Belanda, Tionghoa, dan Indo-Belanda merupakan sikap dari implementasi nilai-nilai kemanusiaan.
Permintaan maaf bertujuan untuk rekonsiliasi dan penyembuhan, tetapi juga menunjukkan tanggung jawab moral negara terhadap keadilan dan etika. Pengakuan ini penting dalam meredakan trauma masa lalu dan memulai proses penyembuhan.
Sebagai tanggung jawab moral, pengakuan ini menegaskan komitmen negara terhadap hak asasi manusia dan keadilan. Lebih jauh, pengakuan dan permintaan maaf ini berperan dalam mencegah terulangnya kejahatan serupa pada masa depan, sekaligus memberikan pelajaran berharga dari sejarah.
Hal ini juga bisa dijadikan sebagai evaluasi dan pembelajaran untuk kita semua supaya pada masa sekarang dan yang akan datang tidak terjadi peristiwa serupa, yang mana bisa meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan dan bisa merugikan banyak pihak. Oleh karena itu, nilai-nilai kemanusiaan mesti ditanamkan kepada generasi-generasi selanjutnya.
ADVERTISEMENT