Konten dari Pengguna

Urgensi Perampasan Aset Terhadap Koruptor di Indonesia

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Direktur Eksekutif Amnesty UNNES
4 Juni 2023 19:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi koruptor. (Foto: awstoys/Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi koruptor. (Foto: awstoys/Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Korupsi, sebuah perilaku yang sepertinya sudah mendarah daging di negeri kita, mulai dari rakyat biasa sampai pejabat negara, tampaknya penyakit ini sudah meresap dan menjangkiti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Mental-mental koruptor agaknya memang sudah menjadi kebiasaan yang senantiasa kita budayakan, dan terus dipertahankan. Miris memang, tetapi realitasnya demikian, di dalam dunia akademik pun kita bisa saksikan murid-murid mencontek, beberapa kasus ditemukan dosen menilap dana penelitian, dan sebagainya.
Di jalan raya, ada istilah “uang damai” ketika penilangan, dan masih banyak lagi aspek-aspek pada kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang berkaitan dengan korupsi dengan segala jenis macamnya: petty corruption, grand corruption, dan political corruption.
Dikutip dari laman resmi Anti-Corruption Learning Center (ACLC) KPK, petty corruption merupakan korupsi dalam skala kecil, misalnya penyuapan, uang pelicin, pungli, dan sebagainya. Kemudian, grand corruption alias korupsi kelas kakap, yakni mementingkan segelintir orang dengan mengorbankan masyarakat luas, misalnya korupsi e-KTP. Lalu, political corruption alias korupsi politik, misalnya money politic.
Ilustrasi pungutan liar. Foto: Shutterstock
Jenis-jenis korupsi berdasarkan skala dan paparannya tersebut sudah sering kita dengar dan saksikan di negeri kita. Namun, sampai sekarang belum ada upaya efektif untuk mencegah dan memberantas tindakan berdosa ini.
ADVERTISEMENT
Para pejabat, yang mengatasnamakan kepentingan rakyat pun sering kali berkhianat terhadap masyarakat. Ketika menjelang pemilu, mereka seakan mengemis dan mengobral janji, tetapi ketika sudah menjabat agaknya lebih mementingkan kepentingan kelompok dan golongannya saja.
Hal semacam ini yang membuat negeri kita tidak akan maju, banyak manusia yang hipokrit alias munafik—sebagaimana yang dikatakan oleh Mochtar Lubis dalam pidatonya pada 1977 silam, bahwa salah satu ciri manusia Indonesia adalah hipokrit atau munafik—yang tentu merugikan.
Banyak pejabat negara, seperti anggota legislatif, menteri, kepala daerah, dan pejabat negara lainnya yang melakukan tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan, bahwa jumlah tersangka kasus korupsi sebanyak 149 orang sepanjang tahun 2022. Jumlahnya naik 34,23 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya, yakni sebanyak 111 tersangka.
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Meningkatnya angka korupsi dari tahun sebelumnya menandakan adanya ketidakefektifan penegakan hukum di negeri kita, khususnya dalam mencegah korupsi. Di Indonesia, terdapat hukuman mati terhadap koruptor yang telah diatur di Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
ADVERTISEMENT
Adapun penerapan hukuman mati berdasarkan UU Tipikor tersebut bisa dilakukan dalam keadaan tertentu: bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya bisa dipidana hukuman mati. Penerapan hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang seberat-beratnya bagi koruptor.
Akan tetapi, hukuman mati, hukuman yang dianggap sebagai ultimum remedium, sering menimbulkan pro dan kontra. Hukuman mati dianggap sebagai cara untuk menimbulkan efek jera supaya tidak ada lagi yang berani korupsi, tetapi di sisi lain hukuman ini dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM).
Jika kita mengacu pada data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2022 yang dikeluarkan oleh Transparency International, tiga negara teratas dengan skors IPK terbaik adalah Denmark, Finlandia, dan Selandia Baru, yang mana ketiga negara ini tidak menerapkan hukuman mati.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, jika kita melihat tiga negara terbawah ada negara ada Somalia, Suriah, dan Sudan Selatan. Uniknya, ketiga negara ini menerapkan hukuman mati. Sementara, China, negara yang gencar melakukan hukuman mati terhadap koruptor berada di posisi ke-66 dengan skors 45.
Ilustrasi hukuman mati ditembak. Foto: Shutterstock
Dari data tersebut, kita bisa melihat bahwa tidak ada korelasi antara hukuman mati dan efek jera bagi koruptor, yang ada hukuman mati akan menimbulkan pelanggaran HAM. Sehingga, hukuman mati di Indonesia sebaiknya dihapuskan, lagi pula sejauh ini belum ada koruptor yang dikenakan hukuman mati.
Terdapat hukuman yang lebih efektif dibandingkan hukuman mati, hukuman yang dianggap merampas HAM, yakni perampasan aset. Perampasan aset koruptor merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyita dan mengambil alih aset-aset yang diduga diperoleh secara korup atau melalui tindakan ilegal atau tidak sah lainnya.
ADVERTISEMENT
Tujuan dari perampasan aset koruptor adalah untuk menghukum pelaku korupsi, memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi, serta mencegah pelaku korupsi menggunakan kekayaan yang diperoleh secara tidak sah untuk kepentingan pribadi, dan menjadi hukuman pengganti dari hukuman mati.
Perampasan aset koruptor bisa menjadi instrumen yang efektif dalam memerangi korupsi, karena tidak hanya memberikan sanksi terhadap pelaku korupsi, tetapi juga dapat memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi dan mencegah penyalahgunaan kembali aset-aset tersebut.
Ilustrasi perampasan aset. Foto: Shutter Stock
Akan tetapi, penting untuk memastikan bahwa proses perampasan aset koruptor dilaksanakan dengan integritas, transparansi, dan keadilan yang tepat, serta menjalankan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
Sejatinya, wacana mengenai adanya UU Perampasan Aset sudah lama dibahas, tetapi hingga kini masih belum menjadi produk UU. Oleh karena itu, perlu adanya dorongan dan dukungan dari pelbagai pihak, baik masyarakat maupun pemerintah (legislatif dan eksekutif), untuk peduli terhadap urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi UU.
ADVERTISEMENT
Adanya regulasi mengenai perampasan aset menjadi penting untuk menimbulkan efek jera bagi para koruptor. Ketika aset-aset yang diperoleh secara tidak sah dirampas, para koruptor mengalami konsekuensi yang signifikan. Tindakan ini memberikan pesan kuat kepada mereka dan juga kepada masyarakat luas bahwa tindakan korupsi tidak akan ditoleransi dan akan menghadapi konsekuensi serius.
Perampasan aset memiliki efek jera karena hukuman yang berdampak finansial, yang mana para koruptor kehilangan akses dan kontrol terhadap kekayaan yang diperoleh secara korup. Hal ini tidak cuma merugikan mereka secara finansial, tetapi juga mengurangi daya beli dan kekuatan mereka untuk melanjutkan praktik korupsi di masa depan.
Kemudian, para koruptor pun kehilangan reputasi dan status sosial. Pada saat aset-aset mereka disita, hal ini dapat mengungkapkan kegiatan ilegal yang mereka lakukan, yang bisa merusak citra dan integritas mereka di mata masyarakat.
Ilustrasi tahanan KPK. Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Dengan adanya regulasi perampasan aset, maka para koruptor bisa melihat konsekuensi serius yang dialami oleh koruptor lain dan mempertimbangkan risiko yang terkait dengan tindakan mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, perampasan aset koruptor dapat berperan sebagai instrumen efektif dalam menciptakan efek jera, dengan harapan dapat mengurangi praktik korupsi dan memberikan penekanan yang kuat terhadap pelanggaran hukum di negeri kita.