Usut Tuntas Pelanggaran HAM: Hidup Korban! Jangan Diam! Lawan!

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Konten dari Pengguna
14 Januari 2023 17:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raihan Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Orasi ilmiah oleh Herlambang P. Wiratraman, S.H., M.A., Ph.D. di Aksi Kamisan yang dilakukan pada 12 Juli 2018. Sumber foto: dokumentasi pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Orasi ilmiah oleh Herlambang P. Wiratraman, S.H., M.A., Ph.D. di Aksi Kamisan yang dilakukan pada 12 Juli 2018. Sumber foto: dokumentasi pribadi.
ADVERTISEMENT
Slogan yang setiap Kamis diteriakkan oleh pejuang-pejuang kemanusiaan yang membawa payung hitam di seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Sejak 18 Januari 2007 (setiap Kamis), para pejuang kemanusiaan yang penuh harapan menagih janji pemerintah untuk mengadili dan mengusut tuntas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh negara.
ADVERTISEMENT
Aksi yang dilakukan oleh para pejuang kemanusiaan setiap Kamis sore di seberang Istana Merdeka atau biasa dikenal dengan nama Aksi Kamisan tersebut dilakukan atas dasar keresahan terhadap pelanggaran HAM, seperti Peristiwa Talangsari 1989, Tragedi Semanggi I dan II, Tragedi Tanjung Priok, Tragedi Kerusuhan Mei 1998, dan lain-lain.
Aksi Kamisan pada mulanya hanya dilakukan di Jakarta, kini juga tersebar di banyak kota dan kabupaten di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa banyak dari masyarakat yang masih peduli terhadap HAM, serta menuntut kepada pemerintah untuk mengusut tuntas pelanggaran-pelanggaran HAM dan senantiasa melindungi warga negaranya dari perbuatan keji dan hina tersebut.
Pada Rabu (11/01/2023), Presiden Joko Widodo atas nama pemerintah mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat pada masa lalu, hal tersebut didasarkan pada laporan dari Tim Non-Yudisial Pelanggaran HAM berat yang dibentuk melalui Keppres Nomor 17 Tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Di depan awak media, Presiden Joko Widodo bersama jajaran kabinetnya menyebutkan terkait 12 pelanggaran HAM berat pada masa lampau. Dari ke-12 pelanggaran HAM itu di antaranya peristiwa 1965—1966, peristiwa penembakan misterius (1982—1985), peristiwa Talangsari, Lampung (1989), dan peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh (1989).
Ada juga peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa (1997—1998), peristiwa kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II (1998 dan 1999), peristiwa pembunuhan dukun santet (1998—1999), peristiwa Simpang KKA di Aceh (1999), peristiwa Wasior, Papua (2001—2002), peristiwa Wamena, Papua (2003), serta Peristiwa Jambo Keupok di Aceh (2003).
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi turut prihatin. Jokowi juga berjanji akan memulihkan hak-hak para korban serta mengusut tuntas tanpa judicial settlement atau penyelesaian yudisial. Presiden berharap dan berjanji pada masa yang akan datang tidak terjadi lagi pelanggaran HAM—khususnya pelanggaran HAM berat—sehingga pemerintah melalui Menko Polhukam, Mahfud M.D., yang juga seorang ahli hukum telah diperintahkan oleh presiden untuk melakukan upaya-upaya konkret.
ADVERTISEMENT
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengakui sejumlah pelanggaran HAM berat—meskipun masih ada pelanggaran-pelanggaran HAM berat lainnya yang tidak disebutkan oleh pemerintah—harus diapresiasi dan dikawal sebagai bentuk pengawasan terkait pertanggungjawaban pemerintah terkait komitmen mengadili dan mengusut tuntas pelanggaran HAM ini.
Kendati demikian, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melalui akun Twitter resminya menyatakan bahwa pengakuan Presiden tentang adanya kasus pelanggaran HAM berat ini hanyalah retorika dan ilusi, jika dilakukan tanpa proses hukum dan tindakan konkret. Sehingga memang perlu adanya tindakan nyata dari pemerintah untuk memproses hukum dan mengusut secara tuntas seluruh pelanggaran HAM pada masa lalu.
Isu terkait pelanggaran HAM merupakan hal yang penting, pada kontestasi pilpres juga membahas mengenai isu ini. Pada saat masa pilpres, para pasangan calon presiden juga menyelipkan janji-janji terkait hak asasi manusia, hal ini dilakukan untuk menarik simpati masyarakat untuk meraih suara. Sehingga kita juga perlu untuk menagih janji-janji pemerintah terkait penyelesaian pelanggaran HAM—khususnya pelanggaran HAM berat.
ADVERTISEMENT
Negara—dalam hal ini pemerintah—harus bertanggung jawab dan mengupayakan secara konkret terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM (khususnya pelanggaran HAM berat) yang terjadi pada masa lalu yang menimbulkan korban jiwa, serta membuat keluarga korban menyimpan trauma dan dendam terhadap apa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak berperikemanusiaan.
Kita harus peduli terhadap isu HAM ini karena suatu saat bisa saja kawan, keluarga, ataupun diri kita sendiri yang akan menjadi korban pelanggaran HAM berikutnya. Semua orang rentan menjadi korban kejahatan oleh pihak-pihak yang tidak berperikemanusiaan. Hak asasi manusia merupakan hak fundamental yang diberikan Tuhan kepada manusia sejak lahir (bahkan ketika masih di dalam kandungan) sehingga harus dihormati oleh orang lain.
Terkait tindakan konkret yang dilakukan pemerintah terhadap HAM harus kita kawal dan desak sebagai bentuk pertanggungjawaban negara terhadap warga negaranya. Oleh karena itu, negara harus bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM pada masa lalu, dan menjamin dalam wujud nyata tidak akan ada lagi pelanggaran HAM pada masa depan.
ADVERTISEMENT