Konten dari Pengguna

100 Hari Prabowo-Gibran : Harapan yang Terkikis di Tengah Putusan Kontroversi

Rajabbul Amin
Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga
27 Januari 2025 12:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rajabbul Amin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Suasana Pelantikan Prabowo - Gibran Rakabuming Raka pada tanggal 20 Oktober 2024/sumber kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Pelantikan Prabowo - Gibran Rakabuming Raka pada tanggal 20 Oktober 2024/sumber kumparan.com
Seratus hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah berlalu, tetapi bukannya menjadi awal yang meyakinkan, periode ini justru penuh dengan kontroversi dan tanda tanya besar. Gelombang permasalahan yang muncul memperlihatkan lemahnya tata kelola pemerintahan serta absennya langkah nyata untuk merealisasikan visi yang dijanjikan.
ADVERTISEMENT
Alih-alih menjadi era transformasi, pemerintahan ini seolah terjebak dalam dinamika kekuasaan yang penuh kegaduhan dimana retorika lebih menonjol dari pada aksi konkret. Seorang filsuf politik, Hannah Arendt pernah mengingatkan bahwa kekuasaan yang tidak disertai tanggung jawab moral hanya akan menciptakan ruang hampa yang berujung pada kekacauan sosial. Begitu pula yang saat ini disaksikan oleh masyarakat Indonesia, kepercayaan publik perlahan mulai terkikis, sementara itu isu-isu mendasar terus dibiarkan berlarut-larut.
Sejumlah kasus kontroversial yang mencuat bukan hanya mengundang kritik, tetapi juga mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap janji-janji politiknya. Seperti kasus yang saat ini yang sudah mulai dikrtisi oleh masyarakat seperti Kasus Hak Guna Bangunan (HGB) pagar laut di wilayah tanggerang Selatan adalah contoh nyata peran pemerintah tampaknya yang lebih memilih memihak kepada pemilik modal dibandingkan rakyatnya sendiri. Di balik dalih pembangunan dan investasi, akses masyarakat terhadap ruang publik terhalang, seolah-olah kepentingan ekonomi segelintir elit lebih bernilai daripada hak kolektif masyarakat.
ADVERTISEMENT
John Locke perna menekankan bahwa fungsi pemerintahan adalah melindungi hak asasi manusia, termasuk hak atas properti publik. Namun, justru yang dilihat oleh masyarakat Indonesia mengarah kepada ekploitasi. Jika pemerintah tidak segera turun tangan untuk menuntaskan kasus ini dengan berpihak pada kepentingan rakyat, maka kredibilitas mereka hanya akan menjadi retorika kosong.
Filsuf kontemporer seperti Jurgen Hubermass menekankan bahwa kolonisasi ruang publik oleh kepentingan pasar adalah ancaman serius bagi demokrasi. Ketika pemerintah gagal menjadi penengah yang adil, maka struktur demokrasi itu akan rapuh dengan sendiriinya. Dan berubah menjadi oligrki yang menekan rakyat kecil demi keuntungan segelintir orang.
Kisruh di Kementerian : Potret Birokrasi yang Gagal
Selain itu, dimasa seratus hari kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, terjadi polemik yang melibatkan konflik Internal antara Menristekdikti dengan pegawainya yang sedang viral belakangan ini. Konflik yang terjadi mencerminkan masalah sistematik dalam birokrasi Indonesia. bukannya menciptakan sinergi dan inovasi, Kementerian ini justru menjadi medan konflik internal yang sangat memalukan bagi pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Konflik ini memperlihatkan tidak adanya profesionalisme, komunikasi yang buruk dan ketidakmampuan pemimpin untuk menyelesaikan masalah secara efektif.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, menurut max weber tentang birokrasi menjelaskan bahwa struktur organisasi yang sehat harus berjalan berdasarkan aturan yang jelas dan rasional. Pemerintah seharusnya dapat menciptakan ruang dialog yang memungkinkan terjadinya consensus bukan memperparah konflik. Namun, yang terjadi saat ini justru menunjukkan kelemahan mendasar dalam kepemimpinnan di tingkat birokrasi. Jika hal ini terus dibiarkan, maka apa yang akan diharap dalam perubahan signifikan di sektor pendidikan dan teknologi yang seharusnya menjadi pilar kemajuan bangsa.
Selain itu, belakangan ini banyak kasus yang dilakukan oleh pejabat negara yang dilakukan oleh seorang publik figure ternama yang saat ini menjabat sebagai utusan khusus presiden bidang pembinaan generasi muda dan pekerja seni yakni Raffi Ahmad. Kasus Rafi Ahmad dalam penggunaan patwal mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menegakkan prinsip kesetaraan hukum. Ketika publik figure bisa dengan mudah memanfaatkan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi, apa yang tersisia bagi rakyat biasa?
ADVERTISEMENT
Ketika masyarakat Indonesia melihat seorang publik figure dengan mudah menggunakan fasilitas negara, hal ini mulai dipertanyakan integritas penegakan hukum di negara ini. Jika pemerintah membiarkan kasus ini berlalu tanpa sanksi yang jelas, kredibilitas hukum semakin diragukan. Namun, kasus ini menunjukkan adanya diskriminasi terselubung yang menguntungkan mereka yang berada di lingkungan elit. Ketidakadilan ini bukan hanya merusak moralitas masyarakat Indonesia tetapi juga memupuk ketidakpercayaan terhadap lembaga penegak hukum.
Selain itu, Salah satu tragedi yang paling memilukan dalam seratus hari pemerintahan ini adalah kasus keraucunan makanan bergizi gratis yang menimpa anak-anak di beberapa daerah. Program sosial yang dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup malah berbalik menjadi ancaman bagi generasi muda. Buruknya pengawasan terhadap distribusi makanan menunjukkan bahwa program ini dijalankan tanpa perencanaan yang matang.
ADVERTISEMENT
Seorang filsuf yang terkenan dengan kepedulian sosial, Simone Weil mengatakan bahwa pemerintah memiliki kewajiban moral untuk memastikan kebitihan dasar rakyatnya bisa terpenuhi dengan aman. Ketika anak-anak menjadi korban, pemerintah harus bertanggung jawab penuh atas kelalaian ini. jika tidak, insiden ini akan terus menghantui kepercayaan masyarakat terhadap program sosial lainnya. Gagalnya program ini menjadi pengingat bahwa sistem pengawasan pemerintah masih jauh dari kata sempurna dan memadai.
Kepemimpinan yang Masih Tertatih
Dalam seratus hari pertama ini, pemerintahan Prabowo Gibran seolah gagal memberikan jawaban atas harapan masyarakat. Friedrich Nietzsche penah berkata bahwa kepercayaan adalah dasar dari segala kekuasaan. Namun, kepercayaan saat ini sudah berada di ujung tanduk. Pemerintahan yang diharapkan membawa perubahan justru lebih sering tersandung oleh isu-isu mendasar.
ADVERTISEMENT
Pemerintah masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki keadaan, tetapi langkah-langkah yang diambil harus nyata dan berpihak pada rakyat. Penanganan Kasus HGB pagar laut, konflik internal, serta keracunan makanan bergizi gratis adalah ujian penting bagi pemerintah untuk membuktikan keberpihakan mereka kepada rakyat Indonesia. Namun, jika pola ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan bahwa seratus hari pertama ini akan menjadi awal dari kekecewaan panjang.
Pemerintah tidak hanya diukur dari janji, tetapi juga dari kemampuan untuk mengatasi persoalan dengan tangkas dan bertanggung jawab. Harapan yang memudar masih bisa kembali bersinar, tetapi jika pemerintah memiliki keberanian untuk berubah dan berpihak pada keadilan. Apakah Prabowo Gibran akan mampu melakukannya? Hanya waktu yang akan menjawab.
Oleh
ADVERTISEMENT
Rajabbul Amin
Aktivis Mahasiswa Kepulauan Riau
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga