Patriotisme dan Kaum Anarkis

Raja Faidz el Shidqi
Mahasiswa Prodi Ilmu Politik - FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta//2019
Konten dari Pengguna
26 Juni 2021 16:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Raja Faidz el Shidqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/id/users/clker-free-vector-images-3736/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/id/users/clker-free-vector-images-3736/

Oleh: Raja Faidz el Shidqi, Mahasiswa FISIP UMJ.

ADVERTISEMENT
“Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat…” begitu kata Soe Hok Gie di dalam buku Catatan Seorang Demonstran.
ADVERTISEMENT
Namun, mungkin saja beberapa dari kita entah orang tua kita, saudara-saudari kita, murid-murid kita, guru-guru kita atau bahkan anak-anak kita akan menjawab ketika diberikan sebuah pertanyaan “Apa itu Patriotisme?” bahwa patriotisme adalah sebuah rasa yang timbul di dalam diri yang ingin membela dan mempertahankan Tanah Air yang menjadi tanah kelahiran kita semua dengan jiwa rela berkorban dan lain sebagainya.
Di dalam sebuah buku yang berisi dengan esai-esai Emma Goldman, yaitu ANARKISME: Apa yang Sesungguhnya Diperjuangkan, pada Bab ‘Patriotisme: Ancaman bagi Kebebasan,’ Emma berpendapat bahwa patriotisme adalah semacam cover atau bungkusan untuk melapisi tindakan-tindakan semena-mena terhadap orang lain dengan dalih mempertahankan tanah kelahiran seseorang.
Emma juga mengutip dari Gustava Herve (Seorang aktivis anti-militerisme dari Prancis) bahwa patriotisme adalah sebuah takhayul yang lebih bahaya dan brutal daripada agama. Sebagai mana fungsi takhayul adalah menjelaskan suatu kejadian tidak sebagaimana adanya atau terkesan dibuat-buat dan dilebih-lebihkan. Lebih tajam lagi Emma memberikan ilustrasi bahwa patriotisme membutuhkan kesetiaan seseorang terhadap bendera yang artinya kesediaan untuk membunuh Ibu, Bapak, dan Sanak Saudara jika dalam hal ini mereka dianggap mengancam bagi tanah kelahiran atau wilayah yang sedang ditempatinya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, masih menurut Emma bahwa patriotisme adalah sebuah institusi yang mahal karenanya sebuah wilayah atau negara akan berlomba-lomba menghabiskan banyak sekali uang untuk memperkuat Angkatan bersenjatanya, mengambil satu anak dari satu desa lalu memakaikannya seragam dan memberinya senjata untuk siap berperang membela benderanya.
Padahal, masih banyak manusia-manusia atau keluarga yang setiap harinya menahan lapar dan tidak bisa mendapatkan sepotong roti, dan hal tersebut sudah menyinggung garis-garis permainan monopoli atas ekonomi dan kepemilikan sebuah tanah atau wilayah.
Menurut Rudolf Rocker, salah seorang pemikir anarkis asal Jerman yang kerap dianggap sebagai ‘Bapak Anarko Sindikalis’, dalam risalahnya The Origins of Anarcho Syndicalism mengatakan, “…Kaum anarkis menuntut menghapusan semua monopoli ekonomi serta kepemilikan bersama atas tanah dan semua sarana produksi lainnya, yang harus dimanfaatkan oleh semua tanpa pembedaan.”
ADVERTISEMENT
Walaupun bisa disimpulkan bahwa anarkisme ini menentang sebuah sikap patriotisme karena berbagai alasan khususnya bisa menjadi sebuah faktor terjadinya peperangan tetapi sebagai seorang warga negara kita juga memerlukan suatu definisi yang tepat terkait patriotisme itu sendiri agar apa yang dikatakan atau dikhawatirkan oleh kaum anarkis bahwa patriotisme menjadi salah satu celah peperangan antar bangsa atau antar suku, ras dan agama tidak terjadi.
Menurut Ervin Staub, seorang Profesor Psikologi di Universitas Massachusetts Amherst, patriotisme terbagi menjadi dua, yaitu: Patriotisme buta dan patriotisme konstruktif. Patriotisme buta ialah sebuah keterikatan pada negara yang ditandai dengan evaluasi positif yang tidak perlu dipertanyakan, kesetiaan yang gigih dan menutup toleransi terhadap kritik, patriotisme jenis ini bisa menjadi awal dari munculnya totaliterisme yang berakibat buruk bagi kelompok luar maupun kelompoknya sendiri.
ADVERTISEMENT
Kedua ada patriotisme konstruktif yang didefinisikan sebagai keterikatan pada negara yang ditandai oleh dukungan untuk pertanyaan-pertanyaan dan kritik terhadap praktik kelompok dengan maksud menghasilkan perubahan yang positif.
Patriotisme konstruktif tepat diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya di negara Indonesia yang memiliki latar belakang suku, ras, agama dan kebudayaan yang berbeda-beda terlebih Indonesia menjalankan sistem pemerintahan yang demokratis dan sudah semestinya tidak menutup ruang atas pertanyaan-pertanyaan dan kritik dengan tujuan evaluasi untuk perubahan yang lebih baik lagi.
Namun, kondisi-kondisi yang terjadi belakangan ini di Indonesia sulit rasanya menerapkan rasa patriotisme yang konstruktif, bahkan cenderung mengarah kepada patriotisme yang buta.
Mungkin perlu kita apresiasi bersama gagasan beberapa daerah yang berupaya menaikkan rasa patriotisme dan nasionalisme dengan cara memutar lagu-lagu kebangsaan khususnya Indonesia Raya di tempat-tempat tertentu seperti pusat perbelanjaan, stasiun hingga bandara.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi apa yang terjadi sekarang terlebih sejak adanya Undang-Undang ITE, pertanyaan-pertanyaan dan kritik itu kerap kali dibungkam dan disalah artikan menjadi suatu upaya makara atau menghina pemerintah. Jika hal tersebut dirasa merugikan atau memojokkan posisi pemerintah dalam moment tertentu dan hal tersebut tidak bisa terus-menerus dibiarkan karena bukan hanya Kaum Anarkisme saja yang mengidam-idamkan sebuah kebebasan individu tetapi semua orang yang bahkan menolak disebut ‘anarko’ sekalipun pasti menginginkan sebuah kebebasan.
Hanya saja perlu adanya kesepahaman antara pemerintah dan masyarakat terhadap arti sebuah kebebasan. Perlu adanya sebuah ruang diskursus di mana pemerintah semestinya memahami apa yang dimaksud dan diinginkan oleh masyarakat. Jangan sampai menutup ruang diskursus untuk saling memahami tetapi ketika masyarakat ini menyuarakan dengan aksi-aksi turun ke jalan, bahkan sampai terlibat bentrokan dengan aparat Pemerintah, semua asal menuduh. Bahwa mereka adalah anarko atau kaum anarkis. Apalagi jika sampai dituduh ingin mengembalikan tatanan masyarakat kepada hukum rimba yang memang tidak ada yang memerintah dan diperintah.
ADVERTISEMENT