Melihat 'Indonesia' di Balik Banyolan Receh Bapak-Bapak

Rama Swahuda
Sarjana Kriminologi
Konten dari Pengguna
20 September 2020 10:44 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rama Swahuda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tertawa. Foto: Edgard Garrido/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tertawa. Foto: Edgard Garrido/REUTERS
ADVERTISEMENT
“Bagian dari laptop apa yang bisa jadi sutradara?” Tanya Bapak pada anaknya.
ADVERTISEMENT
Anaknya terdiam. Si Adik sekuat tenaga mencari jawaban atas pertanyaan yang enggak masuk akal itu. Masa iya bagian dari laptop bisa jadi sutradara? Telunjuknya bersandar di dagunya seraya matanya menjelajah ke langit-langit rumahnya.
Si Kakak duduk di ujung sofa dengan lagak enggak peduli. Meski matanya terus menatap layar gawai, namun hatinya meraung-raung mencari sebongkah jawaban. Rasa gatal untuk menjawab itu menggelitik hingga membuat tatapannya kosong.
“Nyerah, pak,” jawab si Adik
“RAM Punjabi,” jawab si Bapak.
Sontak ruangan menjadi hening. Si Adik kebingungan dengan jawaban bapak sementara si Kakak kembali kepada realitanya setelah hilang dalam lamunan. Bapak? Terpingkal-pingkal mendengar jawabannya sendiri sekaligus puas melihat ekspresi wajah anak-anaknya yang kebingungan.
***
ADVERTISEMENT
Jika Anda penggemar lelucon bapak-bapak yang garing nan krispi, mungkin Anda geli membaca jokes di atas. Sepotong candaan yang singkat, padat, dan jelas itu benar-benar enggak masuk akal. Meski begitu, tersemat hikmah yang tidak terbayang nilainya. Misal, kecerdasan dari si pembuat lelucon, kreativitas, dan tingkat kepercayaan diri yang tinggi dari pelaku usaha-usaha berkelakar maksudnya.
Salah satu yang menarik dari jokes receh bapak-bapak adalah ketika lelucon itu dilempar di depan bapak-bapak yang lain. Bayangkan, tingkat kelucuan lelucon yang kiranya enggak bakal diketawain remaja milenial itu meroket 200 kali lipat. Mungkin ini agak berlebihan, tapi pernahkah Anda melihat betapa bahagianya bapak-bapak saat bermain tebak-tebakan?
Anda akan bertanya-tanya, “Kok, seru banget, sih? Kok, bisa ketawa sengakak itu, sih? Padahal biasa aja jokes-nya?”
ADVERTISEMENT
Enggak percaya? Coba Anda perhatikan bapak-bapak yang sedang ngerumpi di pengkolan ojek. Atau, enggak usah jauh-jauh. Coba Anda dengarkan program tebak gambar di akun @bapak2.id--Ini bukan tulisan advertorial ya.
Bahwa selera humor tiap orang beda-beda, itu benar adanya. Namun, ada satu hal yang bisa kita pelajari dari gelak tawa bapak-bapak yang kegirangan dengan banyolan mereka. Kalau kata Soekarno: ada demokrasi versi Indonesia di sana.

Demokrasi Versi Indonesia

Indonesia dikenal dengan warganya yang arif. Maksud arif di sini dapat dimaknai dari keanekaragaman budaya yang tersebar di Nusantara. Mari kita kerucutkan makna kearifan pada budaya gotong-royong. Ini adalah budaya yang menjadi wajah Internasional saat Bruce Grant mengabadikannya dalam buku berjudul Indonesia terbitan 1964. Grant menyebut Soekarno mengatakan gotong-royong sebagai ciri khas demokrasi Indonesia .
ADVERTISEMENT
Grant menyebut gotong-royong merupakan representasi dari rasa hormat, toleransi dan kerja sama. Perasaan ini secara konkret digambarkan melalui interaksi di dalam sebuah keluarga batih di mana antara anggota keluarga saling menyokong. Mereka saling bertukar kasih sayang dan cinta sehingga tumbuhlah lembah kedamaian dalam rumah tangga.
Grant tidak lupa menjelaskan elemen demokrasi dalam gotong-royong Indonesia, yakni kebebasan berpendapat. Ia memaknai gotong-royong sebagai konsep ideal keluarga bahagia di Indonesia, yakni: setiap anggota memiliki hak yang sama untuk memberikan pendapat di mana pihak lain perlu menghargai pendapat itu.
Lantas, apa kaitannya dengan jokes receh bapak-bapak?

Belajar dari Banyolan Bapak-bapak

Mari kita bongkar sebab keseruan konferensi jokes receh bapak-bapak dengan pertanyaan, kenapa mereka bisa tertawa terpingkal-pingkal? Jawabannya, bapak-bapak masih menganut demokrasi versi Indonesia: Gotong-royong.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, sebenarnya bapak-bapak merasa bahwa jokes mereka enggak lucu-lucu banget. Tapi mereka merasakan kebersamaan saat melakukan hal tersebut. Kemudian, berbekal titah Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, mereka mangamalkan gotong-royong dalam kehidupan sosial mereka. Caranya, mereka menghormati jokes orang lain dengan cara menertawakannya.
Apa rasanya enggak ada yang ketawa saat kita berseloroh? Sakit, kan? Sepi? Bahkan kepercayaan diri Anda bisa luntur seketika ketika seseorang berkata “Enggak jelas, ih”. Rasanya seperti ingin menekan remote Doraemon agar banyolan itu enggak pernah keluar dari mulut kita.
Jokes bapak-bapak adalah demokrasi versi Indonesia, yakni gotong-royong. Enyahkanlah elemen garing dan membosankan banyolan itu dan mulailah lihat kearifannya. Bukan dari jokes-nya, melainkan sifat dari pelaku usaha. Menghargai banyolan orang lain boleh jadi sangat membantu orang itu, terutama soal kepercayaan diri. Hal ini yang (mungkin) dilakukan oleh bapak-bapak zaman now.
ADVERTISEMENT
Tentu, tidak semua lelucon bisa digubris, salah satunya yang berbau SARA. Apalagi, sebagian orang berpikiran bahwa lelucon bapak-bapak terkadang kotor. Namun, tak semua daddy jokes itu kotor, kok. Bahkan cenderung intelek.
Contoh, gurauan yang ada di awal artikel. Perlu wawasan luas serta kecerdasan literasi yang mumpuni untuk bisa mencocokan antara komponen komputer dengan seorang produser unggulan. Mari ambil contoh lainnya.
“Pak, ada ayam di sini?” tanya seorang bapak kala menyambangi warung pecel ayam.
“Ada, pak,” jawab pedagang.
“Usir, Pak. Saya mau makan,” selorohnya.
Bukan gurauan yang menghina fisik dan bukan juga bercandaan yang menyakiti. Sebuah kemampuan untuk mencairkan suasana melalui permainan kata dan situasi. Menarik, kan?
Lantas, apakah ada Indonesia di dalam jokes bapak-bapak? Terdengar seperti cocoklogi, namun pantas untuk dipertimbangkan. Mari gunakan banyolan receh itu untuk kembali mempelajari gotong-royong dan toleransi yang agaknya mulai pudar. Mari belajar dari jokes bapak-bapak, bahwa bercanda tak harus menyakiti.
ADVERTISEMENT
Terakhir. Mari belajar dari mereka untuk menghargai usaha orang lain untuk mencairkan suasana. Bagi sebagian orang, melemparkan pertanyaan jenaka tidaklah mudah. Namun, bayangkan bagaimana bahagianya ia ketika ia tahu bahwa dirinya dapat membuat orang lain tertawa.
Semua saya kembalikan kepada pembaca.