Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Turn Back Surveillance: Wajah 'Pengawasan' di Era Masyarakat Jejaring
14 Agustus 2019 20:54 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Rama Swahuda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, muncul isu bahwa KPI ingin mengawasi sejumlah platform, seperti YouTube dan Netflix. Boleh jadi, dalam pandangan Jeremy Bentham mengenai pendisiplinan, ini adalah yang disebut sebagai panopticon. Sebuah kondisi di mana satu pihak besar mengawasi sejumlah pihak lainnya. Membatasi layaknya sebuah penjara.
Dalam lembaga permasyarakatan, atau yang juga dikenal dengan lembaga koreksional, model pengawasan panopticon ini sudah berkembang dan beralih pada pola pengawasan yang menjunjung asas reformatif. Maksudnya adalah 'yang diawasi'—dalam konteks penghukuman, 'yang diawasi' adalah narapidana—didorong agar dapat berubah menjadi pihak yang lebih baik dari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Ini menjelaskan bahwa pengawasan tidak hanya sekadar mengawasi, namun juga berinteraksi dengan 'yang diawasi'. Melalui gagasan penghukuman ini, artikel ini hendak menjelaskan model baru pengawasan konten media dengan memanfaatkan sumber daya yang terbaru, yakni Influencer.
Pembelajaran di Era Masyarakat Jejaring
Kita hidup pada era di mana informasi dapat terpenetrasi ke semua orang secara masif dan instan. Produksi dan reproduksi diskursus seakan menjadi hal lumrah setiap harinya.
Produksi dan reproduksi diskursus ini punya beragam makna, salah satunya adalah dalam memengaruhi perilaku manusia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh WeAreSocial, 56 persen masyarakat Indonesia sudah ‘melek’ media sosial. Ini menandakan setengah dari masyarakat Indonesia berpotensi untuk dapat dipengaruhi konten yang ada di media sosial.
ADVERTISEMENT
Kita mengetahui bahwa informasi dari media sosial mampu memengaruhi perilaku. Contoh paling sederhananya dapat dilihat dalam teori Self Fulfilling Prophecy yang menjelaskan, satu kalimat saja mampu memberikan efek kepakan sayap kupu-kupu.
Farrel dan Swiggert dalam bukunya, Social Deviance, tahun 1975, menjelaskan teori Self Fulfilling Prophecy dari Robert K. Merton melalui salah satu kisah mengenai kebangkrutan bank hanya karena sebuah isu bank tersebut akan bangkrut. Mendengar isu itu, nasabah menarik uang dari bank tersebut yang menyebabkan bank tersebut benar-benar bangkrut.
Selain informasi yang mampu memengaruhi perilaku, masyarakat pula belajar dari apa yang mereka lihat di media sosial. Pada tahun 2006 silam, kita mengetahui demam Smack Down menyebabkan seorang siswa kritis akibat meniru adegan salah satu pegulat.
ADVERTISEMENT
Thomas Douglas dan John Seely dalam bukunya, A New Culture of Learning: Cultivating the Imagination for World of Constant Change, membahas lebih dalam perihal pembelajaran yang terjadi dalam era globalisasi saat ini. Sederhananya, pembelajaran mengalami perubahan ke arah yang lebih modern, salah satunya melalui media sosial.
Ini yang mendasari mengapa konten pada media sosial perlu diawasi. Merebaknya konten yang diunggah oleh mereka yang disebut sebagai influencer menambah catatan panjang pengawasan terhadap konten-konten di media sosial. Pengawasan saja, tanpa adanya perbaikan, akan terkesan seperti memotong rumput. Akan tumbuh lagi.
Memanfaatkan Influencer sebagai Agen Reformasi Masyarakat
Kata kunci yang digunakan di sini antara lain: pengawasan, influencer, pembelajaran, dan reformasi. Dapat dilihat dalam ilustrasi, skema masyarakat jejaring antara influencer dan masyarakat saat ini dapat dianalogikan sama seperti hubungan tokoh masyarakat dengan sebuah komunitas terkecil dalam masyarakat, Rukun Tetangga (RT) misalnya. Sederhananya, influencer memberikan dampak pada masyarakat yang menjadi mengonsumsi kontennya.
ADVERTISEMENT
Sejumlah penelitian terkait pengaruh influencer menjelaskan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memengaruhi perilaku seseorang—sesuai dengan namanya, influencer. Pada penelitian yang dilakukan oleh Novi Tri Hariyanti dan Alexander Wirapraja yang berjudul “Pengaruh Influencer Marketing sebagai Strategi Pemasaran Digital Era Modern” pada tahun 2018 menjelaskan pemanfaatan influencer dalam dunia marketing. Berdasarkan penelitian mereka, influencer memiliki pengaruh pada pilihan belanja masyarakat melalui konten mereka di media sosial.
Ketika influencer dimanfaatkan sebagai media marketing, maka opsi untuk memanfaatkan influencer sebagai kampanye tindakan positif merupakan peluang yang harus d ilihat. Perilaku positif di sini dapat berbentuk imbauan dilarang merokok, perilaku buang sampah pada tempatnya, bahkan kampanye setop pelecehan seksual. Konten yang mengunggah isu sosial akhir-akhir ini sudah cukup banyak. Katakanlah satu di antaranya CameoProject yang membahas isu feminism.
ADVERTISEMENT
Mengawasi konten negatif untuk mencegah perilaku negatif yang dipelajari dari konten tersebut dapat dikatakan tepat. Namun, kita dapat memanfaatkan kondisi ini untuk mengambil keuntungan. Pertanyaannya sederhana: Jika influencer dinilai efektif untuk mempengaruhi perilaku, mengapa mereka tidak dimanfaatkan sebagai media kampanye perilaku positif?
Menggunakan gagasan penghukuman pada bagian awal, maka pada konsep pengawasan di era masyarakat jejaring yang memanfaatkan influencer, sederhananya adalah melakukan intervensi terhadap influencer. Intervensi yang dilakukan adalah reformasi terhadap influencer yang memiliki konten-konten yang dinilai negatif. Konsep dasarnya sama, yakni bekerja sama dengan influencer untuk mengunggah konten positif dengan menyisipkan ajakan, misal: bantuk orang 1 hari 1 orang.
Pengawasan yang sebelumnya bersifat satu arah, yang dengan cara memblokir konten negatif dapat dikembangkan dengan mengintervensi pembuat konten untuk membuat konten positif. Manfaatkan jumlah subscriber yang influencer miliki.
ADVERTISEMENT
Bagaimana menurut Anda?
Live Update