Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Optimalkan Rantai Pasok Biodiesel dengan Melibatkan Petani Kelapa Sawit Swadaya
26 Juni 2023 16:30 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Ramada Febrian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 2023, luas perkebunan rakyat kelapa sawit mencapai 6.300.426 hektare atau 37% dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia, menurut laporan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian . Luas perkebunan kelapa sawit rakyat tersebut digarap oleh pekebun sebanyak 2.605.207 KK.
ADVERTISEMENT
Jumlah petani kelapa sawit yang banyak, kerap menjadi alasan pemerintah dalam memutuskan sebuah kebijakan. Tak terkecuali kebijakan biodiesel. Kebijakan energi berupa penggunaan bahan bakar nabati (BBN) berbasis kelapa sawit tersebut diklaim dapat untungkan petani.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020 – 2024, pengembangan biodiesel berbasis kelapa sawit menjadi salah satu proyek strategis nasional.
Penetapan program energi terbarukan berbasis kelapa sawit ditujukan untuk mendukung peningkatan porsi energi baru terbarukan dalam bauran energi primer nasional menuju 23% pada tahun 2025.
Mengapa Kebijakan Biodiesel Diterapkan?
Kebijakan biodiesel diterapkan karena tiga alasan. Pertama, pemerintah berupaya untuk melepas ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Tujuannya adalah untuk memangkas emisi gas karbon pada sektor energi, khususnya sektor transportasi.
ADVERTISEMENT
Dalam kerangka Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) , kebijakan biodiesel menjadi salah satu program aksi mitigasi yang strategis untuk memangkas emisi pada sektor tersebut.
Kedua, implementasi kebijakan biodiesel juga upaya pemerintah untuk mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM), dengan cara menggunakan bahan baku dari dalam negeri.
Kelapa sawit menjadi pilihan karena Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia dan kualitasnya sesuai dengan standar bahan bakar. Subtitusi sebagian minyak solar dengan kelapa sawit akan mengurangi impor BBM. Dan harapannya dapat berdampak pada defisit neraca perdagangan minyak dan gas.
Ketiga, penerapan kebijakan biodiesel juga bertujuan untuk menciptakan permintaan domestik. Melalui inilah petani kelapa sawit diklaim akan diuntungkan karena kebijakan biodiesel menciptakan pasar baru untuk Tandan Buah Segar (TBS) hasil dari perkebunan petani kelapa sawit.
ADVERTISEMENT
Realita Petani Kelapa Sawit Swadaya
Sekilas, kebijakan biodiesel terlihat akan menguntungkan petani kelapa sawit. Padahal, kalau dilihat lebih dalam, petani kelapa sawit dan biodiesel memiliki jarak yang jauh dalam pengertian rantai pasoknya. Sehingga, untung tidaknya kebijakan biodiesel terhadap petani kelapa sawit belum dapat dipastikan.
Selama ini, pemerintah hanya mengalokasikan volume biodiesel untuk Badan Usaha BBN (BU BBN) dan BU BBM. Terakhir, pada 28 Desember 2022, pemerintah menerapkan kebijakan blending rate 35% biodiesel terhadap 65% minyak solar atau yang lebih dikenal dengan kebijakan biodiesel B35.
Dalam kebijakan B35, pemerintah memberikan alokasi sebesar 13.148.594 kilo liter (kL) biodiesel untuk periode Februari 2023 sampai dengan Desember 2023. Terdapat 21 BU BBN yang mendapat alokasi biodiesel, termasuk PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Musim Mas, dan PT Sinarmas Bioenergi. Sementara jumlah BU BBM sebanyak 22 perusahaan, termasuk PT Pertamina Patra Niaga, PT Kilang Pertamina Internasional, dan PT AKR Corporindo.
ADVERTISEMENT
Penerapan kebijakan biodiesel didukung oleh pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). BPDPKS menghimpun dana dari pungutan ekspor kelapa sawit dan produk turunannya.
Pada tahun 2022, realisasi penggunaan dana tersebut mencapai Rp 36,16 triliun , 96% dari dana tersebut digunakan untuk membayar selisih harga biodiesel dengan minyak solar.
Dana triliunan tersebut tidak dapat memastikan petani kelapa sawit mana yang telah menjadi pemasok TBS dalam rantai pasok produksi biodiesel.
Secara umum, terdapat dua jenis petani kelapa sawit di Indonesia, yakni petani kelapa sawit plasma dan petani kelapa sawit mandiri. Bila merujuk pada istilah petani tersebut, maka petani plasma sudah pasti masuk dalam rantai pasok biodiesel, tergantung perusahaan mana yang menjadi supplier dalam rantai pasok biodiesel. Karena kebun dan hasil petani kelapa sawit plasma dikelola oleh perusahaan sebagai perkebunan inti.
ADVERTISEMENT
Petani kelapa sawit yang belum tentu masuk dalam rantai pasok biodiesel adalah petani kelapa sawit swadaya. Banyak dari mereka yang kesulitan mengakses pasar .
Kebanyakan petani kelapa sawit swadaya, menjual TBSnya ke tengkulak. Sehingga, harga yang didapatkan pun lebih rendah daripada harga yang ditetapkan dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) langsung.
Pengadaan bahan baku untuk biodiesel selama ini dikuasai oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perusahaan perkebunan tersebut terintegrasi secara vertikal dengan perusahaan BU BBN.
Disebutkan dalam laporan Raksasa Penerima Subsidi , bahwa perusahaan BU BBN yang mendapatkan alokasi biodiesel bila di agregasikan dalam sebuah kelompok korporasi, maka hanya ada 9 kelompok saja. Dan seluruh kelompok korporasi tersebut juga memiliki perkebunan.
Petani sawit swadaya, umumnya adalah masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari perkebunan sawit. Pendapatan mereka bergantung dari tinggi rendahnya harga TBS yang mereka jual.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, pada tahun 2022 terdapat 2.605.207 KK di perkebunan rakyat kelapa sawit. Banyak keluarga yang menggantungkan hidupnya pada kebun tersebut.
Mengapa Melibatkan Petani Kelapa Sawit Swadaya?
Kebijakan biodiesel dapat menjadi instrumen yang efektif dalam memastikan harga untuk para petani kelapa sawit swadaya. Pelibatan mereka dalam rantai pasok biodiesel akan memberikan dampak luar biasa, tidak hanya untuk kesejahteraan petani sendiri, tetapi juga keluarga yang dinaunginya.
Menurut penelitian Traction Energy Asia , penerapan kebijakan penempatan petani kelapa sawit swadaya dalam tata niaga biodiesel dengan fokus pada upaya intensifikasi lahan dan peningkatan kapasitas pengelolaan lahan oleh petani kelapa sawit swadaya dapat memperbaiki kelayakan hidup petani tersebut sekaligus berkontribusi pada upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
ADVERTISEMENT
Pelibatan petani kelapa sawit swadaya juga akan meminimalisir risiko deforestasi dari perkebunan kelapa sawit. Dari sekitar 2,9 juta hektare perkebunan kelapa sawit yang dibangun dari hutan alam sejak 2001 hingga 2021, hanya 25% yang pelakunya merupakan petani kelapa sawit swadaya.
Upaya pemerintah untuk mensejahterakan petani kelapa sawit swadaya melalui kebijakan biodiesel saat ini, patut diapresiasi. Namun, harus ada strategi agar upaya tersebut dapat terasa jelas oleh petani kelapa sawit swadaya.
Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk memprioritaskan petani kelapa sawit swadaya dalam rantai pasok biodiesel daripada perusahaan.
Prioritas ini dapat diikat dengan kerja sama atau kemitraan antara BU BBM dan kelompok petani kelapa sawit swadaya atau BU BBN dengan kelompok petani kelapa sawit swadaya.Bentuk lainnya juga dapat digunakan, asal petani dapat menjadi pemasok langsung TBS PKS yang menjadi pemasok pabrik biodiesel.
ADVERTISEMENT
Sebagai ilustrasi, BU BBM seperti PT Pertamina Patra Niaga akan memasok biodiesel dari suatu BU BBN untuk memproduksi biodiesel, perusahaan BU BBN akan membutuhkan bahan baku berupa minyak kelapa sawit, minyak kelapa sawit tersebut berasal dari sebuah PKS, dengan adanya mandat memprioritaskan TBS dari petani kelapa sawit swadaya-bukan pengepul atau tengkulak, maka PKS harus bekerja sama secara langsung dengan petani kelapa sawit swadaya.
Dengan rantai pasok tersebut, kebijakan biodiesel akan berdampak pada kesejahteraan petani kelapa sawit swadaya secara langsung, tanpa perantara, tanpa tengkulak, tanpa pengepul.