Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Demokrasi di Lelang: Ketika Suara Rakyat Menjadi Barang Dagangan
29 Agustus 2024 12:25 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ramadhan Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan sebuah fenomena yang mengkhawatirkan dalam lingkungan politik kita. Panggung demokrasi , yang seharusnya menjadi arena pertukaran ide dan aspirasi, perlahan-lahan berubah menjadi pasar terbuka. Di sini, alih-alih mendengar debat sengit tentang kebijakan dan visi masa depan, kita justru melihat transaksi jual-beli suara yang terang-terangan.
Ibarat di pasar, saya menganggap politisi adalah sebagai pembeli dan masyarakat adalah pedagang. Dalam hal ini masyarakat tidak peduli siapa yang membeli barang dagangannya. Mereka hanya mempunyai prinsip agar barang dagangan mereka habis terjual.
ADVERTISEMENT
Tentu, kita tidak bisa mengabaikan realitas bahwa banyak orang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, kita juga harus melihat bahwa permasalahan politik uang ini sebenarnya bersifat struktural. Ada kesenjangan antara masyarakat yang minim edukasi politik dan kesadaran politik, sehingga membuat lingkungan menormalkan mekanisme pasar dalam proses pemilihan.
Siapa Sebenarnya yang Cerdik?
Entah siapa yang pintar dan bodoh, rugi ataupun untung, ah sudahlah masalahnya bukan itu. Di tengah hiruk-pikuk politik, sebuah fenomena menarik muncul di lingkungan kita. Beberapa warga, menganggap diri mereka "cerdik" dalam permainan politik ini.
Mereka seperti bak pemulung rupiah musiman, dengan lihai mengumpulkan "amplop keramat" dari berbagai calon politisi yang berlalu-lalang. Sambil mengedipkan mata penuh arti, mereka berbisik, "Lihat saja nanti, biar kantong tebal, tapi hati tetap baja. Semua duit kuterima, tapi belum tentu suaraku kau beli." Bagi mereka, ini adalah bentuk 'Robin Hood' modern - mengambil dari yang kaya untuk kepentingan pribadi, sambil tetap merasa bermoral karena tidak menjual suara mereka secara langsung.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, di sisi lain koin, para politisi mengamati fenomena ini dengan perhitungan dingin. Mereka melihat 'celah' yang begitu menggiurkan - sebuah kesempatan emas untuk memanfaatkan kebutuhan mendesak masyarakat akan uang tunai. Dengan penuh percaya diri, mereka menuangkan jutaan rupiah ke dalam 'investasi' kampanye ini. Di benak mereka, mungkin terlintas pemikiran, "Masyarakat mengira mereka yang mengendalikan permainan ini, tapi mereka belum melihat gambaran besarnya."
Namun, di tengah tarian rumit antara pemilih yang merasa cerdik dan politisi yang penuh perhitungan ini, muncul sebuah pertanyaan yang mengganggu: Siapa sebenarnya yang memegang kendali dalam skenario ini? Apakah masyarakat yang dengan bangga mengumpulkan 'hadiah' dari berbagai kubu? Ataukah justru para politisi yang dengan sabar menanam benih ketergantungan dan loyalitas jangka panjang?
ADVERTISEMENT
Kita mungkin mendapati diri kita terperangkap dalam labirin etika dan pragmatisme. Di satu sisi, kita mengutuk praktik politik uang. Namun di sisi lain, kita menyaksikan beberapa masyarakat yang mampu membayar tagihan listrik berkat 'bonus' musim pemilu. Kita menginginkan perubahan, tapi sekaligus tergoda oleh iming-iming keuntungan jangka pendek.
Demokrasi atau Transaksi? Menimbang Nilai Suara di Pasar Politik
Dalam pusaran kebingungan ini, satu hal menjadi jelas: arena politik kita telah berubah menjadi pasar yang kompleks, di mana nilai-nilai demokrasi diperdagangkan dengan harga yang belum kita pahami sepenuhnya. Mungkin sudah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: Pada permainan ini, siapa sebenarnya yang cerdas, dan siapa yang sedang diperdaya?
Demokrasi sejati, setiap warga negara memiliki suara yang setara dan berharga. Namun, dalam sistem yang kini berkembang, suara rakyat telah menjadi komoditas yang bisa ditawar dan diperjualbelikan. Perbedaannya sangat mendasar dan mengkhawatirkan: sementara demokrasi menghargai pendapat dan partisipasi, sistem transaksional ini hanya peduli dengan jumlah rupiah yang bisa dikeluarkan..
ADVERTISEMENT
Kita harus ingat bahwa demokrasi sejati dibangun di atas fondasi partisipasi aktif, kebebasan berpendapat, dan transparansi. Sementara itu, sistem transaksional hanya menghasilkan ketergantungan, pembungkaman, dan kegelapan politik. Dalam demokrasi sejati, kekuatan ada di tangan rakyat. Namun dalam sistem transaksional, kekuatan hanya milik mereka yang memiliki modal terbesar.
Ingatlah, suara rakyat jauh lebih berharga dari uang apapun yang ditawarkan. Esensi demokrasi yang sebenarnya adalah memilih berdasarkan visi dan integritas, bukan jumlah rupiah. Pada akhirnya, kualitas demokrasi kita ditentukan oleh integritas pilihan kita hari ini.