Konten dari Pengguna

Perempuan yang Terlahir Kembali

Rangkul Keluarga Kita
Rangkul adalah Relawan Keluarga Kita, sebuah program pemberdayaan keluarga yang diinisasi oleh Keluarga Kita dengan dukungan berbagai kalangan di berbagai daerah. Rangkul mendorong orangtua berdaya untuk orangtua lain dengan terus menjadi sumber belajar yang efektif dan berbagi praktik baik pengasuhan untuk mendukung tumbuh kembang anak. Pada akhirnya, tanggung jawab pengasuhan adalah peran kolektif untuk masyarakat dan negara yang lebih baik, bukan hanya dari dan untuk satu keluarga. Cita-cita kami adalah menyebarkan dan menggerakkan Rangkul ke seluruh wilayah di Indonesia dan memberikan dampak bermakna dalam mencapai tujuan pendidikan. Semoga Program Rangkul dapat menjadi wadah yang positif bagi para orangtua di Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat. Salam, Tim Keluarga Kita
30 April 2020 16:33 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rangkul Keluarga Kita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Ajeng Satiti Ayuningtyas-Rangkul Tangerang Selatan
Perempuan yang Terlahir Kembali
zoom-in-whitePerbesar
Saya adalah ibu dari seorang putri yang saat menulis ini, usianya 3 tahun. Tak terbayangkan sebelumnya bahwa menjadi seorang istri dan ibu begitu berharga dalam hidup saya. Latar belakang keluarga saya yang mengalami perpisahan, sempat membuat saya trauma dalam membina sebuah keluarga. Sering kali saya ragu, bisakah saya membangun keluarga yang bahagia nantinya. 2020 adalah tahun keempat saya dan suami menjalani rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Kami sadar rumah tangga tidak hanya terdiri dari pasangan yang menikah dan menghasilkan anak saja. Ada ilmu di dalam layaknya membangun sebuah rumah untuk tinggal. Kami harus tahu bagaimana kualitas bahan bangunan yang digunakan agar fondasi rumah yang kami bangun tidak mudah rusak. Sayang, saya tidak punya role model itu dalam hidup saya.
Saya dikenal sebagai seorang perempuan yang lemah-lembut, namun tidak demikian ketika menghadapi laki-laki. Saya terbiasa mengambil keputusan sendiri, mengerjakan sesuatu sendiri, dan menjadi perempuan yang mandiri sesuai dengan ajaran almarhumah ibu saya. Parahnya, saya tumbuh menjadi wanita yang keras kepala dan emosional. Ini terbawa sampai saya menikah.
Kadang saya merasa terlalu egois dengan pasangan karena selalu ingin dimengerti dengan kondisi saya yang mempunyai latar belakang broken home. Walaupun kami sudah kenal sejak 2008, kenyataannya manajemen emosi kami belum dapat dikelola dengan baik ketika kami sudah menikah.
ADVERTISEMENT
Komunikasi kami sering kali tidak efektif, saya pun merasa sering menggunakan u-message, bukan I-message, yang membuat pasangan saya seperti dituduh atau disalahkan. Kami tidak mengenal komunikasi yang baik itu seperti apa. Selain itu, kami belum sadar bahwa penting sekali memenuhi kebutuhan diri karena jika kita Lelah, komunikasi pun jadi tidak lancar. Saling mengapresiasi pun sulit kami lakukan.
Awalnya, kami merasa baik-baik saja dengan pernikahan kami itu. Yang kami tahu bahwa kami sangat saling menyayangi, tapi lupa untuk menjadi lebih baik lagi setiap hari. Saya tahu tidak mudah bagi saya untuk keluar dari trauma pernikahan yang saya lihat di keluarga saya. Terlebih, suami saya juga sedang berjuang untuk bisa terus mendampingi saya.
ADVERTISEMENT
Hingga sampai di momen saya mengandung anak. Banyak hormon yang berubah dalam diri saya. Selama masa hamil, saya bisa menangis membayangkan anak saya lahir. Rasanya, saya sedang memposisikan diri saya sebagai almarhumah ibu saya dan anak saya adalah saya. Saya tidak mau apa yang saya alami dulu dialami anak saya. Saya berjanji untuk berusaha menjadi orang tua yang lebih baik.
Meski saya mengalami fase postpartum yang naik-turun, rasa bersalah yang terlalu besar karena saya masih harus bekerja, dan merasa kurang waktu berdua dengan suami karena kami harus tinggal dengan mertua yang sudah berbaik hati menjaga anak saya ketika saya bekerja.
Saya pun memutuskan untuk berhenti bekerja dan ikut bergabung menjadi Rangkul (Relawan Keluarga Kita). Saya senang sekali, misi Rangkul dalam menjalankan pengasuhan keluarga salah satunya adalah mengubah perilaku orang tua. Tepat sekali, yang mesti berubah lebih dulu adalah kami sebagai orang tua. Setiap sesi pelatihan berakhir, saya selalu mengajak suami berdiskusi dan melakukan refleksi atas apa yang kami sudah lakukan. Kami membuat kesepakatan bersama di rumah yang kami tulis di papan tulis agar mudah kami lihat. Kesepakatan ini kami tujukan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi.
Saya & pasangan yang mulai terbiasa mengapresiasi setiap hal.
Kami mulai terbiasa untuk selalu mengapresiasi setiap hal yang kami lakukan. Kami berdua berusaha untuk memenuhi kebutuhan diri kami. Kami masih terus belajar menjadi lebih baik. Kami juga sudah lebih mengenal karakter anak kami. Anak saya lahir pada bulan yang sama dengan saya, bintang yang sama, dan golongan darah yang sama dengan saya. Sifat bawaannya pun 11-12 dengan saya. Cara menghadapinya juga menjadi tantangan bagi saya. Senang sekali suami saya selalu antusias untuk dilibatkan dalam berbagai peran pengasuhan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Yang saya syukuri, ikut serta menjadi Rangkul dan belajar bersama dengan orang tua lain membuat saya merasa tidak sendirian menghadapi ini. Rangkul menjadi wadah saya untuk tetap “waras” bersama. Betul sekali, istilah “berobat jalan” bagi para relawan dalam menjalankan setiap sesi yang merupakan bagian dari peran kami sebagai penggerak pendidikan keluarga. Setiap mengadakan sesi pengasuhan bagi orang tua di sekitar, saya justru yang belajar banyak dan menjadi pengingat saya. Dengan Sesi Rangkul yamg diselenggarakan secara berkala dan berkelanjutan, ini jadi mendorong perubahan perilaku saya. Biasanya, kalau ikut seminar parenting hanya beberapa jam lalu merasa diingatkan dan mencoba diaplikasikan, namun tidak dipelajari ulang sehingga kejadian yang tidak diinginkan dalam keluarga bisa terjadi lagi.
ADVERTISEMENT
Sampai suatu ketika, saya bilang kepada suami saya, “Kalau aku nggak ikut Sesi Rangkul ini, kayaknya aku akan jadi perempuan yang bisa hidup tanpa laki-laki dan tanpa merasa harus ada yang diubah dalam diri aku. Hehehe...” Suami saya juga ternyata sadar belum mengenal diri dia seutuhnya. Dia tidak menyadari apa kebutuhan dirinya. Pastinya, ini menjadi tugas saya untuk terus mendampingi dia di masa-masa sulitnya.
Sebagai orang tua, kita harus mendukung satu sama lain. Sudah tidak seharusnya saling menegasi, justru harus saling menguatkan. Itu adalah salah satu hal yang saya dapat dengan menjadi Rangkul di antara banyak hal lainnya.
Ketika ibu saya meninggal, saya seperti kehilangan separuh nyawa saya. Kini saya merasa seperti hidup kembali. Saya merasa menjadi pribadi yang baru setelah jadi orang tua. Jabatan ibu adalah peran terhebat yang saya miliki di balik semua pekerjaan lainnya. Saya terus belajar; belajar mencintai lebih baik lagi untuk keluarga saya. Cari Cara, Ingat Impian Tinggi, dan Tidak Takut Salah adalah 3 mantra favorit saya dari Prinsip CINTA Keluarga Kita yang saya jadikan pegangan untuk mencintai dengan lebih baik.
ADVERTISEMENT
Terima kasih Keluarga Kita, saya merasa sangat terbantu dalam menjalankan peran-peran saya sebagai ibu, istri, menantu, dan anak. Boleh jadi keluarga saya dulu tidak harmonis dan berantakan, tapi saya punya kesempatan untuk membina keluarga kecil saya untuk lebih baik lagi. Terima kasih suamiku dan anakku, sudah memilih saya untuk menjadi istri dan ibu, rasanya seperti lahir kembali.