Konten dari Pengguna

Islam, Mental Illness, dan Suicidal Thoughts

Ravi Choirul Anwar
Seorang ASN di Kemenko Perekonomian
28 September 2024 15:16 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ravi Choirul Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kesehatan mental merupakan isu penting yang perlu dikaji dalam berbagai perspektif untuk bisa memahami dan membantu seseorang dengan mental illness agar bisa bertahan dan menjalankan kehidupan dengan lebih baik. Apalagi, tak jarang seseorang dengan mental illness mengarah pada suicidal thought. Oleh karenanya, pemahaman mendalam dengan perspektif yang luas menjadi penting, tak terkecuali dari sudut pandang agama.
ADVERTISEMENT
Pendalaman dari sudut pandang agama perlu dilakukan supaya kita semua tidak menjadikan agama sebagai stigma negatif yang justru memperburuk keadaan seseorang yang sedang mengalami masalah tersebut. Agama seharusnya justru bisa membantu diri kita sendiri maupun orang lain yang sedang mengalami masalah tersebut untuk bisa menyalakan suluh di lorong gelap yang sedang dilalui.
Foto oleh Abdulmeilk Aldawsari: https://www.pexels.com/id-id/foto/foto-grayscale-alquran-yang-dibuka-36704/
La Tahzan, Apakah Islam Melarang Sedih Apalagi Depresi?
Islam bukan hanya agama yang simbolik atau berfokus pada ritual saja. Islam jauh lebih besar dari pada itu dan mengandung cara hidup. Tidak ada yang terlalu kecil maupun terlalu besar untuk dicakup dalam ajaran Islam. Termasuk pula isu kesehatan mental dan suicidal ideation ini.
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah” (Ar-Rad 28)
ADVERTISEMENT
Sebuah ayat yang menegaskan bahwa salah satu pangkal dari ajaran Islam adalah mengajarkan iman supaya bisa melepaskan diri dari berbagai hal yang merisaukan hati. Artinya, Islam justru sangat mengakomodir salah satu isu penting dalam kehidupan, yaitu: kesedihan, penderitaan, bahkan keputusasaan—yang erat dengan masalah mental illness dan suicidal ideation. Islam memahami secara kaffah bagaimana human psyche beroperasi.
At the very first place, dalam Islam kita percaya bahwa Allah tidak pernah menciptakan sesuatu yang tidak berguna, termasuk kemampuan manusia untuk merasakan berbagai ragam emosi. Islam memahami pentingnya emosi “negatif” mendapat tempat, tetapi memberikan guidance agar membawanya ke arah yang lebih baik. Hal ini selaras dengan ilmu psikologi, di mana Daniel Goleman—salah satu pioneer mengenai emotional intelligence—mengatakan “there is wisdom behind the vulnerability”.
ADVERTISEMENT
Dalam Al-Quran sendiri, banyak ayat yang berbicara mengenai kesedihan. Sayangnya, terkadang makna kalimatnya salah ditafsirkan sebagai penyangkalan terhadap kesedihan maupun larangan untuk bersedih. Salah satu ayat yang cukup terkenal adalah “La Tahzan, Innallaha Maana” (QS At-Taubah:40), yang berarti “Janganlah bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Terkadang ayat ini salah diinterpretasikan sebagai larangan bersedih, padahal tidak demikian. Apabila dipahami secara kontekstual dan dengan pendekatan linguistik, kata “jangan” tersebut bukanlah negasi absolut yang berarti negative imperative—sebuah larangan. Kalimat tersebut hadir dalam pendekatan yang lembut dan dalam nuansa comforting dan lebih menekankan pada reassurance akan kehadiran Allah dalam setiap situasi, “The most suitable understanding is by binding the sense of time into the verb word: “will not be/feel continuously sad” or “do not be sad” in a comforting intonation.” tulis Afifah & Nizam (2021) dalam paper-nya.
ADVERTISEMENT
Kita bisa melihat bahwa agama—termasuk Islam—menghargai adanya emosi negatif sebagai bagian dari human being, bahkan banyak berbicara mengenai jalan keluar dari berbagi situasi yang sulit seperti depresi maupun pikiran bunuh diri. Agama menawarkan guidance agar kita dapat memaknai dan kembali menjadi diri yang lebih baik, sebagaimana makna kata dari religion adalah to bind together again. Agama hadir bukan untuk melarang pikiran atau perasaan negatif yang tidak bisa dikontrol manusia, bukan pula untuk menghakimi dan membuat manusia merasa rendah, tetapi sebaliknya: to heal, to bond, to join, to bridge, to put back together again.
Foto oleh Engin Akyurt: https://www.pexels.com/id-id/foto/foto-grayscale-orang-berdiri-di-tepi-laut-2174623/
Kasih Sayang Allah Kepada Seseorang Dengan Pikiran Bunuh Diri
Dalam agama Islam, memang benar Allah melarang hamba-Nya untuk sampai melakukan tindakan bunuh diri. “Janganlah engkau membunuh dirimu…” Namun, perlu kita garis bawahi bahwa yang dilarang adalah tindakannya, action. Bukan feeling, thought, ataupun ideation. Pemahaman ini bukan berarti menormalisasi atau membiarkan hal tersebut terus menyelimuti seseorang. Sebaliknya, pemahaman ini perlu dilakukan agar siapapun yang sedang berada di titik terendah tersebut tidak merasa dihakimi atau dianggap nista. Sebagaimana kita tahu, Allah tidak pernah membebani hamba-Nya di luar kesanggupan, pun Allah tidak menghukum hal-hal yang berada di luar kontrol manusia seperti datangnya perasaan atau pikiran bunuh diri tersebut.
ADVERTISEMENT
Pandangan masyarakat kerap menempatkan orang dengan pikiran bunuh diri sebagai “pelaku” tanpa berupaya memahami posisi mereka sebagai “korban” yang diakibatkan oleh faktor-faktor eksternal sehingga mereka memiliki pikiran tersebut. Peringatan soal kecaman bunuh diri memang cukup tepat dengan tujuan membuat seseorang takut dan memikirkan kembali, tetapi tidak menyelesaikan masalah apapun yang membuat seseorang sampai terpikir untuk bunuh diri. Justru hal seperti itu terkadang malah membuat seseorang dengan suicidal ideation merasa semakin rendah dan tidak layak melanjutkan hidup. Padahal, sabda pertama yang mengikuti larangan bunuh diri dalam An-Nisa ayat 29-30 adalah “sungguh Allah Maha Penyayang terhadapmu.” Allah masih menyayangi orang-orang dengan pikiran bunuh diri dan meyakinkan hamba-Nya untuk menyingkirkan opsi bunuh diri dengan pendekatan yang lembut dan kasih sayang. Islam mengajarkan self compassion baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
ADVERTISEMENT
Ujian dan Orang-Orang Pilihan
Seringkali, seseorang dengan mental illness maupun suicidal ideation merasa bahwa beratnya kehidupan yang mereka jalani adalah bentuk hukuman dari Allah atau menganggap itu sebagai pertanda Allah tidak lagi menyayanginya. Pikiran yang terkadang semakin muncul karena didorong pula oleh stigma negatif dari lingkungan sekitar. Oleh karena itu, hal ini perlu kita luruskan kembali supaya kita tidak terjebak dalam belenggu persepsi ini.
Hidup bukanlah hidup tanpa sebuah masalah. Besar dan beratnya masalah bukanlah ukuran pasti positioning Allah terhadap kita. Kita akan mendapatkan insight yang sangat menarik apabila mengingat kembali kisah-kisah manusia yang paling dekat dengan Allah. Apabila kita mempelajari kisah-kisah mereka, tebak apa yang akan kita temui? Masalah. Masalah yang sangat berat.
ADVERTISEMENT
Apabila diangkatnya masalah adalah pertanda kasih sayang Allah, seharusnya Nabi Ayub AS jauh lebih cepat diangkat masalahnya daripada kita semua. Nyatanya, berdasarkan sebuah hadits dikisahkan “Sesungguhnya Nabiyullah Ayub AS berada dalam ujiannya selama 18 tahun…” (HR. Anas Ibn Malik). Jika dijauhkan dari masalah berat adalah pertanda kuatnya keimanan seseorang, Nabi Yaqub AS tidak akan diuji dengan masalah yang bertubi.
Allah tidak membebani hamba-Nya di luar kapasitasnya. Artinya, semakin berat cobaan, bisa jadi karena kita adalah orang-orang pilihan. Sebagaimana besi yang akan ditempa berulang sehingga menjadi keris, begitulah analogi ujian hidup kita. Satu hal yang perlu dicatat: hanya besi terbaik yang akan ditempa berulang untuk menjadi keris.
Bahkan, pada masa kerasulannya, Nabi Muhammad pernah mengalami periode di mana wahyu berhenti diturunkan. Hal ini membuat Nabi sedih dan gelisah. Apalagi, saat itu kaum Quraish mencoba menjatuhkannya dengan mengatakan Allah sudah tidak lagi peduli dengan Nabi Muhammad. Namun, setelah itu, wahyu diturunkan kembali. “…Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan…”
ADVERTISEMENT
Allah tiada pernah meninggalkan dan membenci hamba-Nya. Ketika kita merasa Allah belum hadir dalam bentuk pertolongan sebagaimana yang kita harapkan, bukan berarti Allah tidak hadir sama sekali. Allah hadir melalui sinar matahari di pagi hari yang masih bisa kita rasakan, melalui udara yang masih bisa kita hirup, melalui angin yang membelai kita sepanjang perjalanan. Sebagaimana tidak ada daun yang gugur tanpa sepengetahuan-Nya, tidak ada tangis yang tumpah tanpa penjagaan-Nya.
Foto oleh Monstera Production: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-berkemeja-putih-lengan-panjang-dan-celana-coklat-duduk-di-atas-karpet-biru-dan-coklat-5996991/
Ketika Syukur dan Sabar Teramat Sulit Dilakukan
Dalam segala kejadian dalam hidup, Islam sudah membekali hamba-Nya dengan sabar dan syukur. “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)
ADVERTISEMENT
Tak terkecuali dalam masalah mental illness dan suicidal ideation ini, kita dapat mengambil kebaikan dengan bagaimana kita belajar meresponnya. Bahkan ketika sulit untuk merespon secara baik—dengan bersyukur atau bersabar misalnya—Islam menekankan satu pegangan lebih penting, yaitu tetap percaya kepada-Nya. Menjadi mukmin berarti menjadi believer. Percaya bahwa hal ini terjadi bukan tanpa alasan atau maksud yang baik. Saya meminjam kutipan dari Haruki Murakami dalam bukunya Kafka on The Shore yang dapat menggambarkan hikmah ini dalam metafora secara apik:
ADVERTISEMENT
Keinginan untuk mati sendiri dalam Al-Quran terdapat pada kisah Maryam yang dituangkan dalam Surah Maryam ayat 23, di mana Maryam berkata “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini. Dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.” Kalimat ini diucapkan oleh perempuan yang tidak kita ragukan kesalihahannya. Sosok seperti itu saja, saat merasakan sakit yang luar biasa, bahkan tidak mampu menahan ucapannya yang demikian. Apalagi kita, manusia biasa.
Namun, kisah itu tidak berhenti di situ. Seandainya Maryam tidak merasakan derita, Ia tidak akan sampai pada pohon yang penuh berkah. Rasa sakit lah yang mengantarkan Maryam pada pohon yang mulanya kering kemudian menjadi subur dan berkah.
Kita harus percaya bahwa kita semua adalah Maryam pada cerita kita masing-masing dan kita semua memiliki Isa dalam tubuh kita. Jadi, baik itu mental illness ataupun suicidal ideation, itu adalah Isa dalam tubuh kita yang kelak akan mengantarkan kita pada keajaiban-keajaiban hidup yang belum pernah kita temui. Kelak, kita akan beristirahat dari rasa sakit tersebut dan akan melihat ke belakang dengan senyuman di wajah kita.
ADVERTISEMENT
Perjalanan memang tidaklah mudah. Kita mungkin lelah, pasti lelah. Bahkan dalam berbagai situasi, terasa mustahil untuk bisa bersyukur ataupun bersabar. Namun, jangan sampai semua itu membuat kita berhenti percaya kepada-Nya.
Kita boleh pernah kehilangan rasa syukur.
Kita boleh pernah kehilangan rasa sabar.
Kita boleh pernah kehilangan kemampuan untuk bahagia.
Kita boleh pernah kehilangan kekuatan untuk terus berjalan.
Kita boleh kehilangan banyak hal,
kecuali kehilangan prasangka baik kita kepada Allah.