Konten dari Pengguna

Memahami Pikiran Bunuh Diri

Ravi Choirul Anwar
Seorang ASN di Kemenko Perekonomian
20 September 2024 16:55 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ravi Choirul Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
But sometimes, it takes more courage to live than to kill himself.” – Albert Camus
ADVERTISEMENT
Permasalahan mengenai pikiran maupun tindakan bunuh diri bukanlah hal yang sepele, sama sekali tidak! Apalagi untuk dianggap sebagai ancaman manipulatif belaka atau hanya sekadar mencari perhatian. Bahkan menurut Camus dalam esainya The Myth of Sisyphus, “There is only one really serious philosophical problem… and that is suicide.”, sebagaimana menentukan apakah hidup layak atau tidak untuk dijalani merupakan pertanyaan paling mendasar dalam dunia filsafat.
Kita tidak pernah tahu perang semacam apa yang sedang mereka alami. Pemahaman yang mendalam mengenai suicidal ideation perlu dilakukan untuk membantu mereka. Stigma dan respon judgemental justru akan membuat mereka semakin dekat untuk melakukan pikiran yang benar-benar nyata mereka alami tersebut.
Foto oleh Alan Cabello: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-yang-tidur-di-samping-daun-mati-921823/
Memahami Orang Dengan Pikiran Bunuh Diri
ADVERTISEMENT
Suicidal ideation merupakan pikiran yang menghantui seseorang untuk mengakhiri hidupnya. Seringkali pikiran ini berkaitan dengan kondisi mental seseorang, terutama bagi mereka yang mempunyai diagnosis mental illness, seperti depresi, bipolar, skizofrenia, dsb.
Namun, penyebab pikiran ini muncul bukan hanya dari itu, tetapi lebih luas lagi. Menurut John Maher—President of the Ontario Association for Assertive Community Treatment and Flexible Assertive Community Treatment—pikiran untuk mengakhiri hidup tidak hanya muncul dari alasan medis, melainkan juga karena social reasons, seperti kemiskinan, isolasi, maupun keterasingan.
Menyoal mengenai mental illness sendiri, seseorang yang mengalami kondisi ini masih sering mendapat stigma yang negatif. Dianggap lemah, bermental lembek, bahkan dinilai tidak religius seperti kurangnya bersyukur atau tidak mau mendekatkan diri dengan Tuhan. Alasan yang beragam seringkali gagal untuk dipahami dan berujung dengan membandingkan alasan satu sama lain, seperti “Kamu harusnya tidak berpikir demikian, lihatlah banyak orang yang hidupnya lebih berat”.
ADVERTISEMENT
Padahal mental illness sendiri bukan hanya sekadar masalah psikologis, tetapi berkaitan juga dengan struktur kimia atau biologis dalam tubuh yang saling memengaruhi. Bahkan orang bisa saja mengalami depresi di saat kehidupannya berjalan baik-baik saja. Mempertanyakan “mengapa mereka depresi padahal banyak hal dalam hidupnya berjalan dengan baik” sama halnya dengan mempertanyakan “mengapa penderita asma sulit bernafas padahal oksigen bertebaran di mana-mana”.
Bahkan terkadang, alasan suicidal ideation atau mental illness yang muncul karena masalah sosial seperti pekerjaan seringkali dianggap remeh. Hingga ada labeling Gen Z dengan sebutan generasi stroberi, yang bahkan muncul dari seorang guru besar, Rhenald Kasali. Sebutan seperti ini justru mereduksi nilai kemanusiaan dan luput untuk menganalisis dari perspektif sosiologi yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan sendiri dapat membawa manusia pada salah satu bentuk keterasingan atau alienasi menurut Karl Marx, yaitu alienation from labor. Sederhananya, seringkali kultur kapitalisme yang tidak fair saat ini—seperti privilese yang sungguh timpang—banyak membawa orang-orang terpaksa bekerja hanya untuk sekadar mempertahankan hidup. Jangankan bekerja sesuai passion, melakukan hobi di luar kerjaan saja terkadang sulit karena jam dan beban kerja yang tidak manusiawi. Mereka bisa saja mendapatkan uang, tetapi mereka kehilangan diri mereka. “Embracing the corporate culture leads to separating, if not eliminating you from yourself.” tutur George A Reisch.
Foto oleh Hương Lan Nguyễn: https://www.pexels.com/id-id/foto/foto-grayscale-wanita-yang-duduk-di-kursi-5543824/
Stigma Agama dan Pendekatan Yang Lembut
Kita perlu memahami apapun alasan yang membawa orang-orang mengalami suicidal ideation adalah valid. Bukan untuk dihakimi, atau dibandingkan. Tak semua kelemahan kita juga titik lemah orang lain. Tak harusnya kekuatan kita untuk mengukur kekuatan orang lain. Kita—manusia—bukanlah juri yang layak bagi hidup sesama, yang bahkan dipersembahkan bukan untuk kita.
ADVERTISEMENT
Stigma agama seringkali masih dibawa dalam memandang orang-orang dengan suicidal ideation, termasuk terhadap orang yang mengalami masalah mental. Kita seringkali berasumsi bahwa orang dengan pikiran bunuh diri adalah orang yang jauh dari Tuhan, tidak mau mendekatkan diri kepada Sang Maha.
Tidak bisa dipungkiri bagi orang yang beragama, perjalanan spiritual dapat membawanya untuk bisa melepaskan diri dari monster bernama suicidal ideation ini. Namun, bukan berarti ketika pikiran tersebut muncul, menghakimi dengan stigma agama atau memberikan judgemental advice yang berdasar agama merupakan hal yang tepat. Dalam Suicide First Aid Guidelines For Indonesia yang diterbitkan oleh Fakultas Psikologi UGM dan Middlesex University London, dijelaskan bahwa “don’t give judgemental advice like suicide is a sin.”
ADVERTISEMENT
Judgemental advice seperti itu atau mengingatkan azab untuk orang yang bunuh diri bukanlah hal yang tepat dilakukan pada saat-saat tertentu. Kita tidak tahu rasa sakit seperti apa yang sedang dialami seseorang hingga sampai memikirkan bunuh diri adalah jalan keluar. Mereka bisa saja mengambil risiko bunuh diri untuk mengakhiri rasa sakit yang nyata di dunia dengan harapan tidak lagi terbangun di kehidupan manapun. Ancaman siksa maupun azab sendiri pada saat-saat tertentu akan terasa masih pada tataran konsep nan abstrak saja, tidak nyata seperti rasa sakit luar biasa yang mereka rasakan pada saat itu.
Jadi, mari kita ingat bersama bahwa belum tentu ketika seseorang sedang mengalami suicidal ideation, mereka adalah orang yang jauh dari agama. Agama bukan digunakan untuk menghakimi apalagi membakar jembatan dengan membuat manusia seakan terjebak dalam kerendahan diri di mata agama.
ADVERTISEMENT
Dalam Islam sendiri—karena saya beragama Islam—ayat yang turun mengenai bunuh diri adalah An-Nissa, ayat 29-30. Sebelum menjelaskan mengenai hukuman bunuh diri, hal pertama yang disabdakan oleh Allah setelah perintah “janganlah kamu membunuh dirimu” adalah “Sungguh Allah Maha Penyayang kepada kamu”. Saya ulang, “Sungguh Allah Maha Penyayang kepada kamu.” Di sini dapat kita tarik pelajaran bahwa pendekatan terbaik kepada mereka adalah pendekatan yang lembut dan penuh dengan kasih sayang, bukan dengan penghakiman atau menakut-nakuti. Allah saja masih menyayangi orang dengan pikiran bunuh diri, mengapa terkadang malah manusia yang seolah mencoba menghakimi manusia dengan menyebut-nyebut asma-Nya?
Foto oleh Rene Terp: https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-berdoa-di-dalam-gedung-2486662/
Ruang Bicara dan Pentingnya Embracing the Shadow Self
Dengan memahami dengan lebih dalam dan menghindari berbagai penghakiman, kita dapat menciptakan ruang yang sehat bagi mereka yang memiliki suicidal ideation. Ruang untuk bicara, ruang untuk berkarya, ruang untuk berekspresi, maupun ruang untuk meminta pertolongan.
ADVERTISEMENT
Hadirnya ruang ekspresi yang sehat ini akan sangat membantu mereka untuk melalui apa yang mereka alami. Kita perlu untuk memahami lebih lanjut mengenai psyche dari Carl Jung—seorang psikolog kenamaan—untuk mengetahui kaitannya dengan penciptaan ruang yang sehat oleh society.
Carl Jung membagi kesadaran manusia menjadi consciouseness dan unconsciouseness—keduanya saling memengaruhi. Masalah psikologis, seperti trauma, penderitaan yang mendalam, dsb., seringkali tertanam pada ruang unconsciouseness atau bawah sadar yang apabila kita tidak aware dan memberinya tempat pada ruang sadar, ia akan muncul dengan sendirinya dalam beberapa symptomps seperti shock, illness, bahkan gejala psikosis.
Padahal, hal seperti itu akan lebih baik apabila disadari dan ditangani lebih cepat. Analogi sederhananya, “Bila kita selalu lari setiap kali melihat monster dalam diri kita, suatu hari, ketika monster itu muncul lagi, ia sudah terlalu besar untuk kita hadapi.” Sayangnya, ruang sosial yang kurang sehat, seperti adanya stigma dan judgemental, seringkali membuat mereka enggan untuk mencari pertolongan, baik ke sesama maupun ke expertise.
ADVERTISEMENT
Pandangan masyarakat—hal-hal apa saja yang diterima dalam masyarakat, apa yang dianggap sebagai baik dan buruk—akan memengaruhi bagaimana seseorang mengekspresikan dirinya, atau disebut juga sebagai persona dalam jungian psychology. Apabila stigma yang ada terhadap penyakit mental dan suicidal ideation dianggap buruk oleh masyarakat, seseorang akan cenderung enggan untuk menunjukkan hal itu kepada orang lain, enggan untuk mengekspresikannya.
Bahkan lebih parahnya, seseorang dapat denial dengan kondisi dirinya tersebut, karena adanya pengaruh dari society. Ketika seseorang denial, kondisi tersebut tidaklah hilang, melainkan akan tertumpuk dalam ruang bawah sadar dan menjelma menjadi apa yang disebut sebagai shadow self. Apabila shadow self tidak diakui atau mendapatkan tempat dalam ruang sadar, menurut Robert A. Johnson dalam bukunya Owning Your Own Shadow, “It erupts as an overpowering rage or some indiscretion that slips past us… The shadow gone autonomous is a terrible monster in our physic house.”
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, ruang yang sehat perlu dibangun bersama untuk membantu mereka melakukan self acceptance mengenai kondisinya. Hal ini akan mendorong mereka untuk melakukan self realization yang sehat—berani berbicara secara langsung atau melalui karya seni misalnya—yang kemudian akan membawa mereka pada kondisi diri yang lebih bermakna. Kita perlu ingat bahwa kita tidak dapat mengubah apapun yang tidak kita terima. “Wisdom begins only when one takes things as they are… So it is a healing attitude when one can agree with the facts as they are… only then can we thrive.” ujar Carl Jung.
Foto oleh Dziana Hasanbekava: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-yang-tidak-bisa-dikenali-dengan-payung-di-pantai-5480712/
Who Cares If One More Light Goes Out? Well, We Do!
Memberi pendampingan maupun menemani orang dengan suicidal ideation memang tidak mudah. Namun, jangan sampai ketakutan kita untuk mengucapkan kata yang salah atau tidak mampu merangkai kata yang sempurna membuat kita berhenti berusaha untuk berbicara dengan mereka.
ADVERTISEMENT
Cara menenangkan orang dengan suicidal ideation tidak dapat digeneralisasi. Ada orang yang bahkan tersinggung ketika menerima pesan “you matter” karena menurut mereka diri mereka memang sudah berharga tanpa validasi orang lain. Namun, ada juga yang justru butuh afirmasi tersebut, terutama dari orang-orang tersayang, karena kadang orang dengan suicidal ideation merasa dirinya tidak lagi berguna dan hanya menjadi beban bagi orang-orang terdekatnya. Oleh karena itu, penting untuk membuat orang dengan suicidal ideation nyaman berbicara sehingga kita dapat tahu cara seperti apa yang paling tepat untuk mendampingi mereka.
Namun paling tidak, ada satu kata kunci penting untuk mendampingi mereka terutama bagi orang-orang terdekat: be there. Bagi kita yang tidak terlalu kenal atau bahkan tidak kenal sama sekali, paling tidak: don’t judge. Jangan samakan standar normal, normal itu subjektif, “there are seven billions version of normal on this planet” tutur Matt Haig dalam bukunya A Reasons to Stay Alive (2015).
ADVERTISEMENT
Ada hal yang menurut saya juga penting, yaitu untuk mengapresiasi apa yang telah mereka lewati. Validasi bahwa memang sama sekali tidak mudah untuk melewati badai tersebut, tetapi di satu sisi hindari untuk menekankan bahwa badai pasti berlalu. Ungkapan seperti “pikiran ini pasti lekas pergi” dapat ditafsirkan secara salah bagi suicidal person yang tentunya juga mengalami kekacauan berpikir—bahkan secara biologis. Ungkapan seperti itu rasanya seakan suicidal ideation adalah hal yang tidak bisa kita terima. Sebaliknya, meyakinkan bahwa suicidal ideation adalah hal yang bisa diterima dan nantinya akan membawa dirinya menjadi versi yang lebih baik justru akan membantu mereka untuk berdamai.
ADVERTISEMENT
Ungkapan seperti “nanti kamu pasti bisa berubah” juga perlu dipertimbangkan untuk dihindari karena justru menegaskan bahwa di posisi itu mereka tidak berharga, perlu berubah. They are enough as they are, here and now. Ketimbang demikian, akan lebih baik apabila kita menuturkan kata-kata yang penuh dengan compassionate dan empati, ucapan-ucapan seperti “remember you’re love, and you always will be” dapat membantu mereka menemukan diri mereka kembali.
Selain itu, don’t take everything personally ketika awan gelap sedang merundung kepala mereka. Ungkapan tidak terkontrol dari mereka bisa saja terucap tanpa maksud sama sekali, bahkan jauh dari kata jujur. Yakini bahwa kekacauan pikiran mereka bukanlah hal yang mereka mau dan bukan dalam kendali mereka, sebagaimana bersin dari orang yang sedang flu. Validasi perasaan itu, tetapi juga yakinkan bahwa mereka lebih besar dari pada itu. Bila suicidal ideation adalah awan gelap, mereka adalah langit yang lebih luas itu.
ADVERTISEMENT
Beberapa suicidal person merasa bahwa dirinya terus berulang membendung rasa sakit yang sama serta takut ketika pikiran itu kembali merajai kepala. Mereka kadang merasa bahwa perjuangannya sia-sia, sebagaimana Sisyhpus yang dihukum tiada akhir untuk melakukan repetisi tindakan: mendorong batu ke atas bukit kemudian menggulingkannya dari atas, lakukan lagi dan lagi. Namun, yang perlu kita yakinkan adalah, berbeda dengan Sisyphus yang harus mendorong batu ke atas bukit seorang diri, mereka tidak harus mengangkat batu tersebut sendirian. Kita manusia dapat saling berbagi beban dengan penuh compassion. “The dangers maybe is not yet gone, but one does not feel the weight of the stone in the heart of another”, hikmah yang diinterpretasikan George A. Reisch terhadap cerita Sisyhpus.
ADVERTISEMENT
Memang, perjuangan tidaklah mudah. Pendampingan expertise sangat penting, tetapi perlu diketahui juga bahwa konsumsi obat dari psikiater sekalipun bukanlah solusi ajaib yang tiba-tiba bisa selalu menjadi game changer, there is no such thing like a magic pill—menemukan obat yang cocok sangatlah tricky, "because, in truth, the science of the brain is itself not quite there" tulis Matt Haig (2015).
Oleh karena itu, perlu lebih banyak compassion dalam lingkungan sosial—terutama dari orang terdekat—sehingga mereka akan terus memilih untuk bertahan. Terus bertahan dan berjalan adalah hal yang paling penting, lebih penting dari kesembuhan itu sendiri—apabila dianggap sebagai sebuah kondisi penyakit. Karena bisa jadi, solusi dari masalah ini bukanlah pada tempat-tempat yang biasa kita cari: psikoterapi, obat medis, meditasi, dsb., melainkan berada dalam pencarian itu sendiri—dengan memberi makna pada setiap langkah kecil.
ADVERTISEMENT
Memang, dunia kadang terasa kejam—paling tidak bagi sebagian orang. Dunia memang seringkali tidak adil. Bahkan beberapa filsuf menganggap dunia hanyalah kesia-siaan. Namun, beginilah dunia, dunia yang bermasalah, tetapi juga dunia dimana kita bisa saling berbagi rasa cinta dan peduli. Jadi, dari banyaknya sikap yang kita bisa ambil, semoga kita semua memilih untuk memenuhi dunia ini dengan lebih banyak kasih sayang dan kepedulian yang pada akhirnya akan sangat membantu banyak orang melalui lorong yang gelap dalam kehidupan mereka.
Who care if one more light goes out in the sky full of millions stars?
Well, we do.
Foto oleh Raman deep: https://www.pexels.com/id-id/foto/siluet-orang-1102257/