Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Memakai Parfum Bagi Perempuan Dalam Islam, Dilarang Kah?
8 November 2024 15:40 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ravi Choirul Anwar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita mungkin pernah mendengar larangan bagi perempuan muslim menggunakan parfum saat keluar rumah. Hal ini tentunya menimbulkan berbagai pertanyaan, terutama mengenai relevansinya dalam konteks kehidupan sosial masa kini. Misalnya, apakah etis seorang perempuan yang sedang bekerja malah membuat orang lain mencium bau badan yang kurang sedap?
Larangan tersebut salah satunya datang dari interpretasi atas hadits berikut, “Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.” (HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ahmad)
ADVERTISEMENT
Memang, larangan ini bukan berarti menjustifikasi muslimah boleh bau badan saat berinteraksi dengan orang lain. Namun, sayangnya, sekalipun mungkin sudah seoptimal mungkin menjaga diri dari bau badan—seperti mandi dan menggunakan deodoran—kita tidak terlepas sepenuhnya dari risiko timbulnya bau. Apalagi, ketika beraktivitas dalam rentang waktu cukup lama atau berkegiatan di luar ruangan.
Hal tersebut tentunya justru mengganggu kenyamanan orang lain, yang justru bertentangan dengan tujuan penetapan syariat atau dikenal dengan istilah maqasid al-syari’ah, yang pada dasarnya adalah mewujudkan kemaslahatan. Syariah Islam sendiri sebenarnya dinamis dalam menyikapi perkembangan dan perubahan zaman. Oleh karena itu, penafsiran hadis larangan menggunakan parfum bagi perempuan tersebut juga harus ditafsirkan secara kontekstual.
Apabila hanya ditafsirkan secara tekstual saja, kita dapat terjebak dalam berbagai benturan dengan realitas sosial saat ini seperti yang telah dijabarkan di atas. Belum lagi, kita dapat terjebak dalam tafsir yang cenderung bersifat patriarki. Larangan parfum hanya untuk perempuan tentunya akan membatasi ekspresi diri perempuan dalam ruang publik dan memimbulkan tafsir seakan wanita saja yang dapat mengundang syahwat lawan jenisnya dengan memakai wewangian di luar rumah.
ADVERTISEMENT
Tafsir bernafaskan patriarki seperti itu tentunya kurang tepat dengan semangat ajaran Islam. Perintah penggunaan jilbab saja bertujuan agar perempuan lebih aman saat berada di ruang publik. Pada saat turunnya perintah itu, pelecehan seksual terhadap budak sedang merajalela dan perempuan yang hadir di ruang publik seringkali dianggap sebagai pekerja seks. Oleh karena itu, jilbab berfungsi sebagai identitas atau simbol yang membedakan wanita mereka dengan para pekerja seks sehingga lebih aman hadir di ruang publik.
Kembali ke larangan parfum, menafsirkan secara kontekstual berarti kita memahami hadis tersebut dalam konteks sosio-historis. Konteks zaman Rasulullah SAW dengan zaman kini tentu telah mengalami pergeseran. Pergeseran di sini salah satunya mengenai kesempatan perempuan eksis di ruang publik. Saat ini, laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan bahkan kebutuhan yang sama untuk berada di ruang publik.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut membuat interaksi perempuan dengan orang lain semakin tinggi, mulai dari pekerjaan, interaksi jual-beli, interaksi pelayanan publik, hingga pada forum-forum tertentu. Pada saat ini, parfum justru menjadi salah satu opsi yang baik untuk mengoptimalkan pencegahan merebaknya bau badan yang dapat mengganggu kenyamanan berinteraksi.
Apalagi, bau badan sendiri bukan hal yang secara umum kita bisa sadari sendiri. Seringkali, kita tidak dapat mencium bau badan kita sendiri, tetapi orang lain menciumnya. Dari sisi ini, parfum dapat membuat kita lebih aman dari kekhawatiran timbulnya bau badan yang hanya tercium orang lain, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri.
Dalam pembacaan kontekstual ini, kita juga perlu memahami bahwa larangan sebuah hadis berlaku ketika terdapat suatu ‘ilaah dalam penggunaannya, misalnya motivasi penggunaan. Dalam hadis tersebut, yang menjadi ‘ilaah adalah apabila diniatkan untuk menarik perhatian kaum laki-laki dan terdapat unsur berlebihan.
ADVERTISEMENT
Artinya, secara konteks, tidak ada larangan menggunakan parfum bagi perempuan di masa kini apabila tidak diniatkan untuk tujuan sebagaimana ‘ilaah tersebut. Misalnya, selain menjaga diri dari bau badan, penggunaan parfum saat ini penting juga untuk mencerminkan sikap profesionalitas.
Penampilan yang bersih dan wangi tentunya dapat memberikan impresi yang positif, utamanya bagi seseorang perempuan yang memiliki peran dalam berinteraksi dengan banyak orang. Upaya menjaga sikap profesional dalam pekerjaan yang baik, tentunya tidak bisa disamakan dengan penampilan pezina pada zaman itu yang memakai wewangian semerbak untuk menggoda laki-laki.
Dengan memahami konteks zaman dan illat, kita juga mendapatkan jawaban mengapa hanya wanita pada saat itu yang dilarang menggunakan wewangian. Padahal di satu sisi, pemakaian wewangian oleh lelaki juga dapat menimbulkan syahwat bagi lawan jenisnya. Jawabannya adalah karena pada konteks masa itu, ruang publik masih didominasi oleh laki-laki, berbeda dengan saat ini. Pengumpamaan seperti pezina atau pekerja seks juga karena pada masa itu belum banyak pekerja seks laki-laki seperti zaman sekarang ini.
ADVERTISEMENT
Dengan pembacaan kontekstual, kita dapat memahami signifikansi dinamis dari pemaknaan pesan sebuah hadis untuk direlevansikan ke masa kini. Namun, signifikansi historis juga tidak dihilangkan sepenuhnya, makanya tetap dianjurkan untuk tidak berlebihan dalam memakai wewangian untuk melindungi wanita sebagaimana esensi dari larangan ini pada zaman dulu. Hal ini sejalan dengan salah satu poin penting agar kemaslahatan dapat terwujud, yaitu menghindari ghuluw (berlebih-lebihan).