Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kelas Menengah "Masuk Neraka Kemiskinan"?
10 September 2024 9:40 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Realino Nurza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sistem mata uang fiat telah menjadi dasar ekonomi modern selama lebih dari satu abad. Namun, dalam waktu yang sama, banyak yang berpendapat bahwa sistem ini secara bertahap telah menekan kelas menengah. Mata uang fiat, pada dasarnya, adalah uang yang tidak didukung oleh aset fisik seperti emas atau perak, melainkan berdasarkan kepercayaan kepada pemerintah yang mengeluarkannya. Namun, dengan manipulasi kebijakan moneter, inflasi yang terus meningkat, dan sistem perbankan yang mendukung utang, sistem ini justru sering merugikan masyarakat kelas menengah. Berikut adalah gambaran tentang bagaimana sistem ini secara perlahan 'membantai' kelas menengah.
ADVERTISEMENT
Awal Mula Mata Uang Fiat
Pada awal abad ke-20, banyak negara di dunia mengandalkan sistem standar emas, di mana nilai mata uang mereka didasarkan pada cadangan emas. Namun, dengan pecahnya Perang Dunia I, banyak negara mulai meninggalkan standar emas untuk mendanai pengeluaran perang yang besar. Puncaknya adalah pada tahun 1971 ketika Presiden Amerika Serikat Richard Nixon secara resmi memutuskan hubungan antara dolar AS dengan emas, sebuah langkah yang dikenal sebagai Nixon Shock. Sejak saat itu, dunia secara penuh beralih ke sistem fiat.
Mata uang fiat memungkinkan pemerintah untuk mencetak uang sesuka hati tanpa perlu khawatir tentang cadangan emas atau aset berharga lainnya. Di satu sisi, ini memberi fleksibilitas kepada pemerintah untuk merespons krisis keuangan dan menjalankan kebijakan fiskal yang lebih agresif. Namun di sisi lain, pencetakan uang yang tidak terkontrol justru menimbulkan inflasi dan devaluasi mata uang, yang paling berdampak pada kelas menengah dan bawah.
ADVERTISEMENT
Inflasi dan Daya Beli Kelas Menengah
Salah satu masalah utama dengan mata uang fiat adalah inflasi. Ketika pemerintah mencetak lebih banyak uang untuk menutupi pengeluaran, jumlah uang yang beredar meningkat dan nilai relatifnya menurun. Hal ini menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa, atau yang biasa kita sebut sebagai inflasi. Sementara orang-orang kaya sering kali memiliki aset yang terlindung dari inflasi, seperti properti atau investasi, kelas menengah cenderung menyimpan kekayaan mereka dalam bentuk uang tunai atau gaji tetap. Dengan meningkatnya inflasi, daya beli uang mereka menurun secara signifikan.
Sebagai contoh, jika seseorang dari kelas menengah memiliki simpanan di bank dengan suku bunga rendah, inflasi yang tinggi akan secara efektif mengikis nilai riil dari simpanan tersebut. Uang yang mereka miliki mungkin sama nominalnya, tetapi barang yang bisa dibeli dengan uang itu jauh lebih sedikit. Ini adalah salah satu cara yang tidak terlihat bagaimana sistem fiat membantai kelas menengah: melalui erosi perlahan daya beli mereka.
ADVERTISEMENT
Utang dan Konsumerisme
Sistem fiat, yang dikombinasikan dengan kebijakan moneter modern, telah menciptakan budaya utang yang meluas. Perbankan, dengan didukung oleh kebijakan suku bunga rendah, mendorong orang-orang untuk berutang, baik untuk membeli rumah, mobil, atau sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di banyak negara, orang-orang dari kelas menengah semakin tergantung pada kartu kredit dan pinjaman untuk menjaga gaya hidup mereka.
Namun, utang adalah pedang bermata dua. Sementara dalam jangka pendek mungkin terlihat seperti solusi yang mudah, dalam jangka panjang, bunga utang terus bertambah dan beban cicilan menjadi semakin berat. Kelas menengah, yang pada awalnya mungkin tampak stabil, sering kali terjebak dalam siklus utang yang sulit untuk keluar. Alih-alih menabung atau berinvestasi, mereka terjebak dalam pembayaran bunga utang yang terus membengkak.
ADVERTISEMENT
Utang ini, tentu saja, sangat menguntungkan bagi lembaga keuangan besar. Bank dan lembaga kredit memetik keuntungan besar dari bunga yang dibayarkan oleh konsumen kelas menengah. Sementara itu, semakin banyak orang dari kelas menengah yang berjuang untuk menjaga kepala mereka di atas air, mereka menjadi lebih rentan terhadap krisis keuangan.
Devaluasi Mata Uang dan Globalisasi
Devaluasi mata uang adalah salah satu cara lain di mana sistem fiat mengikis kekayaan kelas menengah. Karena mata uang fiat tidak didukung oleh aset fisik, pemerintah memiliki kebebasan untuk menurunkan nilai mata uang mereka untuk mendongkrak ekspor atau mengurangi beban utang negara. Meskipun ini mungkin bermanfaat bagi perekonomian secara keseluruhan dalam jangka pendek, dampaknya terhadap individu, terutama kelas menengah, bisa sangat merugikan.
ADVERTISEMENT
Kelas menengah sering kali tidak memiliki akses ke alat-alat keuangan yang kompleks atau investasi yang dapat melindungi mereka dari dampak devaluasi mata uang. Ketika mata uang kehilangan nilainya, simpanan mereka juga ikut terdevaluasi. Ini, sekali lagi, menurunkan daya beli mereka dan membuat mereka semakin sulit untuk mengimbangi kenaikan harga barang dan jasa.
Selain itu, globalisasi juga telah memperburuk situasi bagi kelas menengah di banyak negara. Dengan dibukanya pasar global, perusahaan-perusahaan besar dapat memindahkan operasi mereka ke negara-negara dengan biaya tenaga kerja yang lebih rendah. Akibatnya, banyak pekerjaan dengan gaji yang layak bagi kelas menengah di negara maju hilang atau digantikan oleh pekerjaan dengan upah lebih rendah. Ini menciptakan tekanan besar pada kelas menengah, yang sering kali tidak memiliki pilihan selain menerima kondisi kerja yang lebih buruk atau beralih ke pekerjaan yang kurang stabil.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan Kekayaan yang Semakin Lebar
Sistem fiat, yang mendukung kebijakan moneter longgar dan pencetakan uang, sering kali dianggap menguntungkan bagi mereka yang berada di puncak piramida ekonomi. Orang-orang kaya memiliki akses ke investasi yang dapat melindungi mereka dari inflasi dan devaluasi, seperti saham, obligasi, properti, dan komoditas. Sementara itu, kelas menengah, yang kekayaannya sering kali terbatas pada pendapatan tetap atau tabungan, tidak memiliki perlindungan yang sama.
Akibatnya, kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin terus melebar. Orang-orang kaya semakin kaya karena mereka dapat memanfaatkan sistem yang ada untuk melindungi dan mengembangkan kekayaan mereka. Di sisi lain, kelas menengah dan miskin semakin terjebak dalam lingkaran inflasi, utang, dan devaluasi mata uang yang merusak daya beli mereka. Ini menciptakan situasi di mana semakin sedikit orang yang dapat naik ke kelas atas, sementara semakin banyak yang terjebak dalam ketidakstabilan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Masa Depan Kelas Menengah
Kelas menengah, yang pernah dianggap sebagai tulang punggung masyarakat modern, semakin terancam oleh sistem fiat yang tampaknya dirancang untuk menguntungkan segelintir elit. Kebijakan moneter yang mengutamakan pencetakan uang, inflasi, dan utang telah menciptakan situasi di mana kelas menengah tidak dapat lagi menikmati stabilitas finansial seperti yang pernah mereka miliki.
Meskipun demikian, masih ada harapan. Dengan meningkatnya kesadaran tentang risiko yang ditimbulkan oleh sistem fiat, semakin banyak orang yang mencari cara untuk melindungi kekayaan mereka. Investasi alternatif seperti emas, mata uang kripto, dan aset lainnya menjadi semakin populer sebagai cara untuk menghindari risiko inflasi dan devaluasi.
Namun, jika kebijakan saat ini terus berlanjut, masa depan kelas menengah akan semakin sulit. Mereka harus menghadapi realitas baru di mana stabilitas finansial menjadi semakin sulit dicapai, dan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin semakin melebar. Bagi banyak orang, sistem fiat telah berubah menjadi mesin yang secara perlahan membantai kelas menengah, meninggalkan mereka dengan sedikit harapan untuk masa depan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Penulis adalah praktisi berpengalaman dalam pengelolaan dana abadi (endowment fund), dana pensiun, dana sosial , asuransi sosial, serta peneliti bidang pembangungan berkelanjutan sejak 2004. Untuk pembelajaran lebih lanjut bisa mengunjungi website grl-capital.com .