Toilet Warisan Dunia

Konten dari Pengguna
23 Januari 2017 11:38 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Redaksi Syahrazade tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kecil kemungkinan jamban bakal didaftar sebagai warisan budaya oleh pemerintah. Apalagi untuk diusulkan menjadi warisan budaya dunia ke Unesco. Walaupun jika ukuran budaya adalah keterlibatan kreatif dan manfaatnya pada orang banyak, maka jamban sangat memenuhi syarat. Dibanding keris yang sudah mendapat pengakuan Unesco misalnya, jamban pasti jauh lebih fungsional. Seni rancangannya juga sangat variatif, tak kalah dengan keris. Kebudayaan tanpa seni keris tidak bakal kekurangan keluhungannya. Namun bisa dibayangkan sebuah kebudayaan tanpa tradisi bertoilet atau berjamban.
ADVERTISEMENT
Angan-angan seperti itulah yang meliputi pikiran saya manakala melihat orang tergesa-gesa menuju toilet di hotel berbintang lima kawasan BTDC Nusa Dua, pada suatu hari yang kebetulan tidak berjarak jauh dengan “Hari Toilet Sedunia” (19 November) yang ditetapkan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ceritanya saya mengikuti kegiatan acara World Culture Forum 2013 yang lalu. Acara ini konon melibatkan tidak kurang dari 45 negara peserta. Bagi pemerintah Indonesia, gengsi kegiatan ini setara dengan APEC di bidang ekonomi, WTO (World Trade Organitation) di bidang dagang dan forum-forum berskala internasional lain. Yang lebih inti, WCF kata pemerintah ingin mendorong kebudayaan tampil menjadi kekuatan utama dalam proses pembangunan dunia. Dari segi Indonesia, menurut pemerintah lagi, ini merupakan strategi diplomasi budaya untuk meningkatkan wibawa dan peran Indonesia dalam proses-proses peradaban global.
ADVERTISEMENT
Tak heran kalau tema-tema yang dibicarakan dalam forum itu adalah tema-tema yang berasal dari alam pikiran global dan ditulis dalam bahasa global. Yakni, Civil Society and Cultural Democracy, Sustainable Urban Development, Inter-Faith Dialogue in Community Building, Creativity and Cultural Economics, Culture in Environmental Sustainability. Oleh karena para pembicara dari tiap materi itu berasal dari latar belakang bermacam-macam negara dan profesi, tentulah bermacam-macam pula pikiran dan pandangan yang muncul terkait tema-tema tersebut.
Para peserta, yang kebanyakan adalah kelas intelektual, tampaknya juga terpolarisasi antara (1) yang mengerti atas apa yang dibicarakan, (2) yang pura-pura mengerti dan (3) yang merasa heran kenapa tema-tema ‘orang kuliahan’ semacam di atas harus memerlukan sebuah forum internasional berbiaya miliaran rupiah. Karena sebenarnya kesimpulan dari tema-tema tersebut mudah dicari di perpustakaan kampus ataupun LSM. Singkat kata, para peserta tidak hanya berbeda pandang dalam melihat materi pembicaraannya. Namun juga berselisih pendapat soal dasar pikiran penyelenggaran kegiatan itu. Terutama dari segi efisiensi dan kemasan kegiatannya.
ADVERTISEMENT
Walaupun demikian, semua orang toh sama-sama memburu toilet sesudah itu. Bermacam-macam rupa manusia, kulit hitam, putih, kuning sawo, tampak tergesa-gesa menuju toilet setiap kali usai mengikuti sebuah sesi diskusi. Semuanya bergegas menyerbu toilet dengan semangat, ekspresi dan tujuan yang satu: buang hajat. Sampai-sampai ada yang bergurau: toilet adalah tujuan kebudayaan manusia yang sesungguhnya. Karena di toilet orang jadi lupa bahasa, ras, bangsa. Dan mengerahkan seluruh daya upaya untuk satu hajat: yaitu buang hajat itu sendiri.
Tentu saja gurau semacam ini hanya sebuah silogisme yang tak perlu diperbincang lebih jauh. Apalagi sampai menjadi tema sidang WCF 2 pada 2015 . Namun lain lagi soalnya, kalau ditelisik dari ‘musibah’ pribadi saya dengan toilet di sebuah kamar hotel berbintang lima tempat saya menginap di kawasan BTDC itu. Meski sudah dua hari menginap, saya tetap kesulitan mempergunakan toilet monoblok yang ada di kamar mandi dalam kamar tidur. Bila hendak buang air besar saya harus turun tiga lantai menuju rest room di ruang lobi. Alasannya karena di situ ada toilet yang di sampingnya dipasang sebuah selang air. Jadi saya bisa cebok dengan nyaman seperti biasa.
ADVERTISEMENT
Toilet di kamar hotel memang kelihatan mahal sekali. Jenis monoblok (one piece) dengan struktur tangki air dan bowl (badan kloset) yang jadi satu. Tapi hanya ada satu tombol pembilas tipe siphonic. Saat tombol flushing ditekan, air yang lembut akan keluar membilas permukaan kloset. Nyaris tanpa suara. Beda betul dengan kakus tipe cangkung di kamar kontrakan saya di Jakarta yang saat menyiram, suaranya bisa kedengaran ke ujung gang. Di hotel semua begitu bersih, rapi, mewah, diam.
Masalahnya, tidak ada semacam bidet atau tombol kecil yang biasa sembunyi di ngaung kloset yang bisa digunakan untuk cebok. Alternatifnya pakai tisu. Maka sebisanya saya menghindari toilet itu. Termasuk untuk kencing, saya pun dibuat susah karena tidak bisa bersuci, kecuali harus berjalan dulu ke arah shower di balik ruang kaca. Jadi ribet kesannya. Pendek kata, di kamar hotel itu saya mengalami apa yang disebut orang “culture shock”, karena seluruh benda tiba-tiba menjadi musuh saya.
ADVERTISEMENT
Kalau ada yang perlu disalahkan atas kasus ini, pastilah desain modern kamar mandinya. Betapa sombongnya sebuah ilmu desain interior bekerja dalam pikiran orang tradisional seperti saya. Melalui sebuah kloset, mereka memaksa saya meninggalkan kebudayaan cebok (menggunakan air) yang telah diwariskan nenek moyang selama ribuan tahun. Lalu menggantinya dengan kebudayaan tisu. Kerisauan saya, jika di kamar mandi saja orang dibuat tak berdaya, bagaimana di luar kamar mandi?
Kloset hanya secuil contoh yang telah menjadi tanda dari transformasi global yang sedang dialami masyarakat. Ini adalah kisah tentang kemewahan kapitalisme yang mampu mengatur kehidupan manusia global mulai dari ruang yang paling privasinya: kakus. Alih-alih berperan di bagian depan dari transformasi peradaban global itu, dalam proses ini ternyata saya hanya bisa gagap dan dibelakangkan. Yang paling mungkin hanyalah melakukan penyesuaian. Dengan kloset. Untunglah jika ini hanya dialami orang seperti saya.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini merupakan karya dari Riki Dhamparan Putra dan dimuat di http://syahrazade.com/toilet-warisan-dunia/merupakan Penyair dan musafir yang lahir di Padang, besar di Bali, dan sekarang di Jakarta. Buku puisinya adalah Percakapan Lilin (2004) dan Mencari Kubur Baridin (2014).