Sastrawan Perempuan Periode Reformasi

Regita Oktiana Rahmadani
Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
9 April 2022 7:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Regita Oktiana Rahmadani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu cara meneladani para sastrawan dengan rajin membaca buku (Sumber: Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu cara meneladani para sastrawan dengan rajin membaca buku (Sumber: Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
Sebelum datangnya agama islam, perempuan dipandang sebelah mata. Anak perempuan yang baru saja dilahirkan dikubur hidup-hidup oleh orang tuanya. Sebelum Indonesia merdeka pun perempuan tidak diperbolehkan untuk menuntut ilmu. Anak perempuan hanya boleh mengurus rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Saya menulis topik “Sastrawan Perempuan Periode Reformasi” ini untuk memberikan wawasan mengenai peran sastrawan perempuan sebagai motivasi semua orang agar semangat berkarya.
Tujuan saya menulis topik ini untuk memberikan informasi mengenai sastrawan perempuan dan karyanya pada periode reformasi.
Karya sastra memiliki periodisasi dari tahun ke tahun. Salah satu periodisasi sastra yang berkembang pesat seiring perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah pada periodisasi reformasi. Tidak hanya karya sastra saja yang berkembang, dibalik karya sastra yang menginspirasi terdapat para sastrawan yang berjuang untuk menghasilkan karya sastra tersebut.
Sastrawan dari kaum laki-laki pada periode reformasi diantaranya adalah Ahmadun Yosi Herfanda, Andrea Hirata, dan Gustafrizal Busra, sedangkan sastrawan perempuan periode reformasi diantaranya adalah:
ADVERTISEMENT
1. Ayu Utami
Karya sastra beliau yang pertama dan terkenal adalah Novel Saman. Novel ini menceritakan tentang seksualitas yang mengundang kontroversi. Novel ini berhasil meraih penghargaan dewan kesenian Jakarta pada tahun 1997. Dengan semangat, gigih, dan berani Ayu Utami menulis novel dengan tema gender dan seksualitas tersebut. Selain itu, Ayu Utami juga menulis Novel Larung (2001).
2. Djenar Mahesa Ayu
Djenar Mahesa Ayu menulis karya sastra novel yang bertema seks dan kelamin yang berjudul “Nayla” (2005) dan cerpen “Jangan Main-Main Dengan Kelaminmu”. Pada novel "Nayla" beliau menceritakan kehidupan seorang wanita bernama Nayla yang mengalami pelecehan seks oleh kekasih ibunya sendiri dan diperlakukan kasar pula oleh ibunya sendiri. Cerpen “Jangan Main-Main Dengan Kelaminmu” juga menggambarkan tentang seks. Beliau menulis karya bertemakan seks bertujuan untuk memberikan informasi dan edukasi mengenai pentingnya menjaga diri dan pentingnya pendidikan seks .
ADVERTISEMENT
3. Oka Rusmini
Beliau memiliki karya sastra diantaranya novel “Tarian Bumi” dan “Kenanga” yang menceritakan budaya, adat, dan agama yang selalu memojokkan perempuan.
4. Dewi Lestari
Karya sastra dari Dewi Lestari diantaranya yaitu novel “Supernova: Ksatria, Putri" dan "Bintang Jatuh" (2001). Novel ini unik, karena memiliki tema tentang sains yang dipadukan dengan keromantisan para remaja.
Selain sastrawan perempuan tersebut, terdapat banyak sastrawan perempuan lain yang memiliki karya yang tidak kalah unik dan menarik, seperti Asma Nadia, Helvy Tiara Rosa, Intan Paramaditha, dan lainnya. Lalu, bagaimana cara kita sebagai generasi muda untuk meneladani para sastrawan hebat tersebut? Kita bisa mulai dengan rajin membaca karya sastra dan belajar menulis dengan tekun untuk menghasilkan suatu karya sastra.
ADVERTISEMENT