Konten dari Pengguna

Eksploitasi Agama dan Kekuasaan di Era Gus dan Habaib

Rendi
Mahasiswa aktif di UIN Prof. Saifuddin Zuhri Purwokerto, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Hobi bermusik dan terkadang juga suka menulis, tapi lebih ingin dikenal sebagai musisi.
24 Desember 2024 11:42 WIB
·
waktu baca 1 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: IStock.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: IStock.com
ADVERTISEMENT
Gelombang popularitas para Gus dan Habaib di Indonesia telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Fenomena yang saya sebut sebagai selebritas ulama, telah mengubah lanskap keagamaan di negeri ini menjadi semacam panggung hiburan yang mengaburkan batas antara spiritualitas sejati dan sensasionalisme media.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini memunculkan kekhawatiran tentang kualitas keagamaan yang disebarkan. Banyak dari Gus dan Habaib ini lebih fokus pada penampilan dan gaya berceramah yang menghibur daripada substansi ajaran agama.
ADVERTISEMENT
Lebih menghawatirkan lagi, fenomena ini seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan komersial dan politik
Penting untuk diingat bahwa nilai seorang ulama terletak pada kedalaman ilmu dan integritas moral, bukan kepada gelar atau jumlah pengikut di media sosial. Fenomena ini berpotensi mengikis esensi ajaran agama dan menggantinya dengan bentuk keagamaan yang dangkal dan berorientasi pada popularitas.
Masyarakat perlu lebih kritis dalam menyikapi fenomena ini. Alih-alih terpesona oleh pesona selebritas Gus dan Habaib, kita harus kembali pada esensi ajaran agama yang menekankan pada pendalaman ilmu, peningkatan akhlak, dan pengalaman nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, saya mengajak pembaca untuk merenungkan kembali makna sejati spiritualitas dan peran ulama dalam masyarakat. Apakah kita benar-benar membutuhkan bintang rock keagamaan, atau justru figur yang dapat membimbing kita menuju pemahaman agama yang lebih mendalam dan bermakna?.