Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Era Digital: Masalah dan Tantangannya
18 Mei 2020 13:50 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Rendi Eko Budi Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah ancaman pandemi COVID-19 komunikasi virtual semakin terlihat nyata. Fenomena itu berbanding lurus dengan upaya digitalisasi zaman atau yang lebih dikenal dengan era komunikasi 4.0. Konsekuensinya individu harus dapat beradaptasi dengan penggunaan tekonologi untuk beraktivitas guna memudahkan mobilitas sosialnya.
ADVERTISEMENT
Misalnya, tuntutan untuk menjaga jarak sosial saat pandemi COVID-19 mengharuskan lini pendidikan formal kita beralih kepada platform virtual atau digital. Lain lagi pasar-pasar konvensional yang biasanya ramai didatangi pembeli seketika menjadi lesu. Gantinya konsumen beralih dengan berbelanja melalui marketplace yang telah banyak tersedia dan menjual berbagai kebutuhan primer maupun sekunder kita.
Dalam keadaan realitas tersebut, term era disrupsi semakin kontekstual adanya, yang mengharuskan mobilitas sosial serta pelaku jual-beli untuk dapat meningkatkan model kegiatannya agar dapat lebih berkompetisi agar seirama dengan tuntutan zaman Jika tidak perandaian 'ayam mati di lumbung padi' bisa saja terjadi di negeri yang dinamis ini.
Renaissance 2.0: Realitas Global Village
Apa yang telah penulis uraikan di atas adalah fenomena Global Village (desa global). Yang dalam pengertiannya sekat sekat geografis dunia hari ini sudah dapat di tembus oleh kita semua melalui teknologi virtual nirkabel. Kita semua yang tinggal di desa kini mampu mengetahui segala kejadian di dunia dengan tetap duduk manis di dalam rumah. Konsep Global Village diperkenalkan oleh pemikir ilmu komunikasi Marshal Mcluhan dalam bukunya Understanding Media: Extension of A Man.
ADVERTISEMENT
Bercermin atas itu, jika Eropa melahirkan era Renaissance dengan pengarus utama ilmu pengetahuan. Rasanya hari ini telah lahir kembali renaisans jilid 2 atau renaisans 2.0 yang pelakunya adalah semua warga dunia dengan beragam aktivitas pengetahuan dan teknologi dalam balutan tatanan sosial yang baru.
Tantangan dan Kesiapan Kita Menuju Renaissance 2.0
Pada praktiknya guna menyongsong era digital, setidaknya kita masih menyisahkan masalah dalam dua hal. Pertama, infrastruktur yang kurang memadahi: Seperti fasilitas jaringan nirkabel (internet) yang tidak semua dari kita dapat mudah untuk mengaksesnya. Kedua, penguasaan perangkat tekonologi oleh sumber daya manusia guna meminimalisir masalah gagap penggunaanya.
Sebagai wujud masalah yang pertama, tak lain adalah masih mahalnya kuota internet yang diperjualbelikan oleh perusahaan telekomunikasi. Sehingga hanya kelas sosial yang memang berkecukupan yang mampu menikmati dan tidak memandangnya sebagai suatu masalah berarti.
ADVERTISEMENT
Yang lain, terkadang susahnya infrastruktur jaringan internet di daerah nonperkotaan, sehingga kecepatan akses internet mengalami perbedaan yang cukup jauh, masih bisa kita menemui orang kesusahan mencari sinyal atau jaringan untuk dapat berkomunikasi. Dalam konsep lainya, layanan smart city dengan akses gratis wifi di ruang publik masih belum merata diterapkan di negeri kita.
Idealnya hadirnya teknologi dapat mengikis nois(gangguan) dalam berkomunikasi, namun dua masalah di atas masih menjadi teman tak mengenakan bagi banyak orang hari ini. Yang sudah barang tentu menjadi pekerjaan bagi negara dan penyedia layanan untuk menanggulanginya.
Kali lain, literasi penggunaan teknologi juga menjadi penghalang suatu negara untuk merambah ke era komunikasi digital. Kalau kita menengok lingkungan sekitar kita baik tua maupun muda, terkadang masih kita menjumpai mereka yang belum melek teknologi atau gagap teknologi(gaptek), sudah selayaknya negara dengan pihak berwajib menanggulangi masalah ini. Lantaran, penguasaan teknologi adalah hal dasar dalam kehidupan di era digital.
ADVERTISEMENT
Tantangan Kemanusiaan
Ranaissance adalah peralihan zaman di Eropa, atau akrab dikenal dengan abad pencerahan, aspek relasi ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi hal penting dalam membangun peradaban modern. Akibatnya segala sesuatu dimaknai secara materiil penggunaan intuisi dan nilai moral dalam berkehidupan semakin terkikis, makanya renaissance selain melahirkan kebudayaan modern, secara bersamaan juga memunculkan sifat nirkemanusiaan. Dalam ini, nilai moral manusia beserta kebijaksanaanya terkalahkan dengan pandangan yang lebih menguntungkan secara materiil.
Yang menjadi masalah selanjutnya adalah, bagaimana secara bersamaan upaya kita dalam memasuki era digital tidak mengurangi kecintaan kita pada aspek kemanusiaan, lantaran sifat memanusiakan manusia adalah nilai keberadapan kita dalam berhubungan satu sama lain.
Pada kasusnya, seperti cyber crime, cyber bullying masih dapat kita temui di ruang media sosial, kasus prank baru baru ini oleh youtuber Ferdian Paleka yang alih alih memberi bantuan berupa bingkisan sembako, namun malah berisikan sampah adalah wujud bergesernya orientasi kemanusiaan, yang seharusnya berangkat dari rasa empati, namun kenyataanya hanya sebagai pengisian konten media sosial yang berorientasikan segi materiil belaka.
ADVERTISEMENT
Sudah semestinya, masalah dan tantangan di atas menjadi tanggung jawab kita semua, memaknai perubahan zaman dengan sikap yang bijaksana dan kesiapan serta keterampilan yang memadahi.