Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Melihat Bagaimana Terorisme Memanfaatkan Media Baru
10 April 2021 20:37 WIB
Tulisan dari Rendi Eko Budi Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masih tersimpan jelas dalam ingatan saya, sejarah menyebutkan ada empat aksi teror bom setelah kejadian di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton tahun 2009, yakni: Teror bom di Mapolresta Cirebon pada tahun 2011, bom Thamrin, dan Bom Solo di tahun 2016, disusul bom di Surabaya yang terjadi pada tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Dan baru baru ini, di akhir bulan Maret 2021, Indonesia Kembali digemparkan dengan dua aksi terorisme dengan lokasi kejadian yang berbeda. Teror bom bunuh diri di pelataran Gereja Katedral Makasar dan teror penyerangan tunggal di Mabes Polri, dua kejadian teror tersebut tentu menambah daftar aksi terorisme di tanah air.
Tujuh aksi terorisme dalam kurun waktu satu dasawarsa itu adalah jumlah yang banyak, dan memberi artian kepada kita bahwa terorisme masih jauh api dari panggang untuk usai hingga hari ini.
Terorisme acap kali hadir kepada kita melalui pemberitaan media, dan dengan pemberitaan media informasi terorisme dalam skala global dapat kita pindai tanpa batas geografis.
Selain motif dan identitas pelaku terorisme, yang penting untuk dipahami adalah hubungan simultan antara media dan terorisme, keduanya menjadi dua actor dalam suatu fenomena yang sangat ekstrem.
ADVERTISEMENT
Tesis dari ilmuwan komunikasi massa Herbert Marshal Mcluhan “without mass media terorism would not exist” penting menjadi titik pijak diskusi atas keterkaitan media dan terorisme. Atas tesis tersebut dapat dimengerti bahwa antara aksi teror dan pemberitaan media mempunyai relasi ketergantungan satu sama lain.
Mencari Arti Terorisme
Pemaknaan atas teroris tidaklah tunggal, melainkan banyak artikulasi pemaknaan atas kelompok teroris, dalam banyak kesempatan Buya Syafii Maarif sering berujar teroris adalah penganut paham “Teologi Maut” keadaan di mana seseorang lebih memilih mati ketimbang berjuang untuk hidup, dalam hal ini Buya Syafii ingin menjelaskan tindakan terorisme jauh dari prinsip kedamaian dan kemanusiaan dan meyakini peham atau keyakinan hidup yang salah.
Haidah Bagir (2017) dalam bukunya "Islam Tuhan Islam Manusia" menerangkan ada tiga hal dibalik seseorang melakukan aksi terorisme. Pertama, ideologi yang membenarkan jika diikuti. Kedua, adanya kelompok yang memfasilitasi untuk menjalankan ideologi dan berbagai model penerapannya. Ketiga, individu yang termarjinalkan baik dalam kehidupan sosial maupun finansial. Dengan itu dapat dimaknai Tindakan terorisme selain mempunyai konstruksi ideologi juga membawa tujuan politis di baliknya.
ADVERTISEMENT
Merujuk Fajar Junaedi (2017) pada artikelnya "Relasi Terorisme dan Media" menjelaskan teroris dapat dilekatkan pada sekelompok populis yang menggunakan strategi teror dengan bentuk pemboman, pembajakan, dan penculikan untuk meraih tujuan politiknya. Dengan adanya multidefinisi berkenaan dengan terorisme di atas, terdapat suatu kesimpulan bahwa modus operasional Tindakan terorisme dilakukan secara terstruktur dan sistematis, yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
Media Baru dan Massifikasi Publisitas Terorisme
Pada lingkup komunikasi massa, media berperan sebagai komunikator dalam penyampaian pesan, dan keterkaitan dengan kelompok teroris tak lain adalah penggunaan media oleh kelompok teroris untuk mengkomunikasikan keberadaanya dalam lingkungan social. Dahulu keberadaan teroris dan aksi teror selalu diberitakan oleh media massa arus utama seperti Televisi dan surat kabar harian atau koran, realita aksi teror bom misalnya, merupakan berita yang menarik dan penting untuk diproduksi awak media yang mempunyai orientasi terhadap rating tayangan, karena aksi terorisme dalam bentuk ledakan bom mempunyai peluang besar untuk menjadi informasi atau berita dalam skala nasional bahkan global.
ADVERTISEMENT
Pada situasi seperti ini kelompok teroris secara cuma cuma mendapatkan publisitas atas aksinya, sedangkan media di satu sisi selain mewartakan secara tidak langsung juga “membantu” kelompok teroris tetap eksis. Sebagai contoh stasiun televisi CNN pernah melakukan wawancara Bersama Usama Bin Ladin, pemimpin organisasi Al Qaeda yang digolongkan oleh Amerika, lembaga dunia seperti PBB dan Uni Eropa sebagai organisasi teroris internasional. Hal ini tentu peluang dan pemberian ruang bagi organisasi Al Qaeda sebagai bentuk komunikasi dan identitas keberadaanya.
Publisitas kelompok terorisme dewasa ini telah bertransformasi dari media arus utama atau konvensional menuju pada platform media baru seperti halnya portal media online dan media sosial yang dapat memproduksi informasi lebih cepat.
ADVERTISEMENT
Media baru mampu menjangkau khalayak lebih luas dan cepat persis setelah kejadian teror berlangsung. Hal ini selaras dengan penjelasan Burhan Bungin dalam bukunya Konstruksi Media Massa Atas Realitas, karakter portal media online dan media sosial adalah keunggulan kecepatan informasi dan konstruksi yang dilengkapi dengan visualisasi video serta gambar.
Lebih lagi, media sosial memiliki fitur UGC atau User Generated Content, yang memungkinkan pengguna media sosial seperti Facebook, Twitter, Blog, dan Youtube dapat memproduksi dan membagikan konten secara pribadi tanpa kurasi aparatur secara professional. Kasus bom bunuh diri di Makasar yang berlokasi di pelataran Gereja Katedral tak butuh waktu lama untuk menjadi topik atau trending utama di portal Twitter.
Pelancaran aksi serangan tunggal seorang perempuan di Mabes Polri dalam sekejap telah viral di laman Youtube, dan dapat kita telusuri video rekamannya selama masih tersimpan di dalamnya. Konten yang berkaitan dengan Tindakan atau aksi teror secara tidak langsung dapat menjadi ketakutan social atau massa, yang disebabkan oleh konsumsi konten aksi teror secara intens.
ADVERTISEMENT