Aku Terlanjur Menjadi HMI

rendi95 lustanto
Pecinta Kopi dan Part time student Philosophy Program UI. Ngebet Part time Schoolar at LSE
Konten dari Pengguna
12 Mei 2017 1:57 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari rendi95 lustanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dukungan massa HMI untuk Habib Rizieq. (Foto: Aria Pradana/kumparan)
ADVERTISEMENT
Rangkaian aksara ini bukan hanya sebatas curhatan kader HMI yang berniat untuk murtad, namun mungkin ini merupakan kondisi terkini dari organisasi ini.
Motif saya untuk menjadi kader HMI adalah satu: Mendapatkan tempat tinggal gratis. Itu awalnya. Namun, ternyata seiring berjalanya waktu, saya mulai menerima bahwa organisasi tertua ini merupakan salah satu organisasi yang menyumbang para seniman politik di kanvas yang membentang dari Sabang sampai.......
Saya tidak menuliskan Merauke karena ini menjadi sebuah pertanyaan, apakah kita akan terus menempelkan "Merauke" dalam balutan lagu nasionalis yang membawa kita menjadi manusia-manusia “anti humanis”. Itu renungan awal yang akan saya tawarkan untuk oraganisasi ini.
Jujur, saya merindukan atmosfer temen-temen sejawat HMI, yang menjadi kader kuat secara intelektual dan lihai jika menari di arena pertunjukan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Saya bertanya, apakah HMI sekarang sudah tepat di khittah-nya sebagai organisasi mahasiswa islam yang berlandaskan intlektual dan bernapaskan Islam? Saya rasa perlahan-lahan tapi pasti, organisasi ini mulai kehilangan napas akademik, dan cenderung tertutupi oleh nafsu politis, sehingga banyak dari kader kader HMI yang tidak bisa move on dari rutinitas untuk thowaf kepada kakanda-kakanda tercintanya, walupun secara usia sebenarnya sudah masuk kategori uzur untuk bernyaman-nyaman ria di organisasi ini.
Sudah saatnya kakanda-kakanda yang terlalu nyaman di HMI ini untuk terjun dan membuka mata dengan realitas di sekitarnya, bahwa untuk mendapatkan posisi di tengah arena pertempuran yang bernama “demokrasi” kalian harus memenangkan hati para rakyat, bukan mencari sanjungan dari para junior di komisariat atau sekedar memanipulasi suara kader ditingkat komisariat untuk mendukung calon ketua umum, yang kalian anggap memiliki keuntungan untuk modal mendekati elite yang terhormat.
ADVERTISEMENT
Hai, para kakanda dan ayunda, sadarkah HMI, jika diibaratkan sebuah dapur, oragnisasi ini kompornya, yang memasak bahan mentah menjadi bahan jadi? Tapi kalau komporya bermasalah, apakah bisa matang dengan sempurna? Lantas, apakah organisasi ini akan nyaman dengan platform tua nan usang seperti ini?
Budaya hierarki serta feodalisme tumbuh bagaikan jamur di musim penghujan di tubuh organisasi ini. Apakah perlu ada reformasi ditubuh HMI? Saya rasa organisasi ini kulitnya saja seolah-olah pendukung reformasi, namun isinya masih mengikuti budaya Orba yang menghamba. Lalu, apakah seperti ini wajah dari kompor politisi masa depan negeri? Mau jadi apa negeri ini? Kita membutuhkan anak muda yang mengerti akar rumput serta memahami konstelasi elit negeri, bukan hanya piawai lobi-lobi di gedung pejabat tinggi. Kita butuh pemuda yang membantu petani yang tanahnya digusur oleh salah satu BUMN lalu apa kabar dengan reformasi di tubuh HMI?
ADVERTISEMENT
Celotehan saya sebenarnya merupakan sebuah kegusaran yang saya rasakan sebagai kader HMI. Yah, walaupun seperti itu nukan maksud saya menjelek-jelekan organisasi ini. Bagaimana pun celotehan kecil saya ini wujud kegusaran yang ada di benak para kader-kader ini, yang meledak bagaikan bom atom ketika melihat sebuah pernyataan mungkin bisa disebut sebagai pernyataan politik yang prematur dan tidak memandang hak untuk menyatakan pendapat dan berekspresi. Kemudian, dibarengi dengan aksi brutal gerombolan mahasiswa yang mengklaim sebagai HMI, gerombolan mahasiswa yang mengklaim sebagai himpunan mahasiswa islam cabang Jakarta Raya yang memblokir acara Belokkiri Festival karena dianggap manifestasi dari komunisme di era sekarang.
Apakah kita sebagai seorang kader hanya bisa diam saja ketika isu seperti ini memanas dan membawa stigma negatif terhadap organisasi kepemudaan terbesar di indonesia ini? Apakah organisasi ini akan menjadi artefak dari sebuah peradaban, dan hanya menjadi ingatan tempoe dulu ketika anak-anak cucu kita besar nanti? Di era demokrasi, seharusnya festival seperti ini rutin untuk diselenggarakan agar kita mampu belajar dari sejarah. Ingat pidato dari Bung Karno yang berjudul Jasmerah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah agar kita dapat belajar dari dosa masa lalu.
ADVERTISEMENT
Miris memang. Saya tidak tahu bagaimana respon dari Lafran Pane sebagai inisiator berdirinya organisasi. Mungkin ia menangis darah di alam kubur. Sedangkan Nurcholis Madjid hanya geleng-geleng sambil baca istighfar melihat penerusnya yang terkesan tidak menunjukan intelektual dan kebebasan berpendapat ini.
Jika HMI ini bermetamorfosa menjadi partai, mungkin akan seperti parta UMNO di Negeri Jiran dengan kekuatan yang sangat kuat dengan menggunakan satu identitas tertentu sebagai pelekat, dan mungkin bisa saja menjadi representasi partai yang sangat gaduh sebagai penguasa Senayan. Namun, jangan bangga! Bisa saja menjadi salah satu partai penyumbang penghuni lapas KPK disuatu hari nanti.
Itu hanya pengandaian semata. Lantas, mau kemana arah HMI jika masih seperti ini?
Hemmm..... Saya pikir, melihat konstelasi politik anak muda sekarang nampaknya harus ada reformasi di tubuh HMI, sekaligus reinterpretasi semangat HMI agar sesuai dengan tuntutan dan situasi negeri. Apakah kita akan terus melanggengkan budaya lobi-lobi yang sarat dari nilai demokrasi itu? Jujur, selama ini saya merasa sistem seperti ini sangat rawan untuk mendidik patih politik yang jauh dari semangat berdemokrasi. Memang, reformasi harga mati di tubuh HMI.
ADVERTISEMENT
Salam untuk kakanda dan ayunda yang duduk di PB HMI. Mari mulai berfikir reformasi untuk kebaikan HMI dan ibu pertiwi.