Konten dari Pengguna

Puasa dan Pengendalian Hawa Nafsu

Rendy Iskandar Chaniago
Magister PTIQ Jakarta, Trainer, penulis lepas, penikmat sepak bola, dan pengamat isu sosial budaya
6 April 2023 9:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rendy Iskandar Chaniago tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mengantuk saat puasa. Foto: Odua Images/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mengantuk saat puasa. Foto: Odua Images/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Manusia diciptakan Allah dengan segala sifat, ciri, dan ‎karakteristiknya. Salah satu ciri manusia adalah diberikan hawa nafsu. Secara bahasa dapat dipahami bahwa hawa bermakna ‎keinginan sedangkan nafsu berarti jiwa. Disimpulkan bahwa ‎hawa nafsu adalah keinginan jiwa untuk melakukan sesuatu ‎sehingga menjadi dorongan (impuls) baik maupun buruk.‎
ADVERTISEMENT
Nafsu sendiri dalam psikologi memiliki dua daya utama yakni al-‎ghadhab, daya yang berpotensi untuk menghindarkan diri dari ‎segala yang membahayakan. Sifatnya secara natur seperti hewan ‎buas yang menyerang, merusak, membunuh, menyakiti, dan ‎lain-lain. Daya selanjutnya as-syahwat, daya yang berpotensi ‎untuk menginduksi dari segala sesuatu yang menyenangkan, ‎sifatnya seperti hewan jinak yang erotisme, memiliki naluri seks ‎bebas, narsisme, dan hal-hal yang dilakukan untuk memuaskan ‎birahi. Secara garis besar, prinsip kerja hawa nafsu mengikuti ‎prinsip kenikmatan (pleasure principle).‎
Saat menjalani kehidupan, hawa nafsu manusia lantas menjadi ‎dorongan utama untuk menjalankan hal-hal yang baik (takwa) maupun hal-hal yang buruk (fujur). Allah berfirman:‎
وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ
‎’’Dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya, (7) Lalu ‎Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ‎ketakwaannya’’ (8) (asy-Syams/91: 7-8)‎.
Ilustrasi Al-quran. Foto: G.Tbov/Shutterstock
Manusia yang mampu menempuh jalan baik sebagaimana ayat di ‎atas adalah manusia yang mampu mengendalikan hawa nafsunya ‎dan membenarkan nafsunya hanya kepada Allah. Nafsu ‎kebenaran ini disebut nafs muthma’innah atau nafsu yang ‎tenang. Dalam Al Quran dijelaskan bahwa nafsu ini yang akan ‎kembali kepada Allah dan diridhai-Nya, “Wahai jiwa yang ‎tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai.” ‎‎(Al-Fajr/89: 27-28)‎
ADVERTISEMENT
Sebaliknya jalan keburukan dapat ditempuh dengan menuruti ‎nafsu yang buruk atau nafsu ammarah. Nafsu ini merupakan ‎sumber dari segala kejahatan, kebatilan dan kesesatan. Adapun ‎nafsu lain yang sering membawa kepada keburukan adalah nafsu ‎lawwamah, nafsu ini menurut Qatadah adalah nafsu yang buruk ‎karena berasal dari kata talawwum yang berarti tidak konsisten ‎atau laum yang artinya celaan.‎
Sejak dilahirkan ketiga sifat nafsu tersebut selalu berebut menjadi ‎dorongan utama manusia dalam bertindak. Ketiganya berusaha ‎saling memengaruhi manusia agar mau mengerjakan keburukan ‎atau kebaikan.
Ilustrasi anak lemas saat belajar puasa. Foto: Shutterstock
Bagi mereka yang dapat mengendalikan nafsunya ‎dan memenangkan nafsu muthma’innah, maka akan menang ‎dalam kehidupan dunia, sementara mereka yang tidak dapat ‎mengendalikan nafsunya serta memenangkan nafsu ammarah ‎dan lawwamah akan terjatuh dalam kejahatan dan keburukan.‎
ADVERTISEMENT
Saat ini umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa ‎Ramadhan, merupakan ajang yang tepat dan momentum untuk ‎mengendalikan hawa nafsu. Dengan puasa setidaknya manusia ‎sanggup mengekang nafsunya sebagaimana hadits Nabi yang ‎berbunyi:‎
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يَا مَعْشَرَ ‏اَلشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ ‏يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ‎ "‎‎
‎“Abdullah Ibnu Mas'ud ra. berkata: ‘Rasulullah saw bersabda ‎pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu ‎telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat ‎menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. ‎Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia ‎dapat mengendalikanmu." (Muttafaq 'Alaih)
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hadits tersebut, berpuasa adalah cara umat muslim ‎mengendalikan hawa nafsunya. Sebab syahwat biologis manusia ‎dapat dikendalikan salah satunya dengan berpuasa.‎
Ilustrasi berbuka puasa. Foto: Odua Images/Shutterstock
Imam Ghazali lebih lanjut menjelaskan dalam Ihya ‘Ulumuddin ‎‎(juz 3, hal 85) bahwa salah satu manfaat menahan lapar adalah ‎manfaat mengendalikan nafsu sehingga tidak melakukan ‎kemaksiatan dan terbebas dari nafsu buruk.
Sebab, makanan ‎adalah ‘bahan bakar’ bagi hawa nafsu, saat berpuasa setidaknya ‎salah satu pintu hawa nafsu telah tertutup dan dikendalikan ‎sampai berbuka. Saat seorang muslim mampu mengendalikan ‎nafsunya, maka dirinya sanggup untuk menggunakan waktu dan ‎tenaganya hanya untuk melakukan kebaikan.‎
Hebatnya lagi jika kita sanggup berpuasa satu bulan lebih, maka ‎sudah terbentuk ‘habit positif’ dalam diri manusia. Habit untuk ‎mengendalikan hawa nafsu dan mengedepankan kebenaran ‎Allah dapat dibentuk selama bulan Ramadhan.
ADVERTISEMENT
Dalam European ‎Journal of Social Psychology pada tahun 2009 dijelaskan bahwa ‎kebiasaan dapat dibentuk dengan membangun kebiasaan antara ‎‎18 hari hingga 254 hari. Senada dengan itu, Liza M Djaprie, ‎seorang psikolog klinis menjelaskan bahwa kebiasaan dapat ‎terbentuk dalam 30 hari, otak akan mulai menyesuaikan ‘habit’ ‎baru yang dilakukan terus menerus.‎