Konten dari Pengguna

Menakar Cinta dan Keadilan: Hak Asuh Anak dalam Hukum Islam di Indonesia

Revita Putri Sadewi
Mahasiswi Aktif Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidatullah Jakarta
30 Desember 2024 12:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Revita Putri Sadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2012/12/20/10/12/align-fingers-71282_1280.jpg (ilustrasi orangtua dan anak)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2012/12/20/10/12/align-fingers-71282_1280.jpg (ilustrasi orangtua dan anak)
ADVERTISEMENT
Ketika sebuah pernikahan berakhir dengan perceraian, salah satu isu paling rumit yang harus diselesaikan adalah hak asuh anak. Di Indonesia, persoalan ini tidak hanya melibatkan hukum Islam, tetapi juga sistem hukum nasional yang mengatur berbagai aspek kehidupan berkeluarga.
ADVERTISEMENT
Dalam hukum Islam, hak asuh anak atau hadhanah diatur dengan prinsip-prinsip yang menitikberatkan pada kesejahteraan anak. Secara umum, anak-anak yang belum mencapai usia tamyiz (biasanya sekitar 7-9 tahun) lebih sering diasuh oleh ibu, karena diyakini ibu memiliki kemampuan yang lebih baik dalam memberikan kasih sayang dan perawatan. Namun, ketika anak sudah mencapai usia tamyiz, ia diberi hak untuk memilih ingin tinggal bersama ayah atau ibu.
Prinsip ini tidak sepenuhnya kaku. Islam menempatkan kemaslahatan anak sebagai prioritas utama. Jika seorang ibu dianggap tidak mampu memberikan perawatan yang baik, misalnya karena masalah mental, moral, atau ekonomi, maka hak asuh dapat dialihkan kepada ayah atau kerabat lain yang lebih kompeten.
Di Indonesia, hak asuh anak setelah perceraian diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi pedoman utama pengadilan agama. Pasal 105 KHI menyebutkan bahwa:
ADVERTISEMENT
Namun, pengadilan agama juga mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti kondisi psikologis anak, hubungan emosional dengan orang tua, dan stabilitas lingkungan tempat tinggal. Proses ini sering kali melibatkan laporan dari pekerja sosial atau psikolog untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang situasi anak.
Tidak semua kasus hak asuh berjalan lancar. Banyak perceraian yang berujung pada konflik berkepanjangan antara kedua orang tua, terutama jika masing-masing pihak merasa lebih berhak atas anak. Dalam beberapa kasus, ayah menggunakan kekuatan ekonomi untuk memengaruhi keputusan pengadilan, sementara di sisi lain, ibu sering kali menghadapi tekanan sosial yang berat jika dianggap "tidak layak" mengasuh anak.
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus ini menjadi semakin kompleks ketika melibatkan anak-anak dari pernikahan siri atau anak di luar nikah. Secara hukum Islam, anak hasil hubungan di luar nikah hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Namun, keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2012 membuka peluang bagi anak untuk mendapatkan pengakuan dari ayah biologisnya, meskipun hal ini tetap menimbulkan perdebatan.
Perseteruan hak asuh sering kali membawa dampak negatif pada anak. Anak yang menjadi saksi konflik antara orang tua cenderung mengalami tekanan emosional, kebingungan, dan kehilangan rasa aman. Dalam beberapa kasus, anak juga digunakan sebagai alat negosiasi atau bahkan "senjata" untuk menyakiti pasangan yang berpisah.
Untuk mengurangi dampak ini, pengadilan agama biasanya mewajibkan mediasi sebelum memutuskan hak asuh. Selain itu, hakim berupaya memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar demi kepentingan terbaik anak, bukan hanya berdasarkan keinginan orang tua.
ADVERTISEMENT
Salah satu tantangan terbesar dalam persoalan hak asuh anak adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa keputusan pengadilan agama bertujuan untuk melindungi anak, bukan sekadar memenuhi ambisi salah satu pihak.
Selain itu, masalah pelaksanaan keputusan juga sering muncul. Misalnya, ayah yang diwajibkan memberikan nafkah untuk anak tetapi tidak menjalankan kewajibannya, atau ibu yang mempersulit akses ayah untuk bertemu anak. Dalam situasi seperti ini, pengadilan agama memerlukan mekanisme yang lebih kuat untuk memastikan kepatuhan terhadap keputusan.
Salah satu solusi potensial adalah memperkuat pendidikan hukum bagi masyarakat, khususnya terkait hak asuh anak. Dengan pemahaman yang lebih baik, orang tua diharapkan dapat menyelesaikan persoalan ini dengan cara yang lebih bijaksana dan damai. Selain itu, keterlibatan pekerja sosial, psikolog, dan mediator profesional juga dapat membantu mengurangi konflik dan memastikan kesejahteraan anak.
ADVERTISEMENT
Hak asuh anak adalah persoalan yang sangat sensitif, karena melibatkan cinta, keadilan, dan masa depan generasi penerus. Dalam setiap keputusan yang diambil, baik oleh orang tua maupun pengadilan, kepentingan terbaik anak harus selalu menjadi prioritas utama.
Di Indonesia, pengadilan agama telah berupaya sebaik mungkin untuk menegakkan hukum Islam sambil mempertimbangkan konteks sosial dan hukum nasional. Namun, keberhasilan sistem ini juga bergantung pada kesadaran dan kerja sama masyarakat. Dengan memahami hak dan kewajiban masing-masing, serta menempatkan kebutuhan anak di atas segalanya, kita dapat menciptakan solusi yang lebih adil dan manusiawi untuk persoalan hak asuh anak.