Konten dari Pengguna

Situasi Representasi Politik Deskriptif dan Substantif Perempuan di Indonesia

Revo Linggar Vandito
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
17 Desember 2023 17:10 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Revo Linggar Vandito tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wanita karier Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wanita karier Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dalam konteks kajian ilmu politik, kita mengenal pendekatan kontemporer baru yang disebut sebagai pendekatan feminisme. Pendekatan tersebut dapat dijelaskan sebagai suatu pendekatan yang hadir akibat melihat proses operasionalisasi politik dalam konteks operasionalisasi kekuasaan yang cenderung memarginalkan perempuan dan membentuk suatu komunitas politik yang cenderung patriarkal (Lowndes et al., 2018).
Dalam hal ini pendekatan feminisme merupakan pendekatan yang dapat dimaknai 2 hal yakni pendekatan yang sifatnya deskriptif atau pendekatan yang menjelaskan bagaimana terjadinya ketidaksetaraan dan bias gender yang terjadi di dalam masyarakat. Serta yang kedua melihat feminisme sebagai suatu pendekatan yang sifatnya transformatif yang digunakan sebagai sarana mentransformasi sifat masyarakat menjadi lebih berkeadilan khususnya terhadap perempuan (Kenny & Mackay, 2018).
ADVERTISEMENT
Hadirnya kajian mengenai perempuan dan politik berawal dari adanya kekhawatiran mengenai ketimpangan atau ketidaksetaraan akses perempuan dalam mengisi posisi posisi publik. Selain itu kekhawatiran yang muncul sehingga kajian politik dan perempuan serta politik gender adalah fakta bahwa ilmu politik seringkali luput dalam membahas ranah-ranah privat, sehingga dengan adanya dan hadirnya perempuan dalam praktik politik dan kajian politik maka politik dapat melebarkan sayapnya ke dalam ranah privat
Sehingga salah satu kajian dan objek penting dalam pendekatan politik dan perempuan adalah pembahasan terkait representasi perempuan di dalam politik khususnya pada badan legislatif. Alasan penting mengapa representasi perempuan pada badan legislatif menjadi fundamental adalah penelitian yang mengungkapkan bahwa legislator perempuan memiliki tendensi untuk memprioritaskan persoalan persoalan yang berkaitan dengan perempuan dibandingkan dengan laki laki.
ADVERTISEMENT
Sehingga dengan menggunakan asas demokrasi yang inklusif maka representasi perempuan untuk mengadvokasi kepentingan perempuan di dalam parlemen menjadi suatu hal yang fundamental dalam inklusivitas demokrasi (Paxton & Hughes, 2017)
Secara teoritis Hannah Pitkin seorang ahli politik pertama yang membicarakan perihal representasi perempuan secara akademis menyebutkan bahwa di dalam teori representasi setidaknya terdapat 4 klasifikasi representasi dalam politik.
Namun yang seringkali menjadi permasalahan dalam kajian representasi perempuan adalah relasi antara representasi deskriptif dengan representasi substantif. Representasi deskriptif dapat didefinisikan sebagai konsep representasi sebagai suatu entitas yang menjadi miniatur masyarakat, maksud dari miniatur masyarakat tersebut harus dipahami dengan melihat identitas sosial yang ada, sehingga representasi masyarakat harus mempertimbangkan kelompok minoritas yang seringkali tidak terwakili di dalam parlemen.
ADVERTISEMENT
Sehingga proposisi yang muncul dari representasi deskriptif ini adalah “Keberadaan perempuan yang memadai dalam parlemen akan menciptakan advokasi dan akomodasi terhadap kepentingan perempuan. Selanjutnya terdapat representasi substantif dapat didefinisikan sebagai konsep representasi yang menekankan advokasi dan kepentingan suatu kelompok sehingga dalam konteks representasi perempuan maka seorang legislator akan mengadvokasi dan memprioritaskan aspirasi serta kepentingan dari kelompoknya ( Pitkin, 1967).
Namun dalam konteks empiris Indonesia, rasa rasanya baik representasi deskriptif dan representasi substantif perempuan di Indonesia masih jauh dari harapan dan jauh dari kata. Dalam konteks representasi deskriptif contohnya, angka keterwakilan perempuan di Indonesia belum memuaskan, hal tersebut terlihat dengan fakta bahwa representasi perempuan di parlemen masih menunjukkan angka sebesar 20% keterwakilan perempuan di dalam parlemen dengan fakta bahwa 49,48% populasi di Indonesia merupakan perempuan.
ADVERTISEMENT
Sehingga apabila menggunakan kerangka representasi deskriptif maka kondisi keterwakilan perempuan deskriptif di Indonesia maka parlemen di Indonesia belum berhasil menjadi miniatur gambaran masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Selain itu dalam konteks pemerintahan lokal, terdapat beberapa daerah yang memiliki keterwakilan politik yang rendah di dalam badan legislatif tingkat lokal.
Sebagai contoh kondisi keterwakilan perempuan di DPRD Nusa Tenggara Barat hanya mendapatkan angka 2% dengan menjadikan Hj. Baiq Isvie Rupaeda, SH., MH satu satunya legislator perempuan pada DPRD Provinsi NTB (Murtadho & Hairurayyan, 2022). Permasalahan tersebut turut terjadi di Sumatera Barat di mana dari total 65 anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat hanya terdapat 4 perempuan atau 10% angka keterwakilan perempuan (Sari, 2020)
ADVERTISEMENT
Perempuan Sebagai Aktor Politik. Sumber: pexels.com
Dalam ilmu politik, ketika berbicara mengenai representasi perempuan yang sifatnya substantif seringkali akan dihubung-hubungkan dengan jumlah perempuan yang ada di dalam parlemen (representasi deskriptif).
Namun dalam relasi antara representasi deskriptif dan representasi substantif terdapat perdebatan, apakah terdapat hubungan positif antara representasi deskriptif terhadap representasi substantif atau tidak ada hubungan positif antara representasi deskriptif dengan representasi substantif.
Proposisi hubungan positif antara representasi deskriptif terhadap representasi substantif didukung dengan berbagai riset, salah satunya adalah munculnya teori sekaligus literatur berjudul “the politics of presence” karya Anne Phillips yang menyimpulkan bahwa kehadiran perempuan di dalam parlemen akan memprioritaskan kepentingan dan permasalahan perempuan.
Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa studi bahwa legislator laki laki cenderung kurang memprioritaskan kepentingan perempuan dan anak anak. Sehingga berdasarkan asumsi tersebut maka dibentuklah berbagai kebijakan kuota gender dalam politik untuk meningkatkan representasi deskriptif perempuan (Phillips, 1995).
ADVERTISEMENT
Namun terdapat beberapa studi yang mengungkapkan bahwa seringkali representasi deskriptif perempuan tidak berarti menjamin representasi substantif perempuan di dalam parlemen. Meskipun demikian, kehadiran perempuan di dalam tidak menjamin hal tersebut keterwakilan kepentingan perempuan.
Pengaruh representasi deskriptif terhadap representasi substantif bersifat ‘probabilistik, bukan’ deterministik'. Dengan kata lain, semakin tinggi jumlah representasi perempuan di legislatif maka semakin besar kemungkinan tercapainya atau peningkatan akomodasi kepentingan perempuan, namun tidak ada jaminan yang bisa menjamin hal tersebut (Dodson, 2006). Bahkan terdapat beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa representasi deskriptif tidak menjamin adanya representatif bagi perempuan di parlemen (Garboni, 2015; Celis, 2008)
Pun dengan kondisi empiris di Indonesia, kondisi representasi substantif masih mengalami tantangan yang relatif kompleks. Meskipun terdapat peningkatan yang signifikan mengenai representasi deskriptif, namun Indonesia hal tersebut belum menghasilkan dampak substantif bagi keterwakilan perempuan dalam politik, khususnya terkait dengan pencapaiannya dalam hal pendidikan perempuan dan kondisi ekonomi perempuan secara keseluruhan, dan meskipun terdapat ketentuan dan regulasi 30 persen kuota calon perempuan dalam pemilu legislatif.
ADVERTISEMENT
Ada kesenjangan gender yang besar di dalamnya segala bentuk sumber daya yang dibutuhkan kandidat untuk mencapai kesuksesan politik, termasuk finansial sumber daya, akses terhadap jaringan elite, dan pengalaman kepemimpinan politik, sehingga representasi perempuan menjadi ajang para elite untuk melebarkan sayap politiknya (Aspinall et al., 2022).
Hal tersebut menjadikan wajah wanita prasangka dari partai politik dan masyarakat memiliki keraguan akan kapasitas mereka untuk mewakili kepentingan masyarakat, sebuah fakta yang dikonfirmasi dalam sebuah penelitian Edward Aspinall dan kolega dalam penelitiannya yang berjudul “Women’s Political Representation in Indonesia: Who Wins and How?”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perempuan di Indonesia dalam konteks politik masih belum terwakili di dalam parlemen secara representatif baik dalam sudut pandang deskriptif maupun substantif. Hal tersebut turut mengindikasikan bahwa dalam konteks politik perempuan masih menjadi kaum yang dimarginalkan.
ADVERTISEMENT
Tidak heran apabila rancangan undang undang yang berkaitan dengan kepentingan perempuan seringkali terabaikan dan menjadi proyek undang undang yang mangkrak layaknya RUU PKS yang sempat mangkrak selama bertahun tahun hingga pada akhirnya disahkan pada 2022 akibat tekanan masyarakat.
Namun pekerjaan rumah legislator di Indonesia terkait RUU yang berkaitan dengan perempuan masih sangat banyak seperti RUU PPRT dan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA)