Peliknya Masyarakat Indonesia dalam Berutang

Reynaldo Dion
// HR PT. Cakra Guna Cipta bukan penulis, dan penikmat musik underground
Konten dari Pengguna
7 Desember 2022 12:23 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reynaldo Dion tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Uang adalah faktor eksternal dalam mempengaruhi pola pikir manusia https://unsplash.com/photos/ZVprbBmT8QA
zoom-in-whitePerbesar
Uang adalah faktor eksternal dalam mempengaruhi pola pikir manusia https://unsplash.com/photos/ZVprbBmT8QA
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pengujung tahun terkadang membuat kita memikirkan segala sesuatu yang telah diperbuat. Apakah resolusi awal tahun sudah terlaksana atau bahkan terabaikan ? entahlah semenjak pandemi melanda rasanya membuat resolusi hanya untuk memberikan harapan hidup yang sesaat. Semua orang sedang berjuang untuk bisa bertahan hidup dengan segala hal ada pada saat ini. Termasuk dengan adanya kenaikan harga BBM yang awalnya masyarakat dikasih harapan dengan ucapan pak presiden bahwa tidak akan ada kenaikan, namun hal itu ternyata hanya harapan saja. Harapan dari pemerintah bukan sesuatu hal yang baru bagi masyarakat. Ada sesuatu hal yang menarik ketika saya berbincang dengan teman terkait adanya kenaikan harga BBM
ADVERTISEMENT
itu lah ucapan teman saya yang seakan terpatri dalam pikiran saya dan membuat sudut pandang baru yang jarang dilihat oleh banyak orang.
Hampir setiap orang di dunia yang "kapitalisme" ini sepertinya pernah berutang. Utang merupakan kondisi ketika kita meminjam uang atau barang dari orang lain. Sehingga sesuatu hal yang dipinjamkan harus segera dikembalikan. Utang itu menawarkan kemudahan dan merupakan salah satu cara dalam memenuhi kebutuhan / tujuan. Stigma yang ada di masyarakat bahwa kalau kita berutang merupakan sesuatu yang buruk, dan suatu hal yang kalau bisa dihindari. Secara tidak langsung stigma itu menjelaskan bahwa ada ketakutan di masyarakat dalam berutang.
ADVERTISEMENT
Padahal sebenarnya utang merupakan suatu cara yang bersifat netral, jika kita tau cara memakainya. Perbedaan utang produktif dan utang konsumtif bukan terletak pada jenis produk yang dibeli, melainkan pada fungsi atau peruntukan utang tersebut.
Jika berutang untuk pemenuhan kebutuhan dan sesuatu yang konsumtif, maka utang akan mempersulit kita untuk keluar. Utang konsumtif adalah utang untuk membeli benda atau membiayai hal-hal yang habis dalam sekali waktu, ataupun mengalami penurunan nilai seiring waktu. Misalnya adalah membeli ponsel model terbaru, belanja baju model teranyar, atau membeli jam tangan mahal untuk koleksi. Kegiatan berutang yang sering ini memunculkan pepatah gali lubang tutup lubang bagi masyarakat Indonesia yang minim akan informasi keuangan.
Beda halnya jika melakukan utang yang produktif, utang produktif adalah utang yang menciptakan nilai tambah di masa depan. Meskipun cicilan utang sudah lunas, namun aset atau pembelian dari utang tersebut terus meningkatkan nilainya atau menambah pemasukan. Beberapa contoh utang produktif di antaranya KPR (Kredit Pemilikan Rumah) untuk membeli properti, kredit kendaraan bermotor untuk taksi online, atau cicilan laptop untuk bekerja sebagai desainer grafis.
ADVERTISEMENT
Hidup di era digital ini juga penuh dengan godaan, bombardir iklan sale di berbagai platform membuat kita terkadang tergoda membeli suatu barang di luar kebutuhan pokok manusia. Semakin dipermudah transaksi jual beli yang dulu rasanya sangat susah dilakukan. Ketika berbaring di kamar, kita bisa membeli sesuatu yang sepertinya tidak penting penting amat namun karena ada potongan harga atau gratis ongkos kirim membuat kita berubah pikiran. Kemudahan ini lah yang membuat utang konsumtif salah satu cara yang banyak digemari oleh masyarakat. Hal ini membuat estimasi consuming class di Indonesia ternyata akan bertambah setiap tahunnya. Consuming class adalah orang yang mampu membeli barang dan jasa di luar kebutuhan dasar. Secara umum kelas ini dalam kelas menengah.
ADVERTISEMENT
Pemasukan yang terbatas namun memiliki keinginan yang tinggi merupakan dua faktor yang menyebabkan keberanian masyarakat Indonesia meningkat dalam berutang. Kelas sosial di masyarakat juga merupakan faktor penting dalam meningkatkan keberanian dalam berutang. Terlihat asing ketika yang lain memiliki hal yang sama, terkadang membuat kita mengorbankan sesuatu agar terlihat sama. Secara tidak langsung manusia membutuhkan hiburan dan pengakuan. Keinginan untuk bisa masuk ke dalam kelas sosial tertentu dengan mengikuti tren terkini, misal membeli ponsel terbaru padahal sebetulnya banyak kewajiban yang harus dipenuhi. Belanja dan cicilan merupakan dua hal yang menyebabkan masyarakat usia produktif untuk sulit menabung dan memiliki keuangan yang seimbang.
Selama 12 tahun mengenyam pendidikan di sekolah kita juga tidak pernah diajarkan mengenai informasi keuangan. Bahkan dalam lingkup keluarga pun sangat tabu ketika membahas keuangan. Sehingga memang masyarakat Indonesia sepertinya ketika ingin belajar mengenai keuangan harus secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Beruntung di era sekarang semakin banyak influencer keuangan yang mau berbagi dengan cuma melalui media sosial. Sepertinya harus dipikir kembali ketika ingin protes ke pemerintah mengenai harga BBM yang naik. Bisa saja itu adalah upaya pemerintah untuk mengendalikan perilaku konsumtif kita yang tak mampu ini tapi demi gengsi apapun dilakukan untuk bisa mendapatkannya.