Konten dari Pengguna

Mudik, Ziarah dan Kembali Pulang

Reza Fauzi Nazar
Santri - Alumni Lirboyo Kediri - Dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung
30 Maret 2025 13:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reza Fauzi Nazar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Engkau tak akan bisa pulang ke rumah yang sama, karena sungai yang kau seberangi telah berubah, dan begitu pula dirimu." Kata Heraclitus. Setiap perantau itu menatap jalan panjang ke kampung halaman di penghujung Ramadan. Mudik bukan sekadar perjalanan fisik. Ia adalah lintasan waktu, ruang, dan ingatan. Ia merupakan ritual tahunan yang menautkan yang jauh, merajut yang tercerai, menziarahi yang telah pergi.
ADVERTISEMENT
Di perempatan kota-kota besar, terminal penuh dengan wajah-wajah yang letih namun berbinar, Ada yang menggenggam tiket, ada yang memanggul ransel, menunggu bus tiba dan bergegas berangkat pulang. Di jalan-jalan arteri, kendaraan memadat. Malam-malam terakhir Ramadan, kota mendadak sunyi. Ia seperti tubuh yang kehilangan denyut, karena orang-orang yang menghidupinya telah kembali ke asal. Jakarta lengang, Surabaya lengang, Bandung lengang. Hanya lampu jalan dan suara kendaraan dari jarak jauh yang menjadi sisa kehidupan. Di lorong-lorong sempit, warung kopi bertahan sedikit lebih lama, menampung mereka yang masih ragu untuk beranjak.
source: unsplash.com https://unsplash.com/@abdulridwanrr
zoom-in-whitePerbesar
source: unsplash.com https://unsplash.com/@abdulridwanrr
Mudik adalah sejenis nostalgia yang meruang. Sebuah kerinduan akan rumah yang mungkin telah berubah, namun tetap dipuja dalam ingatan. Kenangan menjadi sejenis fotografi mental yang tak bisa diulang. Kita kembali ke rumah, tetapi rumah itu telah lain, atau mungkin, kitalah yang telah berubah. Mudik adalah ritual berkunjung untuk menengok kembali dan pulang, yang dengannya juga memastikan ritual tak kalah penting: ziarah.
ADVERTISEMENT
Pada hari raya Idul Fitri, setelah salat dan bersalam-salaman, sehabis menyantap hidangan opor dan ketupat, di beberapa daerah pekuburan menjadi lebih ramai dari biasanya. Di antara rindang pepohonan dan makam yang biasanya sunyi, doa-doa berbisik: percakapan tanpa suara antara yang hidup dan yang mati. Ziarah adalah bentuk mudik lain—mudik ke dalam ingatan, ke dalam kesadaran bahwa waktu tak pernah berhenti, bahwa kita adalah bagian dari rantai panjang sejarah yang tak selesai.
Di makam-makam itu, nama-nama yang terukir di batu nisannya memanggil kita ke masa lalu. Di bawah nisan terbaring orang-orang yang pernah mengharap cemas kita pulang, yang mungkin pernah melepas kita pergi dengan linangan air mata. "Hidup ini tak lebih dari serangkaian perpisahan yang panjang." Ziarah menjadi cara untuk menjahit kembali jarak yang telah koyak, untuk mengakui bahwa meski tubuh telah tiada, kehadiran tetap ada dalam doa dan ingatan.
ADVERTISEMENT
Syahdan, kita menemukan makna bahwa waktu bukan garis lurus, melainkan lingkaran. Kita kembali, lalu pergi lagi. Kita menziarahi yang telah pergi, lalu suatu hari akan diziarahi. Sebuah ritual cara manusia menegosiasikan kefanaan. Dalam mudik dan ziarah itu, kita berusaha menahan laju waktu, menciptakan keabadian dalam momen-momen yang terus berulang.
Namun, di tengah romantisme itu, ada yang perlu kita renungkan. Mudik, yang seharusnya menjadi perayaan silaturahmi, seringkali di zaman ini berubah menjadi arena kapitalisme yang rakus. Harga tiket melambung, jalanan macet berhari-hari, dan kampung halaman yang dulu damai kini dijejali oleh perantau yang membawa budaya kota. Sebab, ruang sosial selalu diwarnai oleh perebutan modal, baik itu ekonomi, sosial, maupun simbolik. Mudik bukan hanya perjalanan pulang; ia juga arena di mana status sosial dipertontonkan. Mobil baru, pakaian baru, gengsi yang dibawa dari kota ke desa—semua adalah manifestasi dari bentukan kapitalisme modern.
ADVERTISEMENT
Tetapi mungkin, justru dalam kontradiksi itulah esensi mudik tetap bertahan. Sebab, tak peduli seberapa banyak ia dikomodifikasi, tetap ada kesunyian yang tak bisa dibeli. Ada doa di sudut kuburan yang tak perlu didengungkan. Ada perjumpaan di ruang tamu yang mungkin tak terjamah. Ada air mata ibu yang menetes diam-diam saat melihat anaknya pulang setelah bertahun-tahun.
Malam terakhir Ramadan adalah malam yang hening dan riuh sekaligus. Hening dalam doa, riuh dalam perjalanan pulang. Ia adalah pertemuan antara yang fana dan yang abadi. Ia adalah saat di mana kita merasakan bahwa, dalam segala perubahan yang terjadi, ada yang tetap: kerinduan untuk kembali, dan keyakinan bahwa selalu ada rumah yang menunggu. Seperti puisi Chairil Anwar,
ADVERTISEMENT
Kupercaya:
Hanya kata dan suara tetap tinggal
Melekat pada angin
sejarah akan membeku
Sampai kita mati