Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Puasa dan Hal-hal yang Tak Selesai
27 Maret 2025 7:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Reza Fauzi Nazar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Seperti setiap tahun, Ramadan datang dan pergi. Puasa dijalani dengan khusyuk—atau setidaknya dengan kepatuhan—di siang hari, lalu ditutup dengan berbuka yang penuh kegembiraan. Lalu Lebaran tiba: takbir menggema, sajadah digelar, dan tangan-tangan saling bersalaman dalam momen yang nyaris ritualistik. Namun, setelah itu, setelah gema bedug terakhir berhenti di langit subuh, apa yang tersisa? Apakah kita lebih suci, lebih dekat dengan Tuhan, atau sekadar menjalani satu lagi perayaan tahunan yang meredakan kelelahan hidup sejenak?
ADVERTISEMENT
Jean Baudrillard bilang bahwa kita hidup dalam sebuah dunia yang telah kehilangan makna aslinya—sebuah simulacrum, di mana realitas tak lagi nyata, hanya bayangan dari sesuatu yang pernah ada. Masyarakat kita, mungkin tanpa sadar, telah menjadikan puasa dan lebaran sebagai bagian dari post-realitas. Kita menjalankan ibadah dengan penuh gairah, tapi dalam ruang yang mungkin tak lagi penuh keyakinan—sebuah dunia di mana spiritualitas telah berubah menjadi ritus sosial, di mana yang terpenting bukan lagi esensi, melainkan tampilan.
Di kota-kota besar, puasa adalah bulan penuh kemeriahan, bukan karena kita menahan lapar dan dahaga, tetapi karena mal-mal berlomba memberi diskon, restoran menyiapkan paket berbuka, dan orang-orang sibuk menata feed instagram dengan foto sajian Ramadhan yang menggoda, momen buka bersama tanpa disadari menjadi tren konsumerisme baru, lengkap dengan membuat konten velocity yang kekinian. Pelaksanaan i'tikaf yang sangat intim dijadikan sebuah event di tiap masjid lengkap dengan panitia dan rundown acaranya.
ADVERTISEMENT
Di pinggiran kota dan desa-desa, ibu-ibu memasak hidangan, sementara ayah-ayah mengeluhkan harga daging yang naik setiap tahun. Tapi tetap saja, mereka tertawa, entah karena bahagia atau karena sudah terbiasa.
Di balik perayaan yang meriah, ada sesuatu yang tak selesai—kehidupan yang tetap berat, sistem yang tetap memicu keriuhan bahkan kerusuhan. Demo di beberapa kota besar mencuat. Dan kesadaran bahwa setelah lebaran, kita tetap harus kembali ke pekerjaan dan rutinitas yang membosankan, utang yang menumpuk, dan janji politik yang belum pernah ditepati.
Al-Ghazali, pernah mengatakan bahwa dunia ini adalah fatamorgana, dan manusia yang mengejarnya akan selalu kehausan. Tapi sebagai masyarakat modern, atau tepatnya post-modern, kita tak hanya mengejarnya—kita membangunnya, menjadikannya pusat segalanya. Kebanyakan dari kita merayakan puasa bukan sebagai perjalanan spiritual, tapi sebagai kalender ekonomi. Kita merayakan Lebaran bukan sebagai momen penyucian diri, tapi sebagai puncak konsumsi tahunan. Kita menjadikan ritual ini sebagai sesuatu yang tampak suci, namun belum sepenuhnya terhayati.
ADVERTISEMENT
Di sudut lain, Karl Marx mengingatkan bahwa agama adalah "candu masyarakat"—bukan dalam arti bahwa agama itu sendiri buruk, tetapi dalam cara kita mengimani dan mengamalkannya. Puasa dan lebaran bisa menjadi refleksi terdalam akan makna hidup, tetapi juga bisa berubah menjadi anestesi sosial, yang membuat kita lupa bahwa kemiskinan masih mengelilingi kita, bahwa keadilan masih menjadi mitos, bahwa yang kaya semakin kaya, dan yang miskin tetap mencari cara agar bisa membeli baju baru untuk anak-anak mereka di hari raya.
Tapi inilah Indonesia—negeri yang penuh paradoks, tempat orang-orang yang tertawa di tengah derita, yang berpuasa tanpa terlalu banyak bertanya, yang berlebaran tanpa merasa perlu merayakan pencapaian spiritual yang berarti. Masyarakat yang, sebagaimana dikatakan Clifford Geertz, memiliki Islam sebagai budaya sebelum menjadi doktrin. Kita menjalani ibadah bukan semata karena keyakinan teologis, tapi karena begitulah cara hidup kita terbentuk.
ADVERTISEMENT
Maka, setelah ramadan yang akan diakhiri oleh perayaan lebaran, pertanyaan yang tersisa adalah: apakah kita telah menemukan sesuatu? Apakah puasa benar-benar menjadikan kita manusia yang lebih baik, atau sekadar memberi jeda sebelum kembali ke realitas yang sama? Apakah lebaran benar-benar hari kemenangan, atau hanya perayaan tahunan yang menutupi kenyataan bahwa kehidupan terus berulang, dengan kesulitan yang sama? dengan permasalahan yang sama? Bahkan semakin besar?
Di jalan-jalan kota, terpampang banyak spanduk, baliho dari para pejabat dan orang-orang besar itu tergantung: Mohon Maaf Lahir dan Batin. Kata-kata yang mungkin sudah kehilangan makna. Seperti halnya banyak hal lain dalam hidup kita. Tapi tetap saja, kita ucapkan, seperti doa yang mungkin akan didengar, atau setidaknya membuat kita merasa telah melakukan sesuatu.
ADVERTISEMENT
Dan di sela-sela ketidakpastian ini, kita tetap tertawa. Karena mungkin, itu satu-satunya yang bisa kita lakukan. [ ]