Pelarangan Ekspor Bijih Nikel Berpotensi Menjadi Bumerang Bagi Indonesia

Rheza Auliya Rahman
Economic Enthusiast, Mahasiswa PKN STAN
Konten dari Pengguna
25 Februari 2024 13:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rheza Auliya Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gambar Pelarangan Ekspor Bijih Nikel. Foto : Rheza Auliya Rahman
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gambar Pelarangan Ekspor Bijih Nikel. Foto : Rheza Auliya Rahman
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia telah menunjukkan langkah serius dalam mendorong langkah hilirisasi guna meningkatkan nilai ekspor terhadap PDB. Salah satunya adalah kebijakan unpopular yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2020, yaitu pelarangan ekspor bijih nikel.
Perbandingan Rasio Ekspor Terhadap PDB Indonesia dengan Beberapa Negara Maju, Diolah dari World Bank Data
Kebijakan tersebut tentu menimbulkan banyak respon negatif dari negara-negara pengimpor bijih nikel seperti halnya Uni Eropa yang merespons kebijakan pelarangan ekspor nikel dengan melakukan gugatan terhadap Indonesia melalui World Trade Organization (WTO).
ADVERTISEMENT
Namun disisi lain, pemerintah Indonesia mengklaim kebijakan ini berbuah manis setelah diberlakukan selama hampir dua tahun lamanya karena pelarangan ekspor bijih nikel mendorong keberlangsungan proyek hilirisasi nikel yang mampu menghasilkan nilai tambah berkali-kali lipat dibandingkan hanya mengekspor bijih nikel.
Rata-Rata Ekspor Produk Nikel Periode Maret-September 2022
Kinerja Ekspor Indonesia selama periode Januari–September 2022 yang secara kumulatif meningkat sebesar 405,40%. Tingginya peningkatan ekspor inilah yang menjelaskan adanya surplus neraca perdagangan Indonesia selama lebih dari 2 tahun terakhir. Kemudian, peningkatan ekspor ini juga berkontribusi membuat Negara Indonesia resilience terhadap gejolak perekonomian global selama tahun 2022 sehingga mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% atau diatas rata rata pertumbuhan Ekonomi dunia yaitu 3,4%.
Akan tetapi, dalam jangka panjang kebijakan ini justru menjadi bumerang bagi negara Indonesia, seperti
ADVERTISEMENT
1. Adanya Substitusi Komoditas Nikel
Berkurangnya supply bijih nikel di dunia membuat terjadinya kenaikkan harga pada komoditas nikel dan memiliki implikasi membengkaknya cost of production suatu negara untuk menghasilkan barang-barang yang membutuhkan nikel dalam proses produksinya. Hal ini tentu saja dapat meng insentif banyak negara untuk berlomba dalam melakukan research and development untuk mencari alternatif komoditas nikel yang mungkin saja lebih murah dibandingkan harus terus menggunakan nikel.
Tingginya harga nikel yang berakibat munculnya substitusi komoditas nikel bukanlah hal yang mustahil. Hal ini pernah terjadi di masa lalu, yaitu pada saat Arab Saudi melakukan embargo minyak kepada Amerika Serikat dengan tujuan untuk memukul mundur Amerika Serikat sebagai sekutu Israel yang membuat harga minyak mentah di dunia melambung tinggi yang mencapai 300% dari harga semula dan terjadinya krisis energi. Tingginya harga minyak ini menimbulkan momen kebangkitan kesadaran energi dan menggerakkan potensi research and development untuk mengatasi permasalahan tersebut sehingga mengembangkan arsitektur baru yang dinamakan energy conscious design salah satu produknya adalah renewable energy, yaitu solar energy, wind energy, dan nuclear energy.
ADVERTISEMENT
2.Perang Dagang
Pelarangan ekspor bijih nikel berpotensi menjadi bumerang tersendiri bagi negara Indonesia, salah satunya adalah perang dagang atau trade war. Uni Eropa bisa saja melakukan upaya perlawanan atas kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel dengan melakukan pemberlakuan tarif bea yang tinggi untuk impor biodiesel dari negara Indonesia mengingat Uni Eropa merupakan tujuan terbesar ketiga Indonesia untuk melakukan Ekspor biodiesel. Hambatan berupa tarif ini tentu saja sangat merugikan Indonesia karena akan menghilangkan potensi pasar dari suatu komoditas.
Selain hambatan tarif, Uni Eropa bisa saja melakukan hal yang serupa dalam bentuk pelarangan ekspor. Misalkan saja negara Jerman melakukan pelarangan ekspor pada produk unggulannya seperti teknologi dan Indonesia menjadi salah satu langganan pengimpor produk tersebut. Hal ini tentu sangat merugikan Indonesia karena akan menghambat proses pembangunan ekonomi untuk terus meningkatkan produktivitas negara guna mencapai Indonesia Emas di tahun 2045.
ADVERTISEMENT
3. Gejolak Perekonomian Dunia
Salah satu pihak yang dirugikan adalah Uni Eropa, adanya kebijakan ini membuat Uni Eropa melakukan gugatan kepada WTO pada 14 Januari 2021. Hal ini didasari karena adanya pelanggaran dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang dilakukan oleh negara Indonesia akibat kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel, selain itu Uni Eropa juga memiliki alasan seperti mengklaim bijih nikel merupakan 55% bahan baku bagi industri mereka. Besarnya peran nikel dalam industri mereka menjadi tantangan tersendiri bagi Uni Eropa karena dapat menimbulkan kerugian cukup besar bagi perekonomiannya.
Selanjutnya, kerugian yang dialami oleh Uni Eropa tentu dapat mengakibatkan gejolak perekonomian global. Uni eropa merupakan salah satu pemain penting dalam perekonomian global, salah satunya adalah Jerman. Jerman merupakan negara terkuat nomor empat dari sisi ekonomi dan pengaruh secara global. Pelarangan ekspor nikel yang tentu menghambat industri di Jerman membuat kemampuan negara ini dalam menghasilkan suatu barang menjadi melemah hal ini memiliki implikasi kepada perekonomian global karena Jerman merupakan salah satu negara eksportir dan importir terbesar di dunia, sehingga pelemahan kinerja perekonomian Jerman akan berimplikasi secara masif di dunia.
ADVERTISEMENT