Asteroid Mengancam Peradaban Manusia, Sejauh Mana Manusia Bisa Melawan?

Rian Ramadhan
Science communication enthusiast, sering menulis seputar Astronomi, Sains, dan Teknologi. Tulisan dapat dilihat di: idntimes.com/rian-ramadhan2 warstek.com/author/rian-rmdhan medium.com/@kucianggadang
Konten dari Pengguna
3 Desember 2021 18:43 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rian Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apakah kamu pernah membayangkan jika suatu saat asteroid seukuran Monas sedang di perjalanan menuju bumi, dan akan menghantam bumi dalam kurun waktu 1 tahun? Asteroid ini akan menghancurkan satu kota Jakarta dan sekitarnya menjadi uap.
ADVERTISEMENT
Mungkin dari kalian ada yang sudah pernah menonton 'Armageddon'. Di film ini karakter yang dimainkan oleh Bruce Willis harus menghancurkan asteroid seukuran Texas dengan mengebornya dan kemudian mengebomnya dari dalam. Walau film ini dikritik tidak akurat dari segi sains, tapi dinilai cukup untuk menggambarkan seberapa besar ancaman asteroid ini.

Tunguska: ledakan meteor terbesar di sejarah manusia modern

66 juta tahun lalu asteroid berukuran 10 kilometer menghantam benua Amerika dan memusnahkan hampir semua spesies dinosaurus yang hidup saat itu. Kejadian itu dikenal sebagai Kemusnahan Massal K-T.
Kejadian asteroid berukuran 10 kilometer ini sangat langka dan mungkin hanya terjadi sekali sepanjang sejarah bumi. Namun yang berukuran lebih kecil-misal 100 meter-lebih umum dan tetap menampakan potensi ancaman yang tidak bisa disepelekan.
ADVERTISEMENT
Salah satu peristiwa hantaman asteroid berukuran sekitar 100 meter yang tercatat adalah kejadian Tunguska. Peristiwa ini terjadi di hutan terpencil di pelosok Siberia, Rusia, pada tahun 1908.
Sebuah meteor masuk atmosfer Rusia dan meledak di ketinggian 10 - 15 kilometer diatas tanah. Cahaya yang diciptakan meteor ini sangat terang. Kemudian cahaya ini meredup dan disusul ledakan dahsyat. Energi yang dilepaskan ledakan ini kira-kira 1.000 kali lipat dari bom Hiroshima. Ledakannya sangat destruktif sehingga membuat area hutan seluas pulau Bali rata dengan tanah.
Ada beberapa saksi mata yang menyaksikan ledakan tersebut dari jarak puluhan kilometer. Saksi ini melihat ada ledakan dan kemudian api yang muncul dari arah hutan. Namun tidak ada yang tahu fenoma apa yang terjadi. Penduduk setempat tidak tahu bahwa itu meteor. Semuanya terselubung misteri, dan tabir sedikit terangkat ketika Akademi Sains Soviet melakukan ekspedisi.
ADVERTISEMENT
Ekspedisi pertama dipimpin oleh Leonid Kulik pada tahun 1927, atau hampir 2 dekade sesudah kejadian. Kulik ditemani dengan masyarakat lokal untuk menuju lokasi ledakan. Sesampainya di lokasi, Kulik menyaksikan sendiri efek destruktif ledakan 1908 masih awet sampai saat itu.
Meski 19 tahun pasca-kejadian, hutan yang roboh belum pulih sepenuhnya. Jutaan pohon rata dengan tanah, sedikit mulai diganti gereasi pohon yang baru tumbuh. Meskipun terjadi di hutan pelosok, dikabarkan ada dua korban meninggal.
Satu abad berlalu, berbagai kajian sains menyimpulkan bahwa fenomena Tunguska adalah dampak hantaman asteroid yang meledak di udara (airburst). Asteroid ini terbuat hampir 100% dari besi. Ada diskusi ilmiah bahwa asteroid ini bukan meledak di bumi, melainkan hanya numpang lewat, dan terus melanjutkan perjalanannya ke luar angkasa.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari misteri bagaimana Tunguska ini terjadi, manusia haris siap karena Tunguska kedua mungkin akan datang lagi cepat atau lambat.

Sejarah kuno pernah menyaksikan meteor menhancurkan satu kota

Sampai sekarang, ledakan meteor Tunguska masih menjadi peristiwa dampak meteor terbesar yang tercatat di sejarah manusia modern, dilihat dari kekuatan ledakan. Beruntung kejadian ini hampir tidak memakan korban jiwa karena lokasinya yang terpencil. Namun apa yang terjadi jika meteor yang sama meledak di atas kota New York?
Pada tahun 2019, ilmuwan NASA di Planetary Defense Conference mempresentasikan hasil simulasi New York yang dihantam asteroid. Di simulasi ini, ilmuwan NASA menggunakan asteroid fiktif berukuran 60 meter, dan menghantam pusat kota metropolitan tersebut. Jutaan korban jiwa tetap berjatuhan meskipun pemerintah sudah mengevakuasi 10 juta penduduk keluar dari New York.
ADVERTISEMENT
Kejadian di atas memang sekadar simulasi. Namun pada sejarahnya, pernah ada hantaman meteor yang berhasil meratakan sebuah kota kuno. Peneliti menemukan bahwa sebuah kota kuno di Yordania, bernama Tall el-Hammam, hancur lebur oleh hantaman meteor 3.600 tahun yang lalu. Tall el-Hamman berlokasi tidak jauh dari Laut Mati, dan merupakan sisa dari peradaban jaman perunggu. Ketika kejadian ini, populasinya berkisar 8,000 jiwa.
Arkeolog menemukan bahwa ada lapisan ‘kehancuran’ di mana konsentrasi shocked quartz tinggi. Shocked quartz adalah kerikil hasil dari terlempar kecepatan tinggi dan tekanan tinggi sehingga memiliki sisi kerusakan. Selain itu peneliti menemukan bahwa di lapisan 'kehancuran' tersebut terdapat banyak lelehan objek mulai dari tembikar, tanah liat, perak, sampai emas. Eksperimen mengungkapkan bahwa temperatur saat kejadian tersebut mencapai 2.000°C.
ADVERTISEMENT
Arkeolog menyimpulkan meteor yang sama atau lebih besar dari meteor Tunguska bertanggung jawab berhentinya peradaban di kota kuno ini. Ledakan udaranya menghancurkan bangunan-bangunan termasuk kuil lantai empat yang merupakan bangunan tertinggi di kota kuno tersebut. Efek jangka panjang dari dampak meteor ini adalah kontaminasi tanah di sekitar kota sehingga tidak mendukung untuk agrikultur bahkan untuk ratusan tahun.

Chelyabinsk: radar asteroid miss?

Pada tahun 2013, hantaman meteor terjadi lagi di langit Rusia, tepatnya di atas kota kecil Chelyabink. Namun meteor yang ini jauh lebih kecil dari Tunguska, dan diberi nama 'Meteor Chelyabinsk'.
Meteor ini juga meledak di udara dan melepas gelombang kejut. Energi yang dilepaskan selama ledakan ini setara dengan 400–500 kiloton TNT, atau sekitar 26–33 kali lipat energi dari bom atom Hiroshima.
ADVERTISEMENT
Meteornya meledak di ketingian 29.7 km, tapi eksplosinya terasa sampai ke tanah. Gelombang kejutnya menyebabkan kaca bangunan pecah sehingga memakan korban luka setidaknya 1,500 orang, tapi tetap tidak ada korban jiwa.
Semua bongkahan batu asteroid yang mengancam bumi, baik dari Tunguska atau Chelyabinsk berasal dari kelompok asteroid yang diberi nama NEO (Near Earth Object). NEO ini terdiri atas asteroid dan komet berperiode pendek, di mana orbitnya cukup dekat dengan bumi. Cukup dekat di sini yaitu kisaran 45 juta kilometer, jarak yang dekat jika kita membayangkan betapa luasnya tata surya ini. Nah, beberapa batuan dari NEO ini memiliki potensi kecil menabrak bumi di masa depan.
Kembali ke meteor Chelyabinsk. Di hari kejadian, astronom dengan radar asteroidnya mendeteksi bahwa akan ada asteroid akan melintas 'cukup dekat dengan bumi'. Masalahnya adalah, asteroid yang mereka katakan akan melintas dekat bumi ini, bukanlah meteor yang meledak di atas kota Chelyabinsk. Jadi, jika meteor Chelyabinsk ternyata meledak di atas New York, tidak akan ada peringatan dini dan tidak ada waktu untuk mengungsi.
ADVERTISEMENT
Meteor Chelyabinsk ini lolos karena lokasi datangnya bongkahan batu tersebut dekat dengan arah matahari. Umumnya objek-objek yang berpotensi menghantam bumi ini (NEO) sangat gelap di luar angkasa, dan peneliti hanya bisa mengobservasi berdasarkan pantulan cahaya matahari di permukaan mereka. Jadi, pada dasarnya deteksi NEO memang sulit.
Sementara untuk kasus Chelyabinsk, arah matahari adalah wilayah titik buta dari teleksop detektor NEO. Hal ini menunjukan bahwa sistem deteksi yang dimiliki bumi masih memiliki kelemahan, dan kejadian seperti Chelyabinsk mungkin terulang lagi.

Skenario jika satu asteroid sudah membidik bumi dari jauh

Survei dan observasi tidak cukup. Ilmuwan tahu itu, dan juga NASA tau itu. Bagaimana jika peneliti berhasil memprediksi dengan tepat kapan sebuah asteroid menghantam bumi, dan skenario seperti apa yang harus dipersiapkan jika waktunya cukup?
ADVERTISEMENT
Di dalam film ‘Deep Impact' yang rilis tahun 1998, pemerintah dunia punya waktu satu tahun sebelum komet berdiameter 11 kilometer menghantam bumi dan memusnahkan segala bentuk kehidupan yang ada di permukannya. Solusi yang diajukan adalah mengirim bom nuklir untuk meledakan batu raksasa tersebut langsung dari intinya. Peringatan spolier! yang terjadi malah komet tersebut terbelah menjadi dua.
NASA sudah pernah menguji coba solusi ini dalam skala kecil. Batu meteorit ditembak dengan senjata api dengan harapan akan ada dorongan dari meteorit, atau asteroid akan terdefleksi. Hasil dari eksperimen ini dipresentasikan di pertemuan rutin Meteoritical Society Oktober lalu. Kesimpulannya, jika kita mencoba menghantam asteroid dengan senjata eksplosif, bisa saja berhasil membelokkan lintasan asteroid, atau malah membelahnya menjadi batuan-batuan yang lebih kecil dan lebih sulit dikontrol.
ADVERTISEMENT

DART: uji coba kinetic impactor terhadap asteroid

Film 'Deep Impact' dan 'Armageddon' membuat kita hmmmm untuk mengebom asteroid. Bisa dibilang ide ini terlalu ekstrem. Oleh karena itu, solusi yang paling masuk yang bisa ditawarkan peneliti saat ini adalah membelokkan lintasan NEO, ketimbang menghancurkannya. Tahun ini NASA meluncurkan misi DART, yang akan menguji coba apakah 'dorongan kintetik' dapat digunakan untuk membelokan suatu asteroid, jika asteroid tersebut sedang di lintasannya menuju bumi.
DART akan menabrakan diri ke buan kecil (moonlet) yang mengorbit asteroid Didymos. Bulan kecil ini berdiameter 160 meter, dan mengorbit sebuah asteroid (objek utama dari Didiymos) berdiamer 780 meter. Didynos bukan termasuk asteroid yang menampakkan ancaman di masa depan. Jadi, misi ini murni uji coba.
Ilustrasi DART yang akan menabrak moonlet Didymos (kredit: NASA)
DART akan menabrakan dirinya dengan kecepatan 6.6 km/detik ke badan moonlet Didymos, dan akan menimbulkan sedikit perubahan kecepatan orbit moonlet sehingga periode orbitalnya akan bergeser beberapa menit. Perubahan kecil ini akan diobservasi dari bumi dan akan diukur untuk menguji efektivitas metode impaktor kinetik untuk membelokan asteroid.
ADVERTISEMENT
Jika di masa depan ada sebuah asteroid yang memiliki peluang cukup besar untuk menabrak bumi, dan peneliti serta pemerintah memiliki waktu bertahun-tahun untuk mempersiapkannya, manusia bisa membangun DART versi produk final. DART produk final ini akan dikirim ke asteroid tersebut, dan dengan dorongan roketnya menggeser lintasan asteroid sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun, sehingga tidak lagi di lintasan menuju bumi. Bumi pun bebas ancaman asteroid penghancur.

Harapan umat manusia

Hantaman asteroid berhasil menyapu hampir seluruh spesies dinosaurus 66 juta tahun lalu. Arthur C. Clark (penulis sci-fi terkenal) pernah berkata “dinosaurus punah karena mereka tidak punya program luar angkasa”.
Sekarang kita sudah berhasil mendeteksi lebih dari 90% NEO yang berdiameter lebih dari 1 km. Sekarang fokus untuk perburuan NEO berdiameter lebih kecil dari 1 km tapi lebih besar dari 140 meter. Angka 140 meter tersebut menjadi patokan NASA karena dianggap cukup menampakkan potensi fatal skala kota. Memang belum semua, tapi lebih baik daripada tidak ada.
Asteroid Bennu, salah satu NEO yang berpotensi menghantam bumi di masa depan (kredit: NASA)
Beberapa asteroid yang berhasil dideteksi tersebut ada yang menampakan potensi ancaman yang kecil. Salah satunya adalah Bennu, yang beberapa bulan lalu dibor oleh wahana OSIRIS-REx untuk diambil sampelnya. Bennu memiliki kemungkinan 157 kejadian menghantam bumi, dengan probabilitas kumulatifnya sebesar 0.057%. Kemungkinannya memang kecil, tapi mengingat diameternya yang mencapai 400 meter, dampaknya akan skala negara bahkan lebih jika sampai menyentuh bumi.
ADVERTISEMENT
Tapi coba bayangkan kejadian hantaman asteroid atau meteor ini bukan sebagai kejadian kosmik langka dan berskala kiamat. Melainkan fenomena alam destruktif layaknya gempa dan tsunami. Kejadiannya sendiri berada di luar kontrol kita, namun masih ada hal yang bisa kontrol untuk menekan korban. Membangun bangunan kokoh tahan gempa, atau mendesain sistem peringatan dini tsunami yang efektif. Begitu pula untuk tabrakan asteroid. Kita tidak bisa memilih NEO mana yang akan berakhir menjadi meteor, dan mana yang tidak. Tapi dengan teknologi deteksi yang canggih dan monitoring yang intensif, dampak yang ditimbulkan bisa ditekan seminimal mungkin. Hati-hati harus panik jangan.