Konten dari Pengguna

Kasus Pencemaran Nama Baik di Media Sosial: UU ITE Menjadi Perisai atau Senjata?

RIDHO NUR MAULANA
a child who wants to make his parents happy students of the information systems study program at UPN Veteran Yogyakarta
2 Oktober 2024 11:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari RIDHO NUR MAULANA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
media sosial. (sumber: https://pixabay.com/id/photos/media-sosial-komunikasi-jaringan-6557345/)
zoom-in-whitePerbesar
media sosial. (sumber: https://pixabay.com/id/photos/media-sosial-komunikasi-jaringan-6557345/)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Baru-baru ini, kasus pencemaran nama baik di media sosial kembali mencuat dan menjadi sorotan publik. Salah satu contohnya adalah kasus yang melibatkan seorang pengguna media sosial yang menulis kritik terhadap seorang pejabat publik. Kasus ini ditangani dengan menggunakan pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang mengatur tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui media elektronik.
ADVERTISEMENT
Dalam UU ITE, Pasal 27 ayat 3 menyatakan bahwa:
"Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Sanksi atas pelanggaran pasal ini diatur dalam Pasal 45 ayat 3, yang mengatur hukuman pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000.
Kasus ini menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa dan aktivis kebebasan berekspresi. Banyak yang mempertanyakan apakah UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat 3, terlalu mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang merasa tersinggung oleh kritik yang disampaikan di media sosial. Di sisi lain, beberapa kalangan berpendapat bahwa UU ITE memang perlu ditegakkan secara tegas untuk menjaga etika berkomunikasi di ruang digital.
ADVERTISEMENT

Opini Mahasiswa: Kebebasan Berpendapat vs. Etika di Ruang Digital

sumber: https://pixabay.com/id/vectors/argumen-keras-diskusi-konflik-6080057/
Sebagai mahasiswa yang terlibat dalam perkembangan teknologi informasi, kami menyadari betapa pentingnya kebebasan berpendapat sebagai bagian dari demokrasi. Media sosial telah menjadi platform yang memungkinkan setiap orang untuk menyuarakan pendapat mereka tanpa batasan geografis. Namun, di sisi lain, kebebasan ini harus diimbangi dengan tanggung jawab.
Penggunaan pasal-pasal dalam UU ITE, seperti pasal 27 ayat 3, sering kali dianggap sebagai "senjata" oleh sebagian orang yang merasa tersudutkan oleh kritik. Ini menciptakan kekhawatiran bahwa hukum yang seharusnya melindungi individu dari pencemaran nama baik, justru dapat mengekang kebebasan berbicara jika tidak diterapkan secara bijaksana.
Namun demikian, sebagai mahasiswa, kami juga memahami pentingnya menjaga etika dalam berkomunikasi di ruang publik. Kebebasan berekspresi tidak berarti kebebasan untuk menghina atau merendahkan orang lain. Oleh karena itu, kami mendukung penerapan UU ITE yang berkeadilan, yaitu memberikan ruang untuk kritik konstruktif, namun tetap menjaga martabat dan integritas individu.
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk memastikan UU ITE tidak menjadi alat kriminalisasi kritik, melainkan menjadi payung hukum yang adil untuk melindungi hak setiap warga negara. Ruang digital harus tetap menjadi tempat yang aman bagi kebebasan berpendapat, tanpa mengabaikan tanggung jawab moral kita sebagai pengguna teknologi.