Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Urgensi Masa Jabatan Kepala Desa dan Upaya Pelanggengan Kekuasaan
17 Februari 2023 17:57 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Ridwan Apandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa minggu yang lalu, publik disuguhkan dengan pemandangan Kepala Desa menuntut perpanjangan masa jabatannya sendiri. Hal ini memicu beragam respons baik dari kalangan masyarakat, mahasiswa, akademisi hingga Menteri yang mengurusi desa itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Masa jabatan kepala desa sendiri diatur dalam Pasal 39 (1) dan (2) Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa bahwa:
Undang-Undang tersebut juga memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi Desa dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Perluasan kewenangan tersebut justru memberikan rapor merah bagi Penyelenggaraan Pemerintah Desa terutama sejak besarnya anggaran yang dikucurkan negara bagi desa melalui Anggaran Dana Desa. Indonesia Corruption Watch mencatat pada 2021 bahwa kasus korupsi terbanyak terjadi di sector anggaran Dana Desa dan cenderung meningkat sejak 2015. Data tersebut memberikan pekerjaan rumah tersendiri bagi sistem pemerintahan desa hari ini.
ADVERTISEMENT
Usulan revisi terhadap UU. No.6 tahun 2014 tentang perpanjangan masa jabatan kepala desa justru menambah kekalutan bagi penyelenggaran pemerintahan desa.
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”. Adagium ini mungkin cukup menggambarkan bagaimana relasi kekuasaan dengan penyalahgunaan kewenangan.
Upaya Pelanggengan Kekuasaan
Dalih keberlanjutan pembangunan dan meredam polarisasi konflik pasca pilkades dengan solusi memperpanjang masa jabatan justru dapat menimbulkan masalah yang lebih krusial, yakni demokratisasi. Perpanjangan masa jabatan kepala desa justru akan mempersempit ekses masyarakat desa terhadap kekuasaan.
Kehadiran konfik pasca kontestasi politik adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari. Akan tetapi konflik dan polarisasi tidak selamanya buruk, dalam konteks politik polariasasi masyarakat berdasarkan posisi pemerintah dan oposisi adalah hal yang positif bagi demokrasi karena kehadiran check and balances. Justru dengan tidak adanya oposisi dalam politik dan penyelenggaraan pemerintahan akan menimbulkan penyelewengan kekuasaan. Berkaca dari pengalaman orde baru, upaya pemerintah dengan pendisiplinan politik, dan penutupan kran demokratisasi justru membahayakan bagi kekuasaannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalih keberlanjutan pembangunan nyatanya bukan hal yang baru. Melempar kembali ingatan pada Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) di era orde baru, bukan hanya keberlanjutan pembangunan yang menjadi prioritas, tetapi juga keberlanjutan kekuasaan.
Wacana perpanjangan masa jabatan di kalangan pejabat publik akhir-akhir ini memang santer diperbincangkan. Di tingkat nasional, seperti wacana penambahan periode presiden menjadi tiga periode. Dengan dalih sama, yakni meminimalisir ketegangan dan polarisasi masyarakat menjadi ajang terselubung pelanggengan kekuasaan bagi segelintir pihak.