Konten dari Pengguna

Pertegas Afirmasi Melalui Revisi

R Graal Taliawo
Pegiat Sosial dan Mahasiswa S3 Ilmu Politik di Universitas Indonesia
20 Juni 2021 17:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari R Graal Taliawo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pertegas Afirmasi Melalui Revisi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
PEMERINTAH Indonesia akan merevisi beberapa pasal dari UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Hal ini dilakukan karena batas waktu pemberian dana otonomi khusus (otsus) dua persen (2%) akan segera berakhir pada 2021 ini. Awalnya revisi hanya akan dilakukan pada pasal terkait alokasi anggaran (pasal 34) dan pasal terkait kewenangan pemekaran (pasal 76). Namun berdasarkan pertimbangan dari Pansus Revisi UU Otsus Papua DPR-RI, dibukalah kemungkinan untuk melakukan revisi atas pasal lainnya.
ADVERTISEMENT
Sebagian kalangan berpendapat bahwa harapan besar pada revisi UU Otsus Papua tampaknya berpotensi sia-sia. Dilansir bbc.com (1 April 2021), Markus Haluk (Direktur Eksekutif ULMWP) menyatakan bahwa dana Otsus dan pemekaran tidak pernah berdampak ke masyarakat. Sebby Sambom (Juru Bicara TPNPB-OPM) menyampaikan hal senada, “Kami tolak itu semua, pemekaran, dana, dan lainnya omong kosong semua.” Juga Cahyo Pamungkas (peneliti LIPI) menilai revisi UU Otsus mestinya tidak hanya sekadar pembagian uang.
Kritik ini datang lantaran awalnya, pemerintah hanya akan merevisi beberapa pasal. Meski sudah dua puluh tahun Otsus Papua berjalan, dan mendapat banyak kritik evaluasi, pemerintah sepertinya melihat hanya beberapa pasal yang perlu dievaluasi; seakan mengabaikan fakta-fakta “kekurangan dan kelemahan” fundamental dari UU Otsus Papua itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kekecewaan lain juga dialami oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB). Selama pembahasan revisi, lembaga perwakilan orang asli Papua (OAP) ini belum dilibatkan sama sekali. Bukan saja tak etis, tapi juga dianggap keliru, sebab secara konstitusional, kedua lembaga itu sesungguhnya memiliki peran dalam pengajuan usulan revisi UU Otsus, sesuai Pasal 77 UU Otsus Papua. Banyak aspirasi OAP yang sudah mereka terima dan karena itu pemerintah seharusnya mendengarkan suara kedua lembaga tersebut.

Sebelum Otsus 2001

Papua memiliki sejarah politik yang panjang dengan Indonesia. Status yang “terlunta-lunta”, mulai dari wilayah sengketa hingga kemudian berintegrasi dengan Indonesia. Tak mudah bagi orang Papua untuk menerima fakta berintegrasi dengan Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada 1969. Akibatnya, dibanding kata “integrasi”, istilah “aneksasi” alias pencaplokan wilayah lebih populer bagi sebagian besar orang Papua.
ADVERTISEMENT
Ini karena jauh sebelumnya, pada 1 Desember 1961 Papua telah mendeklarasikan kemerdekaannya, disertai pengibaran bendera Bintang Kejora dan menyanyikan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”. Ketika itu, Papua telah mendeklarasikan dirinya.
Status integrasi belum final dan belum sepenuhnya diterima oleh sebagian orang Papua. Integrasi melalui mekanisme PEPERA oleh banyak pihak diklaim penuh manipulasi, tidak demokratis, tidak adil, dan tidak melibatkan seluruh OAP ketika itu. PEPERA yang seharusnya dilakukan melalui pemilu (one man one vote), pada praktiknya dilaksanakan melalui perwakilan 1.025 orang dalam dewan musyawarah, yang dipilih dan diawasi oleh militer Indonesia. Pelaksanaan PEPERA dinilai menyimpang dari New York Agreement (1962), perjanjian yang menjadi rujukannya.
Setelah sekian puluh tahun berintegrasi dengan Indonesia, orang Papua merasa seperti dianaktirikan. Jaminan keamanan dan kenyamanan hidup masih menjadi persoalan serius. Kekerasan dan pelanggaran HAM kerap mereka alami dan saksikan, bahkan menjadi ingatan kolektif; pengalaman kekerasan bersama. Perilaku rasisme masih sering terjadi dan menimpa OAP, baik yang dilakukan aparat negara maupun warga negara lainnya. Selain itu, kekerasan oleh negara melalui kebijakan-kebijakan represif yang diduga melanggar HAM, seperti Operasi Tumpas (1971–1989), Mapenduma (1996), Biak Berdarah (1998), dan lainnya masih menjadi catatan kelam tanpa penyelesaian.
ADVERTISEMENT
Kesejahteraan yang diharapkan dari Indonesia pun hanya angan-angan. Marginalisasi justru semakin tampak, khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. IPM Papua konsisten berada di bawah, yakni pada tahun 1996 adalah 60,2%; 1999 adalah 58,8%, 2002 adalah 60,1% yang jauh dari rata-rata nasional (ipm.bps.go.id).
Di tengah situasi tidak puas atas integrasi dan kekecewaan terhadap pembangunan itulah, kebijakan otonomi khusus dihadirkan.

Otsus: Jalan Tengah

Mayoritas orang Papua masih menyerukan keinginan merdeka dan lepas dari Indonesia. Gerakan perlawanan masih ada, baik melalui gerakan bersenjata maupun jalur damai. Situasi sosial dan politik di Papua pun kerap bergejolak, tidak stabil.
Dua persoalan pelik cukup menjadi alasan. Pertama dan utama, terpendamnya integritas dan harga diri sebagai bangsa Papua yang sudah mendeklarasikan diri “merdeka”. Kedua, belum tercapainya “memanusiakan manusia Papua” atas kebijakan yang ada selama menjadi bagian dari Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hingga puncaknya, tim 100 yang merupakan tokoh-tokoh perwakilan orang Papua melakukan dialog dengan B.J. Habibie (Presiden Indonesia ketika itu). Tanggal 26 Februari 1999 itu tercatat sebagai dialog nasional antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua (jubi.co.id, 27 Maret 2021). Tak lain, tujuan pertemuan adalah untuk menyampaikan kehendak orang Papua merdeka, lepas dari Indonesia. Sudah tidak ada alternatif lain di luar itu, tidak ada harapan ke depan jika bergabung dengan Indonesia.
Indonesia menolak tuntutan itu. Sebagai gantinya, B.J. Habibie merespons dengan cara lain, yakni memberikan Otonomi Khusus untuk Papua. Papua diberikan kewenangan yang lebih luas untuk mengatur daerahnya sendiri dalam kerangka NKRI. Otsus menjadi win-win solution atas masyarakat Papua yang menuntut merdeka dan Indonesia yang menolak tuntutan tersebut. Kata lain, jalan tengah sebagai solusi untuk mengantisipasi dan meredam kehendak disintegrasi Papua dengan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Poin penting dari Otsus adalah mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dengan provinsi lainnya, juga meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Tak luput, memberikan kesempatan OAP untuk mendapat akses terhadap hak-hak dasar di bidang politik, sosial-budaya, dan ekonomi. Semangatnya adalah kesejahteraan dan afirmasi. Jika kesejahteraan tercapai, harapannya, keinginan untuk merdeka pun diredam—meski belum tentu hilang.
Selain itu, Otsus pun diharapkan mengakomodasi pemenuhan harga diri dan martabat OAP. Identitas “kebangsaan” diizinkan eksis dengan porsi tertentu. Sayang, revisi Otsus pada 2008 tak mengakomodasinya.

Revisi Otsus: Pertegas Afirmasi Demi Kemajuan

Revisi kali ini diharapkan bisa lebih mengakomodasi kepentingan OAP; memberdayakan kehidupan ekonomi dan afirmasi politik mereka. Banyak pasal penting dan substansial yang harus direvisi dibandingkan hanya beberapa pasal yang diinisiasi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Adanya rencana agar dalam revisi kali ini pemerintah pusat diberikan kewenangan dalam memekarkan wilayah tanpa persetujuan daerah juga perlu dipelajari kembali. Revisi pasal pemekaran wilayah tidak boleh mengamputasi kewenangan pemerintah daerah, MRP dan legislatif daerah. Jangan sampai revisi justru membuat kebijakan pemekaran bersifat top-down, menyimpang dari tujuan Otsus yang memberi kewenangan lebih pada daerah.
Otsus mestinya memberikan kekhususan kepada daerah, bukan mereduksi kewenangannya. Apalagi, suatu wilayah dimekarkan atau tidak mestinya menjadi usulan mereka yang berada di wilayah itu, yang notabenenya memahami seluk-beluk dan urgensinya.
Selanjutnya, revisi pasal mengenai kenaikan dana Otsus harus diikuti dengan revisi pasal pengelolaan dan pengawasannya. Pos-pos alokasi harus diatur dengan jelas dalam peraturan di level pemerintah pusat. Dua puluh tahun terakhir, dana Otsus Papua-Papua Barat dan dana tambahan infrastruktur mencapai Rp 138,65 triliun (cnnindonesia.com, 26 Januari 2021). Angka luar biasa itu mudah “diselewengkan” karena faktanya Otsus belum banyak membawa perubahan pada sektor-sektor penting di Papua.
ADVERTISEMENT
Tingkat partisipasi pendidikan masyarakat Papua dan Papua Barat masih kategori rendah. Data BPS tahun 2019 menunjukkan Angka Melek Huruf (AMH) masyarakat Papua 15 tahun ke atas baru mencapai 78%. Masyarakat Papua Barat yang menamatkan jenjang pendidikan SMP hanya 21,66%; yang lulus SMA hanya 29,21%; dan yang lulus kuliah hanya 11,75% (BPS, 2019).
Sektor kesehatan di Papua dan Papua Barat pun tidak kalah mengecewakan. Di Papua, hingga November 2019 sebanyak 1.050 anak menderita gizi buruk, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Selama tahun 2018, telah terjadi 195 kasus kematian bayi di Provinsi Papua Barat, naik dari tahun 2017 (Profil Kesehatan Provinsi Papua Barat Tahun 2018).
Pada sektor kesejahteraan ekonomi, masih banyak masyarakat Papua yang hidup di garis kemiskinan. Menurut BPS (2020), sebanyak 26,64% penduduk Papua hidup di bawah garis kemiskinan (4,47% kemiskinan di perkotaan dan 35,5% kemiskinan di perdesaan). Sedangkan, penduduk miskin di Papua Barat pada 2019 mencapai 22,17% (5,63% kemiskinan di daerah kota dan 34,19% kemiskinan di desa).
ADVERTISEMENT
Inilah fakta miris di tengah dana Otsus yang fantastis. Wajar jika selama ini, Otsus dianggap tak lebih dari simbolis semata. Situasinya seakan tidak ada beda antara sebelum dan setelah Otsus diberlakukan. Orang Papua tidak merasakan perubahan kesejahteraan sosial dan ekonomi yang berarti. Padahal, keberhasilan capaian kesejahteraan ini pun belum tentu menjamin akan meredam keinginan orang asli Papua untuk merdeka, apalagi jika dianggap gagal—belajar dari kasus Skotlandia, di tengah kesejahteraan yang melimpah, pada 2014 mereka tetap menuntut referendum dari Inggris.
Situasi ini seharusnya membuat BAB X dalam UU Otsus tentang perekonomian perlu dikaji ulang; penting direvisi. Prioritas pembangunan ekonomi harus mengarah pada pemberdayaan ekonomi OAP, yang berlandaskan pada kebudayaan dan kearifan lokal orang Papua yang kolektif (kekeluargaan). Karena itu, perlu dicari format dan tata kelola ekonomi baru di Papua yang lebih kontekstual dan mengakomodasi situasi mereka. Apakah berbentuk koperasi atau sejenisnya, yang mendukung kemandirian mereka secara individual tanpa mengabaikan kebersamaan serta menjamin keberlanjutan perekonomiannya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pasal-pasal dalam UU Otsus masih banyak yang mandek, dan belum terealisasi dalam aturan pelaksana lainnya, perlu segera diubah dan cari bentuk barunya.
Sebut saja pasal 45 dan 46 tentang HAM. Hingga sekarang ini belum ada kejelasan bagaimana mekanisme dan bentuk penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat di Papua. Ada sederet pelanggaran HAM berat di Papua yang harus segera diselesaikan. Komnas HAM pun hanya ada di Provinsi Papua, belum ada di Papua Barat. Padahal, kasus kekerasan dan pelanggaran HAM tak pernah absen dari seluruh wilayah Papua. Melalui revisi kali ini, jaminan penyelesaian pelanggaran HAM berat harus segera direalisasikan.
Pada aspek afirmasi politik, pasal 28 UU Otsus tentang partai politik pun tidak jelas, sehingga perlu dilakukan revisi agar lebih lengkap dan komprehensif mengatur keberadaan parpol di Papua. Revisi perlu dikonkretkan supaya melegitimasi dibentuknya partai politik lokal/daerah di wilayah Papua. Sebagaimana keberadaan parpol lokal di Aceh, parpol daerah juga merupakan salah satu aspirasi politik orang asli Papua yang telah lama mengemuka tetapi belum mendapat tempat.
ADVERTISEMENT
Parpol daerah diharapkan bisa menjadi wadah resmi-terlembaga, yang dapat dipakai khusus oleh orang asli Papua untuk menyalurkan aspirasi politiknya tanpa harus takut dikooptasi serta didominasi oleh kepentingan elite politik parpol nasional.
Ini hanya beberapa poin kecil dari UU Otsus Papua yang perlu dipertegas melalui revisi kali ini. Penegasan itu diperlukan untuk menunjukkan keseriusan negara dalam menyelesaikan masalah Papua, sekaligus memperjelas kebijakan afirmasi terhadap Papua.
Di luar itu, sesungguhnya masih ada beberapa hal penting mendasar lain yang wajib mendapat perhatian negara untuk diatur kemudian sebagai solusi permanen bagi Papua, seperti perlunya penciptaan sistem politik, hukum dan tata pemerintahan yang khusus dengan prinsip dua sistem satu negara, adanya pengaturan mengenai hak kepemilikan dan pengelolaan atas tanah oleh OAP, serta perlunya perlindungan kebudayaan orang asli Papua sebagai identitas, agar tidak punah dan tidak berujung menjadi cerita.
ADVERTISEMENT
Tuntutan merdeka bukan main-main, maka solusinya pun jangan asal-asalan. Revisi UU Otsus harus bisa dijadikan momentum. Pemerintah tidak boleh terkesan terus memutar-mutar solusi, yang padahal sudah ada di depan mata. Dibutuhkan keinginan politik baik untuk memutus mata rantai konflik di Papua melalui agenda revisi ini.
Revisi UU Otsus Papua harus dilakukan secara transparan, komprehensif dan mengacu pada semangat Otsus. Pasal-pasal yang belum efektif perlu dikaji dan diperbaiki. Banyak kajian akademis dan analisis mengenai evaluasi Otsus yang bisa dijadikan pertimbangan. Namun, yang utama, libatkan seluas-luasnya orang asli Papua sebagai subjek dari revisi, dengar dan akomodasi aspirasi mereka. Beri kewenangan yang substansial dan strategis pada daerah, serta buka ruang partisipasi politik, pemberdayaan ekonomi serta afirmasi yang seluas-luasnya bagi orang asli Papua melalui revisi kali ini.
ADVERTISEMENT
Diharapkan melalui upaya itu, tujuan mencapai kesejahteraan bagi orang asli Papua bisa mewujud serta suara-suara ingin merdeka pun suatu saat bisa ikut diredam.