Konten dari Pengguna

Doom Spending dan Budaya Paylater: Gaya Hidup Zillenials Goyahkan Ekonomi Negara

Corie Arimani
Mahasiswi Magister Akuntansi - Universitas Pamulang Reading, travelling, and cooking is my hobies. Life is like about accounting, everything must be balance. Give thanks to Allah.. Alhamdulillah.
20 Mei 2025 12:44 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Doom Spending dan Budaya Paylater: Gaya Hidup Zillenials Goyahkan Ekonomi Negara
Doom spending, paylater, dan konsumsi sosial media bukan hanya urusan personal dan bukan lagi fenomena pinggiran. Ini adalah gaya hidup baru yang sedang jadi isu struktural. Generasi Z dan milenial ad
Corie Arimani
Tulisan dari Corie Arimani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.pexels.com/search/free/
zoom-in-whitePerbesar
https://www.pexels.com/search/free/
ADVERTISEMENT
“Beli dahulu, mikir nanti” — slogan tidak resmi generasi muda saat ini.
ADVERTISEMENT
Saat pandemi covid’19, negara Indonesia dihadapkan dengan krisis ekonomi yang memicu semua transaksi dilakukan dengan digitalisasi, (Winpay) mencatat nilai ekonomi digital Indonesia tumbuh dari US$41 miliar pada 2019 menjadi US$77 miliar pada 2022, dan diperkirakan mencapai US$130 miliar pada 2025 hal ini memicu pesatnya perkembangan transaksi digital dan menimbulkan beragam trend, salah satunya fenomena baru bernama doom spending kini sedang menjadi sorotan. Di era media sosial dan digitalisasi, belanja bukan lagi soal kebutuhan, tetapi soal eksistensi. Gen Z dan Milenial makin sering belanja bukan karena butuh, tetapi karena... takut ketinggalan trend. Gampangnya, ini adalah kebiasaan belanja impulsif untuk melawan stres atau sekadar "menghibur diri". Ditambah dengan layanan paylater yang menjamur, kebiasaan ini makin mudah dilakukan tanpa pikir panjang. OJK mencatat total utang masyarakat Indonesia melalui layanan paylater mencapai Rp30,36 triliun per November 2024 dengan pertumbuhan kredit paylater di sektor perbankan mencapai Rp21,77 triliun, meningkat 42,68% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, kredit paylater dari perusahaan pembiayaan atau multifinance tercatat sebesar Rp8,59 triliun, tumbuh 61,90% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sekitar 70% pengguna paylater berusia di bawah 35 tahun, dengan kebutuhan konsumtif fesyen (66,4%), elektronik (41%), dan perawatan diri (32,9%). tetapi, apakah kita sadar bahwa gaya hidup ini bisa jadi bom waktu bagi perekonomian negara??
https://www.pexels.com/search/free/
Digitalisasi dan Media Sosial: Mesin Pendorong Konsumsi Instan
ADVERTISEMENT
Di era serba digital, semua bisa dilakukan hanya lewat satu klik. Belanja? Klik. Bayar? Nanti saja, ada paylater. Generasi Z dan Milenial hidup dalam ekosistem digital yang begitu cepat dan instan. Menurut data dari We Are sosial 2024, orang Indonesia menghabiskan rata-rata 3 jam per hari di media sosial. Di sana, mereka tidak hanya mencari hiburan, tetapi juga "tersugesti".
Kita hidup pada masa yang serba cepat dan penuh tekanan. Banyak anak muda merasa stres dengan tuntutan kerja, tidak yakin soal masa depan, dan lelah menghadapi realitas. Nah, belanja jadi salah satu pelarian yang memberi rasa “senang sesaat”. Istilah retail therapy atau doom spending menggambarkan kondisi ini.
Survei Deloitte Global Gen Z & Milennial survei (2023) menunjukkan bahwa 46% Gen Z mengalami stres harian, dan 39% di antaranya mengaku menggunakan belanja sebagai cara untuk mengatasinya. Di Indonesia, fenomena ini makin terlihat dengan maraknya “checkout spontan” di e-commerce hanya karena lihat review viral di TikTok.
ADVERTISEMENT
Media sosial punya peran besar dalam pola konsumsi ini. Setiap hari kita disuguhi konten haul, unboxing, atau flexing barang mewah yang membuat orang merasa harus ikut-ikut. Akibatnya? Banyak yang merasa perlu membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan—demi terlihat “oke” secara sosial.
https://www.pexels.com/search/free/
Kita disuguhi gaya hidup ideal: baju branded, nongkrong di kafe estetik, gadget terbaru, dan traveling ke tempat hits. Mau tak mau, muncul keinginan untuk ikut-ikut, biar gak ketinggalan. FOMO (Fear of Missing Out) ini memicu konsumsi yang bukan karena butuh, tetapi karena ingin terlihat “layak sosial media”.
https://www.pexels.com/search/free/
Paylater: Kemudahan atau Jalan Sunyi Menuju Utang?
Layanan paylater dari Shopee, Gojek, Traveloka, Kredivo, hingga Akulaku menjadi teman setia fenomena doom spending. Cukup verifikasi KTP, lalu boom! Kamu bisa belanja tanpa harus punya uang di rekening. Masalahnya, banyak yang tidak membaca syarat dan ketentuan.
ADVERTISEMENT
Data dari Bank Indonesia (2024) menunjukkan nilai transaksi paylater sudah tembus Rp35,9 triliun, naik 50% dari tahun sebelumnya. Mirisnya, survei Katadata (2023) mencatat 71% pengguna tidak memahami bunga dan denda keterlambatan. Ini bahaya laten.
Artinya, banyak yang “belanja dahulu, mikir belakangan”. Padahal, bunga paylater bisa mencapai 2,95% per bulan. Kalau menumpuk, ini bisa berubah jadi utang macet yang sulit diselesaikan.
Hingga 16 Desember 2023, tercatat 25 orang di Indonesia melakukan bunuh diri akibat terjerat paylater atau pinjaman daring ilegal dan bank keliling. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir (liputan6.com). Dan yang paling menyayat hati desember 2024, satu keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak 3 tahun ditemukan meninggal dunia di Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan. Diduga karena pinjaman daring (kompas.id).
ADVERTISEMENT
Banyak anak muda yang terjebak utang tanpa sadar. Mulanya dari beli kopi Rp40 ribu, lalu baju diskon, lalu gadget, lalu menunggak. Akhirnya, utang numpuk, bunga jalan terus, dan mental makin drop. Siklus ini terus berulang.
Dampaknya Bukan Cuma ke Dompet, tetapi ke Negara
Kalau kita pikir ini cuma urusan pribadi, kita keliru. Gaya hidup konsumtif berdampak pada ekonomi negara, lho.
1. Tabungan Makin Tipis
Menurut OJK, hanya 27% anak muda yang punya dana darurat. Artinya, mayoritas generasi produktif tidak siap menghadapi krisis pribadi, apalagi krisis nasional.
2. Utang Rumah Tangga Naik
BI mencatat rasio utang rumah tangga terhadap PDB mencapai 17% di 2023, dengan porsi tertinggi dari usia 21–35 tahun. Kalau makin banyak yang gagal bayar, sektor keuangan juga bisa terganggu.
ADVERTISEMENT
3. Investasi Rendah, Pertumbuhan Lambat
Uang habis buat konsumsi instan, bukan untuk investasi atau skill upgrade. Akibatnya, potensi produktif generasi muda tidak dimaksimalkan. Dalam jangka panjang, ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi.
4. Beban Negara Bertambah pada masa Depan
Generasi muda yang tidak siap secara finansial akan menambah beban negara lewat bantuan sosial, subsidi kesehatan, dan pensiun pada masa depan. Kalau generasi produktif hari ini tidak sehat secara keuangan, sulit berharap mereka bisa menopang ekonomi pada masa tua.
Solusi? Harus bersama-bersama, Gak Cukup Ngomel di Twitter
1. Edukasi Keuangan Harus Masuk ke Gaya Hidup Digital
Literasi finansial gak bisa lagi disampaikan lewat seminar yang membosankan. Perlu kolaborasi dengan influencer, TikTok edukatif, atau konten kreatif yang relatable. Bayangin kalau flexing diganti dengan #FlexingInvestasi.
ADVERTISEMENT
2. Regulasi Paylater Lebih Ketat dan Jelas
OJK dan BI bisa bikin aturan yang membatasi penggunaan paylater untuk kebutuhan non-esensial, serta mewajibkan edukasi pengguna sebelum aktivasi.
3. Dorong Investasi Mikro dan Simpanan Produktif
Pemerintah bisa kasih insentif, misalnya bebas pajak untuk anak muda yang rutin nabung atau investasi. Biar gak cuma yang belanja yang dapat reward.
4. Ubah Narasi Sukses di Media Sosial
Sukses gak harus selalu soal barang mahal. Narasi seperti #HidupMinimalis, #CuanPintar, atau #DompetSehat bisa jadi budaya baru yang lebih positif.
Jadi.. keputusan kita hari ini, menentukan masa depan.
Doom spending, paylater, dan konsumsi sosial media bukan hanya urusan personal dan bukan lagi fenomena pinggiran. Ini adalah gaya hidup baru yang sedang jadi isu struktural. Generasi Z dan Milenial adalah tulang punggung ekonomi masa depan. Kalau saat ini mereka tenggelam dalam gaya hidup konsumtif tanpa arah, negara juga yang akan kewalahan nanti. Kalau tidak dikelola dengan baik, kebiasaan konsumtif ini bisa jadi bom waktu ekonomi—baik bagi individu maupun negara.
Saatnya kita sadar: konsumsi boleh, tetapi jangan sampai mengorbankan masa depan. Karena jika generasi digital terus hidup dalam utang dan ilusi sosial media, mimpi Indonesia Emas 2045 bisa jadi cuma slogan di poster.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya kita ganti prinsip dari “beli dahulu, mikir nanti” jadi “mikir dahulu, baru beli”.
#genz #milenial #doomspending #indonesia #ekonomi #2025 #paylater #digitalisasitransaksi #akuntansi #keuangan #gayahidup #konsumsi #sosialmedia #onlineshope