Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Perubahan Makna pada Istilah ‘Indigo’ dalam Kajian Semantik
16 Desember 2020 13:11 WIB
Tulisan dari RIFA IMTINAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bahasa adalah alat yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari. Bahasa yang digunakan oleh beragam penutur baik wilayah, tingkat sosial, dan lainnya dapat menyebabkan terjadinya perbedaan bahasa dari suatu wilayah sehingga pemaknaannya turut berubah. Perubahan makna dilihat dari evaluasi denotatif yang menyebabkan sebuah ungkapan mengalami generalisasi atau perluasan, dan spesifikasi atau penyempitan. Chaer dalam Rio Sempana dkk (2017: 3) menjelaskan bahwa perubahan makna meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki satu makna, tetapi kemudian karena berbagai faktor menjadi memiliki makna lain. Persoalan perluasan makna ini dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat tetapi dapat juga dalam kurun waktu yang cukup lama. Makna lain yang terjadi sebagai hasil perluasan itu masih berada dalam lingkup poliseminya. Oleh karena itu, makna-makna baru tersebut masih memiliki hubungan dengan makna asalnya.
ADVERTISEMENT
Seperti pada fenomena kata ‘indigo’ yang sedang banyak digunakan belakangan ini. Penggunaan istilah indigo sering dikaitkan dengan hal-hal yang berbau mistis. Bagi para pecinta hal-hal mistis atau penikmat konten-konten horor, pasti sudah tidak asing dengan Risa Saraswati, Sara Wijayanto, Filo Sebastian, dan Om hao (Kisah Tanah Jawa). Mereka adalah pembuat-konten yang berbau mistis yang karyanya banyak digemari berbagai kalangan, tak terbatas jenjang usia. Orang-orang dengan kemampuan melihat hal-hal yang tak kasat mata disebut dengan istilah 'anak indigo'. Apakah hal itu benar? Tentu saya tidak tahu, karena saya bukan anak indigo. Istilah 'indigo' tersebut mulai berkembang dan seiring dengan berjalannya waktu, mulai bermunculan makna baru yang disematkan pada kata indigo: 'orang pintar' atau 'orang yang memiliki indra keenam' (sixth sense).
ADVERTISEMENT
Kebanyakan orang menyamakan istilah 'indigo' dengan 'orang pintar' atau 'orang yang memiliki indra keenam'. Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘orang pintar’ bermakna dukun; paranormal, ‘indra keenam’ bermakna alat untuk merasakan sesuatu secara naluriah, dan ‘indigo’ bermakna tumbuhan tropis, termasuk marga indigofera, menghasilkan zat celup biru; warna ungu lembayung; zat celup warna biru tua yang diperoleh dari indigo; karakter manusia yang dicirikan dengan kecerdasan dan kemampuan spiritual yang tinggi, seperti dapat melihat masa depan, melakukan telepati, berkomunikasi dengan alam gaib, dan membaca pikiran.
Awalnya, Indigo pertama kali diperkenalkan oleh Nancy Ann Tappe dalam bukunya yang berjudul Understanding Your Life Through Color yang berkaitan dengan aura atau warna seseorang, dan warna yang tampak pada anak indigo adalah warna biru tua. Dr. H. Tubagus Erwin Kusuma, SpKj dalam Michele Subari (2014) mengungkapkan bahwa anak indigo pada umumnya memiliki ciri khusus, seperti kecerdasan superior dengan IQ di atas 130. Dianugerahi tingkat kecerdasan seperti ini, anak indigo mampu melakukan sesuatu tanpa mempelajarinya terlebih dahulu, sedangkan anak cerdas pada umumnya akan mampu melakukan sesuatu setelah diajarkan terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Proses perubahan makna kata indigo yang semakin meluas diawali dari adanya keserupaan antararti, yang terdiri atas tiga (3) macam metafora, yaitu metafora antropomorfik (anthropormic metaphor), metafora binatang (animal metaphor), dan metafora sinestesis (synaesthetic metaphor). ‘Indigo’ merupakan bentuk keserupaan antararti; metafora sinestesis (synaesthetic metaphor) yang mana indigo merupakan orang yang lebih peka terhadap rasa yang tidak dimiliki kebanyakan orang atau menjadi sebuah keahlian khusus seseorang yang kemudian menjadi sebuah profesi. Metafora sinestesis mengacu kepada pertukaran pemakaian aktivitas atau sifat antar-indera, misalnya dari penglihatan ke sentuhan, dari sentuhan ke penglihatan, dan dari pendengaran ke sentuhan.
Pada pertukaran penglihatan ke sentuhan atau sentuhan ke penglihatan, misalnya, indigo menjadi sebuah profesi orang yang bisa mengobati dengan sentuhan. Kegiatan ini merupakan sebuah aktivitas. Seseorang yang bisa mengobati biasanya melakukan proses pengobatan tersebut dengan cara menganalisis terlebih dahulu kemudian memberikan pengobatan. Karenanya, profesi ini kita kenal dengan orang pintar atau dukun. Sementara pada pertukaran dari pendengaran ke sentuhan, misalnya, dengan menggunakan alat, seseorang dapat melihat sesuatu seperti aura, penampakan, pendeteksian suatu hal, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Keserupaan antar arti ini menyebabkan terjadinya perluasan makna, yang menyebabkan bahasa tersebut mengalami generalisasi, seperti halnya pemaknaan kata indigo yang semakin meluas. Dalam hal ini, ‘orang pintar’, ‘indra keenam’, atau ‘sixth sense’ dimaknai sama dengan ‘indigo’; menjadi sesuatu yang juga mewakili kemampuan seseorang yang berbeda dari kebanyakan orang lainnya. Hal ini menyebabkan kata ‘indigo’ menjadi lebih general lagi dengan munculnya berbagai istilah dengan makna yang serupa namun kata yang berbeda. Jika kita lihat makna ‘indigo’ kembali pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, terdapat keserupaan arti pada ketiga istilah tersebut, namun telah memiliki kata yang berdiri sendiri.
Berikut adalah beberapa contoh kata yang diakibatkan oleh perluasan makna kata indigo.
ADVERTISEMENT
“Tak Cuma Anak indigo, orang biasa pun bisa merasaan indra keenam” (Sumber: detik.com)
“Bahkan orang-orang yang memiliki sixth sense disebut dengan indra istilah “orang pintar” (sumber jurnal: Haris Herdiansyah, Sixth Sense dan Kearifan lokal)
“Ketika ditanya tentang apa arti indigo, maka kebanyakan akan menjawab bahwa indigo adalah anak yang terlahir dengan indra ke-6” (Sumber: Honestdocs)
Makyun Subuki (2011: 120-121) dalam studi semantik leksikal menyebutkan perubahan arti dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor kebahasaan dan non-kebahasaan. Sebab kebahasaan adalah salah satu perubahan arti yang berasal dari bahasa itu sendiri. Sedangkan sebab non-kebahasaan disebabkan oleh setidaknya enam (6) sebab, yaitu:
(1) perkembangan ilmu dan teknologi, yang menyebabkan terjadinya pergeseran, perubahan, dan atau perkembangan referen yang dimaksud oleh makna awalnya,
ADVERTISEMENT
(2) perubahan sosial, yang biasanya merupakan akibat perkembangan struktur fisik dan mental masyarakat-menyebabkan arti sebuah kata diperbarui sedemikian rupa demi kepentingan tersebut,
(3) perluasan bidang pemakaian yang akibat ada kemiripan sifat dari bidang-bidang yang dihubungkan- menjadi arti sebuah kata untuk dibagi bersama oleh bidang yang berbeda,
(4) pengaruh asing, yang merupakan penyerapan konsep dalam bentuk asing yang dapat dianalogikan dengan bentuk yang sepadan dengan bahasa Indonesia,
(5) kebutuhan istilah baru, yang–biasanya merupakan konsekuensi dari persentuhan budaya asing dan perkembangan kehidupan yang semakin kompleks–pada tertentu dapat dipahami kebalikan dari perluasan bidang pemakaian, dan
(6) tabu, yang dilandasi oleh persoalan kenyamanan, kesopanan, dan ketakutan- biasanya mengakibatkan ungkapan eufimistik yang menggantikan ungkapan tabu menjadi berubah arti.
ADVERTISEMENT
Faktor-faktor tersebut tidak dapat dipungkiri menjadi faktor penyebab bagaimana sebuah bahasa mengalami perubahan arti bahkan pergeseran makna.
Referensi
Makyun Subuki. 2011. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Transpustaka.
KBBI daring diakses 15 Desember 2020 pukul 20.39 WIB.
Michele Subari. 2014. Proses Keterbukaan Diri Anak Indigo Dalam Pertemanan Dengan Sesama Anak Indigo Dan Bukan Indigo. Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Public Relations Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang.
Rio Sempana, dkk. Analisis Perubahan Makna Pada Bahasa Yang Digunakan Oleh Komentator Sepak Bola Piala Presiden 2017 Kajian Semantik. Widyabastra, Vol. 5, No 2, 2017.