Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Marriage Is Scary: Mengapa Banyak Perempuan Semakin Takut Menikah?
14 Agustus 2024 12:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rifaa Khairunnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernikahan, sebuah ikatan sakral yang dahulunya dianggap sebagai puncak dari perjalanan hidup seseorang, kini sering kali dipandang dengan penuh kecemasan, terutama oleh banyak perempuan. Tidak sedikit perempuan merasa ragu untuk mengikat janji suci ini, meskipun mungkin di dalam hati terdapat impian akan kehidupan pernikahan yang bahagia.
ADVERTISEMENT
Tren “Marriage is Scary”
Dalam beberapa minggu terakhir, tren "Marriage Is Scary" telah menjadi topik hangat di kalangan perempuan maupun laki-laki. Fenomena ini menunjukkan pergeseran besar perempuan terhadap persepsi mengenai pernikahan. Banyak perempuan kini menilai bahwa pernikahan dapat membawa lebih banyak tantangan dan risiko daripada manfaat, mencerminkan perubahan dalam harapan dan prioritas mereka dalam kehidupan.
Tren "Marriage Is Scary" muncul seiring dengan perubahan sosial dan budaya yang cepat, yang memperlihatkan bagaimana perlakuan laki-laki dalam pernikahan berkontribusi pada kecemasan perempuan. Banyak perempuan yang dulunya melihat pernikahan sebagai langkah alami dalam hidup kini mulai meragukannya karena pengalaman buruk dan ketidakadilan yang sering mereka saksikan atau alami, termasuk kemungkinan perlakuan yang tidak adil atau merugikan dari pasangan laki-laki.
ADVERTISEMENT
Kesadaran akan ketidaksetaraan gender dan perlakuan buruk dalam pernikahan, seperti kekerasan dalam rumah tangga atau ekspektasi yang tidak adil terhadap peran mereka menjadi faktor penting dalam perubahan pandangan ini. Perempuan yang semakin mandiri dan teredukasi merasa bahwa pernikahan tidak lagi sejalan dengan harapan dan aspirasi mereka, terutama jika mereka melihat bahwa pernikahan sering kali menyisakan perempuan dalam posisi yang lebih lemah atau kurang dihargai.
Dengan demikian, "Marriage Is Scary" bukan hanya sebuah tren sesaat, tetapi merupakan refleksi dari pengalaman nyata perempuan mengenai bagaimana mereka melihat perempuan diperlakukan dalam pernikahan. Fenomena ini menunjukkan perubahan mendalam dalam cara pandang perempuan terhadap hubungan dan kehidupan pribadi mereka, berakar pada perlakuan dan harapan yang sering kali tidak seimbang dalam pernikahan.
Mengapa Ketakutan Perempuan terhadap Pernikahan itu Nyata dan Beralasan
ADVERTISEMENT
Ketakutan terhadap pernikahan di kalangan perempuan bukanlah fenomena yang muncul tanpa dasar. Berbagai data dan pengalaman nyata menunjukkan bahwa ketakutan ini berakar pada realitas sosial yang sering kali merugikan perempuan. Beberapa faktor utama yang menyumbang pada ketakutan ini termasuk tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tingkat perselingkuhan yang tinggi, dan budaya patriarki yang masih mengakar dalam masyarakat.
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Statistik menunjukkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu kekhawatiran utama perempuan ketika memikirkan pernikahan. Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sekitar 1 dari 3 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Angka ini menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. KDRT sering kali melibatkan kekerasan fisik, psikologis, dan emosional, yang membuat perempuan merasa terjebak dalam hubungan yang penuh penderitaan. Ketidakpastian tentang perlindungan hukum dan dukungan sosial membuat perempuan semakin cemas terhadap kemungkinan mengalami kekerasan dalam pernikahan mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
2. Tingkat Perselingkuhan yang Tinggi
Perselingkuhan juga menjadi salah satu faktor signifikan yang mempengaruhi ketakutan perempuan terhadap pernikahan. Penelitian menunjukkan bahwa perselingkuhan bukanlah kasus yang jarang terjadi dalam pernikahan. Data menunjukkan bahwa sekitar 20-25% pernikahan di negara maju mengalami masalah perselingkuhan dan angka ini bisa lebih tinggi di negara dengan budaya patriarki yang kuat.
Perselingkuhan sering kali meninggalkan dampak emosional yang mendalam, termasuk ketidakpercayaan dan trauma yang membuat perempuan merasa ragu untuk memasuki institusi pernikahan.
3. Budaya Tradisional yang Masih Kental
Budaya patriarki yang masih mendominasi banyak aspek kehidupan masyarakat juga berkontribusi pada ketakutan perempuan terhadap pernikahan. Dalam sistem patriarki, perempuan sering kali diposisikan sebagai pihak yang lebih lemah dan kurang memiliki hak dalam pengambilan keputusan rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Mereka sering kali diharapkan untuk mengorbankan ambisi pribadi demi memenuhi peran tradisional sebagai istri dan ibu. Hal ini menciptakan ketidaksetaraan dalam hubungan pernikahan, di mana perempuan mungkin merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi yang tidak adil.
4. Pengalaman Pribadi dan Trauma
Selain faktor-faktor sistemik, banyak perempuan juga mengembangkan ketakutan terhadap pernikahan berdasarkan pengalaman pribadi. Misalnya, perempuan yang menyaksikan atau mengalami kekerasan dalam keluarga mereka, baik dari pasangan orang tua atau kerabat dekat, sering kali membawa trauma ini ke dalam pandangan mereka tentang pernikahan.
Ketidaksetujuan Laki-Laki dan Normatifitas Gender
Setelah perempuan mulai mengungkapkan ketakutan mereka terhadap pernikahan, banyak laki-laki yang tidak hanya merasa terkejut, tetapi juga sering kali merespons dengan ketidaksetujuan atau penolakan.
ADVERTISEMENT
Alih-alih memahami kekhawatiran perempuan dan berusaha untuk memperbaiki aspek-aspek yang menyebabkan ketidaknyamanan tersebut, beberapa laki-laki justru membalikkan argumen dengan menyatakan bahwa perempuan seharusnya lebih takut terhadap tanggung jawab domestik dan peran tradisional yang diharapkan dari mereka.
Dalam banyak kasus, laki-laki yang merasa terancam oleh kritik terhadap pernikahan atau norma gender sering kali menganggap bahwa ketakutan perempuan adalah tanda kelemahan atau ketidakmampuan mereka untuk menjalani peran yang diharapkan dalam rumah tangga. Mereka mungkin menuduh perempuan terlalu fokus pada ketidakadilan tanpa mempertimbangkan kewajiban domestik yang mereka anggap sebagai bagian tak terpisahkan dari pernikahan.
Sikap ini sering kali mencerminkan ketidakmampuan untuk memahami atau mengakui ketidaksetaraan yang ada dan malah memperburuk ketidakadilan dengan mempertanyakan mengapa perempuan tidak lebih menerima peran tradisional yang sering kali tidak adil.
ADVERTISEMENT
Penolakan semacam ini memperlihatkan bagaimana beberapa laki-laki mungkin gagal untuk melihat ketidaksetaraan yang dihadapi perempuan sebagai masalah sistemik yang perlu diperbaiki. Sebaliknya, mereka justru memperdebatkan peran tradisional sebagai cara untuk mengalihkan perhatian dari masalah nyata yang dihadapi perempuan.
Dengan demikian, tanggapan laki-laki terhadap ketakutan perempuan menunjukkan betapa mendalamnya masalah ketidakadilan gender dan perlunya pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana pernikahan dapat memengaruhi perempuan. Mengakui dan menangani masalah ini secara serius adalah langkah penting untuk menciptakan perubahan positif dalam pandangan perempuan terhadap pernikahan dan hubungan secara umum.