Perempuan dalam Kacamata Media

Rifaa Khairunnisa
Mahasiswi Jurusan Sistem Informasi, Universitas Pembangunan Jaya.
Konten dari Pengguna
13 Desember 2022 12:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rifaa Khairunnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Nicholas Johnson)
Sumber : pixabay
Tidak dapat dimungkiri bahwa sedari dulu media memang mempunyai andil yang cukup besar dalam memproduksi sejumlah tayangan program dengan perannya sebagai wadah untuk menghadirkan makna yang ditujukan kepada khalayak. Namun, pernahkah terlintas dalam benak anda mengenai makna dari setiap tayangan yang disajikan oleh media massa? Sudahkah media massa secara tepat dalam mengklasifikasikan perempuan sebagai makhluk dengan kesetaraan hak yang sama dan memberikan gerakan untuk mengubah pola pikir masyarakat lewat tayangannya? Baik dalam aspek penggambaran citra perempuan yang disajikan pada sinetron, film, berita, maupun iklan.
ADVERTISEMENT
Kehadiran media massa di tengah kehidupan manusia menjadi sebuah alat kontrol sosial bagi masyarakat yang menikmati. Selama ini, tentunya kita pernah menjadi salah satu penikmat dari setiap tayangan program yang disuguhi pada industri media, termasuk dalam dunia pertelevisian dan perfilman. Namun, tayangan dalam beberapa film dan sinetron yang dihadirkan selalu saja menampilkan peran perempuan dengan representasi yang merugikan.
Baik disadari atau tidak oleh publik, tak menutup mata bahwa selama ini tayangan yang dihadirkan oleh media kerap membentuk representasi tersendiri terhadap perempuan dengan stereotype-nya yang tak pernah berakhir. Seperti apa? Perempuan sering kali digambarkan sebagai manusia kelas dua, yaitu makhluk lemah dan tidak berdaya.
Muhammad Heychel, selaku pengamat dan pengajar kajian media, mengatakan bahwa sejak adanya proses produksi sinetron secara stripping pada 2005, dari situlah terdapat beberapa keterbatasan dalam memproduksi tayangan secara kreatif dan adanya masalah dalam membangun representasi perempuan. Ia mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada sinetron yang benar-benar menggambarkan peran perempuan lebih berbeda dari sebelumnya, bahkan media masih sering kali menggambarkan stereotype gender tradisional terhadap perempuan. Pernyataan tersebut sama sekali tidak mengherankan, karena penggambaran perempuan yang dihadirkan memang seperti itu adanya. Hal tersebut membuktikan bahwa media Indonesia memiliki keterbatasan dalam membangun representasi pembentukan citra perempuan. Jarang sekali kita melihat peran perempuan dengan karakter mandiri, berdaya, dan berkompeten karena tayangannya masih berlandaskan prinsip patriarki yang tidak pernah ada habisnya.
ADVERTISEMENT
Seperti Apa Perempuan dalam Kacamata Media?
Dalam tayangan pada media, hampir semua serial yang ditampilkan sering kali mengeksploitasi peran perempuan dengan stereotype-nya yang itu-itu saja, yaitu kerap direpresentasikan sebagai makhluk lemah, mudah ditindas, dan terus-menerus memiliki peran menyedihkan. Selain itu, terdapat beberapa film dengan judul kontroversial dan vulgar yang mengobjektifikasi kaum perempuan, seperti Pacar Hantu Perawan (2011), Pelukan Janda Hantu Berondong (2011), dan Rintihan Kuntilanak Perawan (2010). Apakah pemilihan kata yang digunakan sudah pantas untuk dijadikan sebuah judul karya film? Terlebih lagi, semua sutradara dari kelima film tersebut adalah laki-laki.
Kemudian, terdapat salah satu tayangan yang memberikan dampak besar dalam eksploitasi citra perempuan, yaitu tayangan iklan. Sebagian besar iklan yang secara rutin disajikan oleh media menggunakan keindahan tubuh perempuan sebagai objek kepentingan komersial untuk menarik minat konsumen. Endang Listiyani melakukan penelitian representasi wanita dalam iklan di televisi pada tahun 2010, ia menyoroti sejumlah iklan di televisi yang banyak menggunakan perempuan sebagai model untuk iklan mereka, hal ini justru memperkuat masyarakat patriarki dalam budaya Indonesia. Seperti apa perempuan dalam kacamata media?
ADVERTISEMENT
1. Perempuan diekspos berlebih
Dikutip pernyataan dari Yasraf Amir melalui buku Posrealitas yang terbit pada tahun 2004, dijelaskan bahwa sebagian besar tubuh perempuan dijadikan titik sentral untuk ditukarkan sebagai komoditi lewat perannya yang akan dipasarkan melalui promosi. Melalui pernyataan tersebut, banyak pengiklan memanfaatkan tubuh atau sisi 'sensualitas' perempuan untuk kepentingan komersialisme dan objek fantasi oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab.
2. Bias gender terhadap perempuan
Kasus bias gender, yaitu keadaan memihak pada salah satu jenis kelamin. Kasus ini sudah sering kali terjadi pada perempuan. Perempuan masih saja diletakkan dalam posisi subordinat, sedangkan laki-laki pada posisi superordinat. Seakan tidak ada habisnya, kaum perempuan selalu “dikemas” sebagai manusia kelas dua. Berdasarkan Mosse, melalui buku berjudul Gender dalam Pembangunan yang diterbitkan pada tahun 1996, dikutip pernyataan bahwa kasus bias gender ini memang sering dialami oleh perempuan.
ADVERTISEMENT
3. Perempuan sebagai objek media
Melalui ragam keadaan, tak dapat menyangkal fakta bahwa sering kali kita merasakan media “menggunakan” perempuan sebagai sosok utama yang dapat mereka gunakan. Fredrickson dan Roberts (1997) melalui teori yang bernamakan Objectification Theory, menjelaskan bahwa tubuh perempuan selalu ditempatkan sebagai salah satu hal yang ditangkap oleh indra penglihatan lalu dijadikan objek.
Dibalik Citra Perempuan dalam Media
Pembentukan citra perempuan dalam konteks negatif oleh media ini berawal dari ingin merefleksikan realita yang ada pada masyarakat. Namun, kini terjadi ketimpangan bahwa media justru merepresentasikan realitas sosial. Tak jarang kita melihat pola pikir masyarakat yang masih tergolong tradisional sehingga membuat media pun ikut jarang menampilkan citra positif perempuan secara signifikan. Misalnya, perempuan memiliki berbagai hambatan karena terbatasnya akses dan kesempatan yang dimiliki, lalu media pun ikut mengkampanyekan stereotype tersebut sehingga citra perempuan yang dikonstruksikan akan selalu buruk. Konstruksi ini akan memengaruhi persepsi publik terhadap kaum perempuan nantinya. Lind, dalam Ferrel dan Websdale (1999) menyatakan bahwa pencintraan dari ‘keperempuanan’ ditampilkan dalam bentuk karakter perempuan yang pasrah dalam pernikahan dan ketergantungan terhadap hubungan yang membuat hal ini menjadi alasan terbesar mengapa media menggambarkan perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku.
ADVERTISEMENT
Peran Media dalam Membangun Citra Perempuan
Sumber : pixabay
Dalam hal ini, kita tahu bahwa media memiliki peranan penting dalam pembentukan citra gender lewat sejumlah tayangan muatan informasi. Masyarakat cenderung akan terbiasa terhadap apa yang dihadirkan dalam tayangan media. Hal ini tentunya dapat diubah jika media mampu menciptakan perubahan dalam pembentukan citra baru terhadap perempuan dengan menampilkan citra positif secara signifikan, terutama pada isu-isu penting perempuan.
Kita dapat mengambil Korea Selatan sebagai salah satu contoh. Berdasarkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Laporan Pengembangan Manusia, mereka menyatakan bahwa pada 2018 Korea Selatan memiliki indeks 0,063 sebagai salah satu negara dengan ketimpangan gender tertinggi di dunia, tetapi hal tersebut tidak membuat mereka menyajikan tayangan drama yang mencerminkan perilaku masyarakat sesuai kenyataannya, sehingga penonton pun cenderung akan mengesampingkan fakta bahwa sebenarnya budaya patriarki di Korea Selatan pun masih sangat kental. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai acuan oleh media Indonesia untuk dapat menciptakan perubahan dengan menampilkan tayangan yang tidak terpaku pada suatu keadaan sempit. Inilah saatnya untuk media dapat lebih cermat dalam menggambarkan suatu citra gender agar berdampak baik bagi pola pikir masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Media Menanggulangi Hal Ini?
Sesuai dengan pernyataan Jalaluddin Rahmat, media berperan besar dalam penggambaran suatu citra. Memang seperti itu, bukan? Tentunya kita tahu bahwa media massa memang mempunyai kekuatan dalam membentuk realitas. Untuk dapat mengubah skema yang terus berkelanjutan ini, hal yang dapat dilakukan ialah, media dapat mengangkat isu-isu penting perempuan ke sektor yang lebih luas karena kemampuannya dalam pembentukan citra. Selain itu, media disarankan untuk tidak membentuk citra yang diskriminatif terhadap perempuan serta media dapat membangun representasi bahwa perempuan memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki apabila diberi kesempatan lebih. Hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk dapat mengubah posisi subordinasi perempuan.
Sejauh ini, media mampu menjadi jurang yang dapat meminimalisir terjadinya ketidakseimbangan gender dalam masyarakat. Bahkan media mampu menciptakan kesetaraan pandangan mengenai posisi perempuan dan laki-laki. Tidak mudah mengubah citra sosial dan pola pikir masyarakat terhadap penggambaran yang sudah dihadirkan sedari dulu.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, kita tahu bahwa media memiliki peran yang begitu penting sehingga seharusnya media mampu menonjolkan berbagai aspek positif perempuan untuk mengubah pola pikir masyarakat. Kemampuan media yang sedemikian besar haruslah digunakan dengan baik dan hati-hati. Bagaimana jika hal ini terus dinormalisasikan? Tidak ada pilihan lain. Jangan salahkan apabila terciptanya stigma negatif yang terus menyelimuti perempuan di masyarakat. Namun, apakah kita siap apabila dihadapkan dengan citra perempuan yang masih dirugikan?