Konten dari Pengguna

Korupsi, Dosa Sosial yang Menjerit ke Langit

Rifandy Ritonga
Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung
21 April 2025 16:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rifandy Ritonga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korupsi dan Penyakit Sosial, Dibuat dengan AI.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korupsi dan Penyakit Sosial, Dibuat dengan AI.
ADVERTISEMENT
Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum. Ia adalah pengkhianatan terhadap nurani, rakyat, dan masa depan bangsa. Dalam tiap tindakan korupsi, kita menyaksikan luka yang bernanah di tubuh bangsa, luka yang tak hanya menggerogoti sistem, tetapi juga harapan bersama. Dan luka itu kini menjerit, tak hanya di bumi, tapi hingga ke langit.
ADVERTISEMENT
Korupsi merusak lebih dari sekadar anggaran. Ia merampas masa depan anak-anak yang semestinya mendapatkan pendidikan layak, pelayanan kesehatan, hingga keadilan di meja pengadilan. Korupsi menyingkirkan yang lemah, dan memberi panggung bagi keserakahan. Ia mempermainkan hak warga negara seakan-akan tak berarti apa-apa.
Yang lebih memilukan, banyak pelaku korupsi justru datang dari mereka yang semestinya menjadi teladan, pejabat publik, penegak hukum, wakil rakyat, bahkan figur religius. Mereka yang menyebut dirinya sebagai “wakil Tuhan” di bumi, justru dengan sadar mengkhianati nilai ketuhanan yang luhur. Maka pertanyaannya: Tuhan yang mana yang mereka wakili?
Jika kekuasaan dijalankan dengan penuh kerakusan dan dijustifikasi atas nama Tuhan, maka sejatinya mereka tak sedang mewakili Tuhan yang Mahaadil. Mereka sedang mewakili berhala baru: keserakahan. Tuhan tidak pernah memihak pada ketidakadilan. Dan jika iman dipakai sebagai tameng untuk menutupi dosa kekuasaan, maka yang kita hadapi bukan hanya krisis hukum, tapi krisis akal sehat dan moral kolektif.
ADVERTISEMENT
Korupsi yang terjadi di lembaga penegak hukum bahkan lebih tragis lagi. Oknum hakim yang menjual keadilan, oknum jaksa yang mengatur pasal, atau oknum penyidik yang bisa dibeli, semua itu melucuti makna hukum itu sendiri. Jika ruang terakhir pencari keadilan telah tercemar, lalu di mana lagi rakyat kecil berharap?
Dalam situasi seperti ini, korupsi tidak cukup dilawan hanya dengan penindakan. Ia harus dilawan sebagai bagian dari gerakan moral bersama. Pendidikan anti-korupsi harus ditanamkan sejak usia dini, bukan hanya sebagai kurikulum, tetapi sebagai nilai hidup. Kita perlu pemimpin yang bukan hanya bersih, tapi juga berani menjadi teladan, meski tanpa sorotan kamera.
Masyarakat sipil juga harus terus bersuara. Jangan diam. Media harus terus berteriak penjaga demokrasi, bukan sekadar corong kekuasaan. Akademisi harus berani bicara, bukan bungkam di balik kenyamanan ruang-ruang kelas dan podium keilmuan. Dan masyarakat sipil, sebagai warga biasa, punya kewajiban yang sama pentingnya: tidak membiarkan korupsi dianggap biasa.
ADVERTISEMENT
Harapan belum mati. Masih ada hakim yang jujur, jaksa yang bersih, birokrat yang amanah. Tapi ruang korup masih terbuka lebar karena sistem kita belum cukup ketat menutup celahnya. Maka perjuangan melawan korupsi harus lintas batas, agama, profesi, status sosial. Karena kalau tidak, kita hanya akan mewariskan negara yang busuk kepada generasi setelah kita.
Korupsi itu kejahatan paling hina karena sering dilakukan oleh mereka yang berpakaian terhormat. Ia mempermalukan bangsa ini di depan dunia, dan di depan Tuhan. Maka melawan korupsi bukan sekadar soal hukum. Ini adalah panggilan moral. Bagi siapa pun yang mencintai Indonesia.