news-card-video
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Saatnya Tokoh Publik Berbicara dengan Kesadaran Gender

Rifandy Ritonga
Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung
8 Maret 2025 15:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rifandy Ritonga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ini menampilkan konsep kesetaraan gender dalam komunikasi publik dalam bentuk abstrak. Dibuat mengunakan AI.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ini menampilkan konsep kesetaraan gender dalam komunikasi publik dalam bentuk abstrak. Dibuat mengunakan AI.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu, pernyataan Ahmad Dhani, anggota Komisi X DPR RI, menuai kontroversi. Ia mengusulkan agar pemain sepak bola berusia di atas 40 tahun yang ingin dinaturalisasi bisa dicarikan pasangan di Indonesia. Bahkan, ia menyinggung soal poligami dengan dalih regenerasi atlet.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini mendapat kecaman dari berbagai pihak, termasuk Komnas Perempuan, yang menilai bahwa hal tersebut merendahkan perempuan. Seolah-olah, perempuan hanya dianggap sebagai alat reproduksi demi mencetak generasi baru bagi sepak bola Indonesia. Pernyataan ini bukan sekadar guyonan atau strategi yang “unik”, tapi mencerminkan cara pandang yang masih jauh dari nilai kesetaraan gender.
Perempuan Bukan Sekedar Alat Reproduksi
Pernikahan bukanlah sekadar proyek demi keuntungan negara atau olahraga. Mengaitkan naturalisasi pemain sepak bola dengan pernikahan dan poligami bukan hanya tidak relevan, tapi juga berbahaya. Pernyataan semacam ini mengabaikan hak perempuan atas tubuh dan pilihannya sendiri.
Anggapan bahwa poligami bisa menjadi solusi regenerasi atlet menunjukkan betapa sempitnya cara berpikir sebagian orang terhadap peran perempuan dalam masyarakat. Seolah-olah, perempuan hanya dilihat dari fungsinya untuk melahirkan anak, bukan sebagai individu yang memiliki hak atas hidup dan masa depannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Kita sudah hidup di era di mana perempuan berhak memilih jalan hidupnya sendiri, termasuk dalam hal pernikahan. Tidak bisa lagi ada pemikiran bahwa perempuan hanyalah “bagian dari sistem” yang bisa diatur demi kepentingan negara atau pihak tertentu.
Pernyataan Tokoh Publik Punya Dampak Besar
Sebagai pejabat negara, setiap ucapan Ahmad Dhani memiliki dampak yang lebih besar daripada sekadar opini pribadi. Pernyataan yang tidak dipikirkan matang bisa menormalisasi cara pandang yang keliru di masyarakat.
Ada beberapa dampak nyata dari ucapan semacam ini:
Pertama, Membentuk Opini yang Salah. Masyarakat bisa menganggap bahwa pernikahan—bahkan poligami—bisa dijadikan solusi dalam kebijakan naturalisasi. Padahal, naturalisasi pemain harus didasarkan pada profesionalisme dan kebutuhan tim, bukan pada faktor pernikahan.
ADVERTISEMENT
Kedua, Merendahkan Peran Perempuan. Jika dibiarkan, pola pikir ini bisa semakin mengakar dan membuat perempuan terus dianggap hanya sebagai pelengkap atau alat bagi laki-laki.
Ketiga, Menurunkan Kredibilitas Tokoh Publik. Pernyataan yang tidak sensitif terhadap isu gender bisa berdampak buruk pada citra tokoh yang mengucapkannya. Apalagi di era digital, di mana masyarakat bisa dengan cepat menilai dan mengkritik.
Saatnya Berbicara dengan Kesadaran Gender
Setiap tokoh publik, terutama pejabat negara, seharusnya memahami bahwa mereka berbicara bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga mewakili institusi yang mereka emban. Oleh karena itu, ada tiga hal yang harus mereka perhatikan sebelum berbicara di ruang publik:
Pertama, Pahami Konteks dan Sensitivitas Gender. Jangan asal bicara tanpa memahami dampaknya. Setiap pernyataan harus mempertimbangkan apakah bisa menyinggung atau merugikan kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Kedua, Hormati Hak Perempuan. Perempuan bukan objek atau alat yang bisa dijadikan bagian dari kebijakan yang tidak relevan. Kesetaraan harus dijunjung tinggi dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam kebijakan olahraga.
Ketiga, Jaga Etika Berkomunikasi. Seorang pejabat harusnya berbicara dengan penuh tanggung jawab. Pernyataan yang asal-asalan hanya akan merugikan dirinya sendiri dan mencoreng institusi yang diwakilinya.
Berbicara Itu Harus Pakai Akal Sehat
Pernyataan kontroversial yang merendahkan perempuan seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Ini bukan pertama kalinya tokoh publik bicara tanpa berpikir panjang, dan kemungkinan besar bukan yang terakhir.
Masyarakat harus semakin kritis terhadap ucapan pejabat. Jangan biarkan pernyataan seperti ini dianggap normal. Sementara itu, para tokoh publik perlu belajar bahwa berbicara bukan hanya soal berani atau viral, tapi juga soal tanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Jika kita ingin Indonesia maju, kita harus mulai dari hal paling mendasar: bagaimana kita berpikir, berbicara, dan memperlakukan orang lain. Dan itu, tentu saja, termasuk bagaimana kita memperlakukan perempuan—bukan sebagai alat, tapi sebagai manusia yang punya hak dan pilihan atas hidupnya sendiri.