Konten dari Pengguna

Peran Pemda dalam Pembangunan Berkelanjutan: Belajar dari Skandinavia

Rifki Ali Aziz
Mahasiswa Magister Politik & Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada
6 Juni 2025 19:17 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Peran Pemda dalam Pembangunan Berkelanjutan: Belajar dari Skandinavia
Refleksi pembangunan berkelanjutan dari kota kawasan Skandinavia kemudian melihat tantangan dan peluang pembangunan berkelanjutan di Indonesia
Rifki Ali Aziz
Tulisan dari Rifki Ali Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilusrasi Pembangunan Berkelanjutan, Sumber: Foto oleh Singkham: https://www.pexels.com/id-id/foto/clear-light-bulb-planter-di-grey-rock-1108572/
zoom-in-whitePerbesar
Ilusrasi Pembangunan Berkelanjutan, Sumber: Foto oleh Singkham: https://www.pexels.com/id-id/foto/clear-light-bulb-planter-di-grey-rock-1108572/
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi krisis iklim dan berbagai tekanan lingkungan, pembangunan berkelanjutan tidak lagi menjadi pilihan melainkan keharusan. Di banyak negara maju, pemerintah kota memainkan peran sentral dalam mendorong transisi menuju kota yang lebih hijau dan efisien energi. Salah satu contoh inspiratif datang dari kawasan Skandinavia terutama Kota Malmö (Swedia) dan Kota Kopenhagen (Denmark). Namun, bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintah kabupaten/kota di negeri ini memiliki peran yang sebanding? Apa tantangan dan peluangnya?
ADVERTISEMENT
Artikel ini mengulas secara reflektif bagaimana pemerintah kota di negara-negara Skandinavia memimpin proses transisi keberlanjutan dan mengapa kondisi tersebut sulit direplikasi di banyak kota di Indonesia. Tulisan ini juga menawarkan beberapa langkah strategis yang dapat diambil untuk memperkuat kapasitas lokal menuju masa depan kota yang lebih berkelanjutan.
Kota sebagai Motor Inovasi Keberlanjutan
Kota Malmö, Foto oleh Efrem Efre : https://www.pexels.com/id-id/foto/menara-torso-berputar-di-cakrawala-pantai-malmo-30410248/
Kota Malmö dan Kopenhagen telah menjelma menjadi simbol keberhasilan urbanisme hijau di Eropa. Pemerintah kota di sana tidak sekadar menjalankan instruksi dari atas melainkan menjadi motor utama inovasi keberlanjutan. Mereka aktif merancang kawasan baru dengan standar bangunan hemat energi, mengelola kepemilikan lahan publik secara strategis, dan membangun kolaborasi erat dengan sektor swasta serta masyarakat sipil.
Studi Smedby & Quitzau (2016) menjelaskan bahwa pemerintah kota Skandinavia menerapkan pendekatan governance hybrid yakni perpaduan antara regulasi, insentif ekonomi, dan mekanisme partisipatif. Pemerintah kota juga bertindak sebagai fasilitator sekaligus inovator. Mereka tidak menunggu instruksi nasional tetapi proaktif menetapkan standar lokal seperti kawasan bebas emisi atau perumahan berbasis energi terbarukan.
Kota Kopenhagen, Foto oleh Pixabay: https://www.pexels.com/id-id/foto/bangunan-kota-415722/
Hal yang menarik dari pendekatan Pemerintah Kota Malmö dan Kopenhagen ini tidak selalu berbasis kewajiban hukum yang kaku. Sebaliknya, proyek-proyek pembangunan sering dimanfaatkan sebagai “laboratorium kebijakan” untuk menguji ide-ide baru. Prinsip keberlanjutan disisipkan sejak tahap perencanaan, pelepasan lahan, hingga pelaksanaan proyek secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Mengapa Hal Ini Sulit Diterapkan di Indonesia?
Situasi kontras terlihat di banyak kota di Indonesia. Meskipun secara normatif pemerintah daerah memiliki otonomi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, dalam praktiknya peran tersebut masih terbatas. Kota-kota di Indonesia cenderung menjalankan proyek berdasarkan perintah pusat, baik dalam aspek pendanaan maupun kebijakan strategis. Ketergantungan fiskal masih tinggi sementara kapasitas teknis dan kelembagaan belum memadai untuk mengelola proyek kompleks berbasis keberlanjutan.
Selain itu, banyak proyek pembangunan perkotaan di Indonesia justru didominasi oleh logika pasar. Pemerintah kota lebih sering bertindak sebagai pemberi izin bukan sebagai perancang arah pembangunan. Alih-alih mendorong standar keberlanjutan pemerintah kota sering kali memfasilitasi investasi tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Perlu juga dicatat bahwa keterbatasan kepemilikan lahan publik mengurangi daya tawar pemerintah kota dalam menegosiasikan standar pembangunan. Di Skandinavia sebagian besar lahan dikendalikan oleh pemerintah kota sehingga mereka dapat menentukan syarat keberlanjutan sebelum menjual atau melepas hak atas lahan tersebut. Di Indonesia, kepemilikan lahan didominasi oleh pihak swasta sehingga negosiasi untuk memasukkan prinsip hijau menjadi sangat terbatas.
Satu tantangan besar lain di Indonesia adalah dinamika politik lokal. Banyak kepala daerah belum melihat isu keberlanjutan sebagai kepentingan politik yang strategis. Proyek-proyek pembangunan masih didorong oleh kepentingan jangka pendek seperti pencitraan, pembangunan infrastruktur masif, atau estetika kota yang belum tentu berdampak pada efisiensi energi atau mitigasi perubahan iklim.
Selain itu, masih terjadi fragmentasi kelembagaan antara dinas-dinas di tingkat lokal yang menghambat kolaborasi lintas sektor. Upaya integrasi antara perencanaan tata ruang, lingkungan hidup, dan energi baru terbarukan masih berjalan terpisah-pisah. Hal ini sangat berbeda dari model Skandinavia di mana struktur pemerintahan lokal lebih ramping namun efisien dan semua dinas bekerja dalam satu kerangka strategi jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Dari Ketertinggalan Menuju Kebangkitan Lokal
Meskipun tantangan pembangunan berkelanjutan di kota-kota Indonesia cukup berat bukan berarti tidak ada harapan. Kabupaten Banyumas di Jawa Tengah adalah contoh nyata bagaimana pemerintah daerah bisa mengambil langkah maju dan inovatif dalam isu lingkungan khususnya pengelolaan sampah.
Semua bermula pada 2018 ketika warga menolak keberadaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Gunung Tugel, Banyumas. Krisis ini justru menjadi titik balik dan pemerintah daerah tidak tinggal diam. Mereka melihat ini sebagai peluang untuk mengubah sistem pengelolaan sampah secara menyeluruh.
Langkah pertama adalah membangun Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di berbagai lokasi. Salah satunya di Kedungrandu yang kini dapat mengolah sekitar 15 ton sampah per hari tanpa menyisakan limbah. Hasil olahan sampah ini tidak main-main mulai dari bata plastik, pupuk organik, hingga bahan bakar alternatif (refuse derived fuel/RDF) yang dapat menggantikan batu bara.
Aplikasi managemen pengelolaan sampah SALINMAS, Sumber: http://salinmas.banyumaskab.go.id/
Tidak hanya itu, Banyumas juga memanfaatkan teknologi digital melalui aplikasi seperti SALINMAS dan JAKNYONG, dimana warga dapat menjual sampah mereka dari rumah. Sampah plastik dihargai sekitar Rp6.000 per kilogram sementara sampah organik sekitar Rp400 per kilogram. Sistem ini tidak hanya mengurangi volume sampah tetapi juga memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dampaknya terasa nyata sampai volume sampah ke TPA berkurang hingga 40 persen. Banjir yang sering terjadi akibat tumpukan sampah menyusut hingga 35 persen. Bahkan, Banyumas berhasil meraih penghargaan ASEAN ASC Award 2023 yang menobatkan daerah ini sebagai salah satu dengan sistem pengelolaan sampah terbaik di Asia Tenggara.
Apa kunci keberhasilannya? Jawabannya sederhana yaitu kemauan politik, inovasi, dan keterlibatan masyarakat. Bupati Banyumas pada saat itu yang menjadi pelopor kebijakan ini, Achmad Husein menyatakan:
“Konsep pengelolaan sampah di Banyumas, sistemnya bisa diterapkan di negara lain,” tegas Achmad Husein.
Pernyataan tersebut membuktikan bahwa kota dan kabupaten di Indonesia bisa bangkit asalkan ada komitmen dan kemauan untuk berubah. Banyumas mengajarkan kita bahwa pembangunan berkelanjutan bukan sekadar wacana global tetapi bisa dimulai dari lingkungan sekitar. Model seperti ini bukan hanya layak ditiru melainkan juga sangat mungkin dikembangkan di banyak daerah lain di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Transisi menuju kota yang berkelanjutan bukanlah hal yang mudah. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Malmö dan Kopenhagen dimana peran aktif pemerintah kota sangat krusial dalam memimpin perubahan. Indonesia perlu belajar dari pengalaman ini dan menyesuaikannya dengan konteks lokal. Sudah saatnya pemerintah kabupaten/kota di Indonesia keluar dari peran pasif dan menjadi motor penggerak perubahan menuju masa depan yang lebih hijau, adil, dan berdaya tahan.