Konten dari Pengguna

Gula Manis JETP: Beban Utang Baru atau Gotong Royong Global Transisi Energi?

Rifqi Nuril Huda
Mahasiswa Pascasarjana Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia, Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS) , Wakil Bendahara Umum DPP GMNI, Ketua Umum Akar Desa Indonesia
29 September 2023 19:09 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rifqi Nuril Huda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Transisi energi terbarukan PLN. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Transisi energi terbarukan PLN. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 22 april 2016 di markas besar Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York Amerika Serikat masyarakat dunia di mendapatkan berita dari berbagai media bahwasanya mayoritas Negara-Negara di Dunia sejumlah 195 (Seratus Sembilan Puluh Lima) Negara menandatangani perjanjian paris atau yang biasa kita kenal dengan nama Paris Agreement yaitu perjanjian bersama tentang perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Tentunya perjanjian ini sebagai bentuk komitmen bersama Negara di seluruh dunia untuk saling gotong royong menghadapi perubahan iklim dan akan berlaku apabila ada 55 (lima puluh lima) negara meratifikasi perjanjian tersebut menjadi undang-undang di negaranya masing-masing. Akhirnya pada tanggal 24 Oktober 2016 Lembaran Negara Nomor 204 Tahun 2016 disahkannya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).
Lahirnya ratifikasi undang-undang tersebut memiliki suatu cita hukum yaitu komitmen bersama masyarakat dunia atas perubahan iklim yang terjadi di dunia dan Upaya untuk mencegah bencana iklim sebagai bentuk keberlanjutan kehidupan manusia di dunia. Secara sosiologis hukum masyarakat Indonesia yang termasuk dalam bagian bangsa dunia ratifikasi undang-undang perubahan iklim atas Paris Agreement adalah bentuk menjaga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perubahan iklim dapat di rasakan di Indonesia baru-baru ini oleh warga Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) yaitu tercemarnya udara dan tergolong tidak sehat. Menurut data dari situs IQair pengukuran kualitas udara di Jabodetabek sempat di angka 177 dengan polutan utamanya sebesar PM 2,5 dan nilai konsentrasi 105 mikrogram per meter kubik (M3).
Data menunjukkan bahwa membawa ke arah petaka bagi manusia. Kondisi ini juga menempatkan Indonesia masuk sepuluh negara di dunia dengan kualitas udara buruk dan terburuk di kawasan Asia Tenggara. Tentu hal ini ada penyebabnya, menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sektor transportasi berkontribusi sebesar 44% dari penggunaan bahan bakar kendaraan di Jakarta, diikuti industri energi 31%, lalu manufaktur industri 10%, sektor perumahan 14%, dan komersial 1%.
ADVERTISEMENT
Artinya Penyumbang mayoritas dari polusi udara di Jakarta adalah dari sumber energi baik di sektor hulu dan di sektor hilir. Di sektor hulu ada nilai 31% penyumbang emisi dan angka 44% dari pengguna bahan bakar kendaraan. Kondisi ini harusnya menjadi catatan penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk mempercepat menuju transisi energi di Indonesia.
Komitmen Indonesia dalam transisi energi sebenarnya sudah di lakukan semenjak meratifikasi atas perjanjian internasional Paris Agreement dan di ratifikasi menjadi undang-undang nomor 16 tahun 2016 tentang tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).
Tetapi banyak faktor yang menjadi pekerjaan rumah bersama antara Pemerintah dan Masyarakat dalam hal implementasi transisi energi menuju NET Zero Emission. Pertama, Pemerintah melalui Kebijakannya masih belum secara nyata mau melakukan tidak menggunakan bahan bakar tinggi emisi dalam hal sumber energi. Kedua, Regulasi pendukung perihal transisi energi dan penggunaan energi bersih yang dapat di terapkan di masyarakat masih tidak jelas terkatung-katung nasibnya, seperti Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan.
Seorang pekerja melakukan pemeriksaan rutin di area pipa air Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) Segara di Desa Bentek, Kecamatan Gangga, Lombok Utara, NTB, Rabu (14/12/2022). Foto: Ahmad Subaidi/ANTARA FOTO
Ketiga, capaian bauran energi baik penggunaan sumber energi minyak, gas, batu bara, dan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang juga terkandung di dalam Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2017 tentang Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) masih jauh dari harapan dan yang terbaru pemerintah akan melakukan revisi atas Peraturan tersebut. Keempat, candu masyarakat terhadap energi tinggi emisi sebagai bahan bakar moda transportasi juga masih sulit di gantikan.
ADVERTISEMENT
Dari empat permasalahan yang disampaikan di atas tentu ini pekerjaan rumah bersama bagi pemerintah dan masyarakat. Paradigma optimis sebagai bangsa Indonesia harusnya kita kedepankan untuk menatap keberlanjutan Negara Indonesia. Karena sebagai negara yang punya Sejarah Panjang dalam urusan sumber daya alam mulai dari rempah, kayu, pertambangan dan minyak maupun gas. Indonesia memiliki potensi energi baru dan terbarukan yang sangat luar biasa.
Sebut saja Panas Bumi (Geothermal), tenaga surya, tenaga angin, tenaga air, nabati, dan masih banyak lagi. Potensi ini layaknya surga kecil yang di titipkan kepada Tuhan kepada masyarakat Indonesia untuk keberlangsungan hidup dan jalan menuju transisi energi. Sehingga pada momentum pertemuan negara-negara dunia lewat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 salah satu masuk pembahasan utama yaitu transisi energi, tentunya dari sumber energi yang menghasilkan emisi tinggi (fosil) ke Energi baru dan terbarukan.
ADVERTISEMENT

KTT G20 Indonesia dan JETP

Presiden Joko Widodo mengikuti Major of Economies on Energy and Climate 2021 yang digelar secara virtual. Foto: Dok. Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden
Pada gelaran KTT G20 2022, Indonesia didapuk sebagai ketua dan tuan rumah. Salah satu komitmen yang dihasilkan dari pembahasan di forum tersebut adalah upaya serius negara penghasil emisi tinggi untuk membantu dalam segi finansial atau investasi pengembangan industri energi baru dan terbarukan. Muncullah saat itu Just Energy Transition Partnership (JETP).
JETP secara tujuan mulianya adalah upaya bersama negara anggota G20 untuk gotong royong pembangunan industri energi baru dan terbarukan. Sehingga dalam hal ini pemerintah Indonesia yang kaya akan sumber energi baru dan terbarukan dan dengan kondisi energi fosil masih impor terkhusus minyak dan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan nasional hingga cenderung menghasilkan emisi yang tinggi. Ini layaknya perumpamaan diberikannya gula manis dengan tanpa harus mengeluarkan dana negara yang besar.
ADVERTISEMENT
Layaknya manusia yang diberikan gula manis secara cuma-cuma dan sesuai dengan semangat bangsa Indonesia yaitu gotong royong negara-negara dunia untuk membantu negara Indonesia keluar dari zona energi fosil dan sumber energi emisi tinggi ini sebuah hal yang sesuai dengan tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang isinya Tujuan negara Indonesia adalah melindungi seluruh rakyat Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Tujuan mulia JETP awalnya disambut baik oleh masyarakat Indonesia sehingga ditetapkan tanggal 16 agustus 2023 dan dikebutnya penyelesaian implementasi rencana investasi komprehensif (Comprehensive Investment Plan/CIP) tiba-tiba tertunda tanpa ada kejelasan. Padahal momentum ini merupakan hadiah terbaik di momentum hari kemerdekaan bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 2023 yang ke 78 dengan semangat Indonesia menuju transisi energi yang lebih konkret dan di dukung kekuatan gotong royong negara-negara dunia.
ADVERTISEMENT

Menilik Kembali JETP

Melihat ketidakpastian dalam pelaksanaan JETP yang akan dilaksanakan di Indonesia harus dilihat dari beberapa analisis permasalahan. Pertama, landasan hukum atau payung hukum dalam pelaksanaan pendanaan JETP sudah dibuat atau belum, jangan sampai belum ada aturannya sudah dilaksanakan, mengingat Negara Indonesia adalah negara hukum yang sesuai diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 atau konstitusi Negara Indonesia.
Kedua, beberapa ahli juga menyampaikan dengan Analisa Comparative Approach atau pendekatan perbandingan dengan negara yang menerapkan pola JETP seperti Afrika Selatan juga harus menjadi pertimbangan. Jangan sampai nilai investasi yang harapan masyarakat nilai investasinya besar ternyata malah nilai utang atau bentuk utang dari pada JETP tinggi. Tentu ini tidak sesuai dengan apa yang sudah kita harapkan dan cita-citakan, apalagi sampai menambah nilai utang negara.
ADVERTISEMENT
Evaluasi atas ketidakpastian JETP dalam upaya bersama negara untuk melakukan transisi energi sesuai dengan kesepakatan negara-negara di dunia, serta disandingkan dengan kondisi penggunaan energi fosil yang menjadi kebutuhan dominan dalam pemenuhan kebutuhan nasional. Harusnya ini menjadi cambuk bersama untuk berpikir alangkah baiknya mengusahakan transisi energi dengan upaya sendiri secara gotong royong melalui Petroleum Fund atau dana abadi pengelolaan sumber energi fosil di Indonesia. Apabila ditarik mundur mundur dalam sejarah pengelolaan energi di Indonesia, Negara kita pernah mengalami jumlah produksi yang luar biasa dan ditandai dengan bergabungnya ke Organization Of The Petroleum Exporting Countries (OPEC).
Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas dan beragam uji materi pada wilayah yudikatif yaitu di Mahkamah Konstitusi, walaupun dalam menjalankan amanat putusan Mahkamah konstitusi yang hakikatnya bersifat final dan mengikat tidak ada wujud nyata sampai saat ini.
ADVERTISEMENT
Kita tahu angka hasil produksi minyak mentah masih jauh sekali untuk dapat memenuhi kebutuhan nasional. Meskipun hasil pengusahaan minyak dan gas bumi saat ini masih menjadi tujuan untuk memenuhi devisa negara, yang artinya diprioritaskan sebagai salah satu sumber pemenuhan penghasilan kas negara, dan energi bukan sebagai modal pembangunan nasional.
Energi sebagai modal pembangunan nasional seharusnya menjadi pedoman untuk pengelolaan energi masa depan. Dengan dasar hukum yang terkandung dalam materi muatan Peraturan pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, energi sebagai modal pembangunan nasional.
Maka ketika energi sebagai modal pembangunan nasional seharusnya energi di prioritaskan sebagai penyuntik insentif peningkatan pembangunan melalui mekanisme Petroleum Fund. Sehingga negara tidak memasukkan pendapatan dari hasil usaha minyak dan gas ke dalam pendapatan negara bukan pajak (PNBP) tapi ke dalam mekanisme Petroleum Fund sebagai upaya gotong royong membiayai pembangunan di sektor hulu dan hilir migas seperti investasi eksplorasi maupun eksploitasi migas, yang bertujuan peningkatan jumlah hasil minyak mentan. Dari sisi upaya transisi energi, Petroleum Fund dapat di gunakan untuk investasi pembangunan pembangkit sumber energi di sektor energi baru dan terbarukan.
ADVERTISEMENT