Konten dari Pengguna

Meneropong Desa dalam Ancaman Perubahan Iklim

Rifqi Nuril Huda
Mahasiswa Pascasarjana Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia, Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS) , Wakil Bendahara Umum DPP GMNI, Ketua Umum Akar Desa Indonesia
29 April 2024 9:27 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rifqi Nuril Huda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1580556249/xgzrpyjbkva8eg6citxl.jpg
zoom-in-whitePerbesar
sumber : https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1580556249/xgzrpyjbkva8eg6citxl.jpg
ADVERTISEMENT
Dampak ancaman perubahan iklim yang dialami masyarakat tidak hanya bergantung pada paparan mereka terhadap risiko iklim, melainkan juga pada mata pencaharian dan budaya terhadap perubahan iklim, dan kapasitas untuk beradaptasi dan merespons kondisi tersebut. Ukuran rentan masyarakat terhadap perubahan iklim sangat bervariasi.
ADVERTISEMENT
Kelompok masyarakat yang mengalami diskriminasi, memiliki hak yang terbatas dan akses yang terbatas terhadap platform tata kelola, atau dikucilkan dari jejaring sosial kemungkinan besar akan mengalami dampak yang tidak proporsional dari risiko iklim dan memiliki kapasitas adaptasi yang lebih rendah.
Diketahui bersama tentunya beberapa dekade terakhir, Indonesia telah mencapai kemajuan yang luar biasa dalam mengurangi kemiskinan. Akan tetapi, apabila prestasi kemajuan yang sudah diraih akan tergerus cepat jika kita tidak dapat mengatasi dampak yang terjadi dari perubahan iklim dan kebijakan strategis perubahan iklim.
Di Negara-Negara berkembang Kemiskinan masih menjadi tantangan pembangunan yang menjadi prioritas, di mana hanya 20% masyarakat Indonesia yang telah mencapai ekonomi kelas menengah. Kelompok 40 % terbawah masih mempunyai risiko yang besar untuk jatuh ke dalam kemiskinan, dan ketimpangan masih tinggi, terutama di daerah-daerah terpencil atau 3T (Terluar, Tertinggal, Terdalam) yang sangat bergantung pada sumber daya alam (Sumber : Bank Dunia 2020).
ADVERTISEMENT
Tentu, agar Indonesia dapat mempertahankan rekor pengentasan kemiskinannya dan bergerak menuju negara berpendapatan menengah ke atas, mengatasi dimensi sosial dari perubahan iklim bukanlah suatu pilihan, namun suatu keharusan serta dibutuhkan gotong royong dari berbagai pihak.
Dampak perubahan iklim yang dialami masyarakat tidak hanya bergantung pada paparan mereka terhadap risiko iklim namun juga pada sensitivitas mata pencaharian dan budaya masyarakat terhadap perubahan iklim, serta fakta kapasitas masyarakat untuk beradaptasi dan menanggapi perubahan tersebut. Kerentanan sangat berbeda-beda antar penduduk tergantung pada faktor geografis, ekonomi, dan sosial. Pandangan penulis, inilah masalah utama dalam tulisan ini.
Masyarakat yang mengalami diskriminasi, terbatasnya akses terhadap akses hak dan fasilitas atas ancaman perubahan iklim, atau dikucilkan dari jaringan sosial, menghadapi dampak risiko iklim yang tidak proporsional dan memiliki kapasitas adaptasi yang lebih rendah serta berpotensi menimbulkan jarak keadilan. Dikarenakan hal tersebut, masyarakat miskin dan paling rentan di daerah pedesaan terpencil maupun perkotaan padat penduduk diperkirakan akan menghadapi dampak yang paling parah dari perubahan iklim.
ADVERTISEMENT

Negara dalam Mitigasi Perubahan Iklim

Indonesia dapat menyiapkan mitigasi maupun meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim dengan meningkatkan kemampuan kolektif masyarakat untuk bertahan, pulih lebih cepat, dan melakukan penguatan kapasitas kelompok masyarakat desa dalam menghadapi perubahan iklim.
Pengetahuan, tradisi, dan keterampilan lokal merupakan pendorong penting dari ketahanan sosial di masyarakat desa, ditambah dengan jaminan akses terhadap hak dan sumber daya, terutama bagi kelompok-kelompok marginal di wilayah desa.
Wilayah desa menjadi tumpuan dalam menghadapi berbagai risiko perubahan iklim. Contoh saja daerah pedesaan termiskin di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua menunjukkan kesamaan dalam proyeksi tren curah hujan dan suhu akibat perubahan iklim. Proyeksi perubahan iklim menunjukkan bahwa wilayah tersebut akan mengalami peningkatan suhu dan perubahan pola curah hujan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, meningkatnya suhu diperkirakan akan menyebabkan timbulnya gelombang panas yang lebih sering dan intens, sehingga menimbulkan risiko terhadap kesehatan manusia dan produktivitas pertanian. Pada saat yang sama, perubahan pola curah hujan dapat mengakibatkan curah hujan yang lebih tidak menentu, termasuk kekeringan yang berkepanjangan dan curah hujan yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan peningkatan kelangkaan air dan potensi banjir atau tanah longsor. Kejadian tersebut tentu dapat mengakibatkan kerusakan sarana dan prasarana, tempat tinggal, hilangnya mata pencaharian, dan hilangnya nyawa.
Peristiwa hidrometeorologi di Maluku yang disebabkan oleh perubahan iklim sudah menimbulkan kerugian besar. Hujan deras sering menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor di Pulau Ambon dan pulau-pulau lainnya dan kemungkinan akan terus meningkat.
ADVERTISEMENT
Di seluruh provinsi Maluku, beberapa pulau akan mengalami musim kemarau yang semakin kering dan musim hujan yang semakin basah, sedangkan pulau-pulau lainnya akan mengalami cuaca yang lebih panas dan kering di antara musim hujan. Pulau Buru, Ambon, dan Seram mungkin mengalami penurunan curah hujan di semua musim, sedangkan pulau-pulau di selatan dan Aru hanya mengalami penurunan curah hujan pada bulan Desember hingga bulan Mei. Perubahan yang sedang berlangsung ini akan berdampak pada tanaman pangan, hutan, dan sumber air bersih (Sumber : USAID 2018).
Dalam hal dampak perubahan iklim, masyarakat yang berprofesi sebagai petani sangat sensitif terhadap dampak perubahan iklim, di mana masyarakat miskin di pedesaan adalah kelompok yang paling terkena dampak dari produksi dan konsumsi. Perkiraan perbedaan curah hujan dan suhu akan berdampak negatif terhadap hasil pertanian, yang masih menjadi mata pencaharian utama bagi banyak rumah tangga di pedesaan dan seringkali mendorong ketidakstabilan harga pangan.
ADVERTISEMENT
Mata pencaharian pertanian sensitif terhadap perubahan iklim berdasarkan topografi dan kondisi ekologi lahan. Secara tradisional, banyak petani kecil mengandalkan petunjuk lingkungan untuk menentukan praktik pertanian. Perubahan pola cuaca dan suhu akibat perubahan iklim dapat mengacaukan sinyal-sinyal lingkungan ini dan mengganggu pemahaman petani kecil tentang bagaimana dan kapan saatnya bercocok-tanam dalam skenario emisi tinggi.

Desa Sebagai Garda Depan Ancaman Perubahan Iklim

Pemerintahan desa sebagai bagian dari pemerintahan paling bawah secara hierarki, dapat juga disebut sebagai pintu gerbang yang penting untuk meningkatkan ketahanan sosial dan mengadvokasi kebutuhan masyarakat. Kepala desa yang terpilih memiliki kekuasaan dan pengaruh yang signifikan terhadap pembangunan wilayah dan terkadang terdapat permasalahan penggunaan lahan dan sumber daya yang dihadapi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Peran Kepala Desa sebagai penjaga dan organisator masyarakat merupakan warisan dari masa prakolonial hingga sekarang. Pemerintahan desa kini terdiri dari kepala desa terpilih, badan permusyawaratan desa (BPD) terpilih, dan kepala urusan (KAUR) yang ditunjuk oleh kepala desa.
Program nasional pembangunan berbasis masyarakat di Indonesia, dan evolusi selanjutnya menjadi Undang-Undang Nomor 14 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), telah menunjukkan efektivitas alat nasional yang serbaguna ini dalam menyalurkan sumber daya secara langsung ke masyarakat desa.
Pada tahun 2014, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Desa yang ambisius, yang secara signifikan meningkatkan otonomi sekitar 75.000 pemerintah desa. Sejak diundangkan, UU Desa telah menjadi instrumen hukum utama dalam memberikan pelayanan publik di Indonesia (Hartojo dkk. 2022).
ADVERTISEMENT
Pemerintahan Desa lewat kepala desa dipilih, KAUR Desa, dan staf administrasi ditunjuk untuk mendukung kebijakan kepala desa dan desa mendapat jaminan anggaran tahunan sekitar Rp 1,6 miliar (lebih dari US$ 67.000) setiap tahun (angka tahun 2022) untuk pembangunan desa. Sebagian besar anggaran ini digunakan untuk fokus membangun sarana dan prasarana berskala kecil dan mendorong pembangunan ekonomi lokal yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) 5 tahunan.
Amanat UU Desa mengamanatkan implementasi penggunaan anggaran pemerintah desa melaui proses musyawarah dalam perencanaan dan penganggaran sumber daya desa melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrengbangdesa). Anggaran desa tentunya diketahui bersama bersumber dari tiga sumber utama yaitu, alokasi langsung dari Kementerian Keuangan, alokasi dari pemerintah kabupaten, dan pendapatan asli daerah.
ADVERTISEMENT
Selam aini UU Desa mencerminkan komitmen yang luas terhadap pemberdayaan desa. Ketika undang-undang ini disahkan, muncul semangat peningkatan demokrasi desa dan proses partisipatif serta memberikan sumber daya ekonomi yang lebih besar kepada desa-desa dengan otonomi desa yang lebih besar atas penggunaan sumber daya tersebut.
Namun demikian, ada beberapa permasalahan dalam pelaksanaan UU Desa menghalangi desa untuk melakukan perencanaan, penganggaran, dan tindakan dalam perubahan iklim. Beberapa persoalan pelaksanaan tidak spesifik untuk menghadapi perubahan iklim dan akan mempunyai dampak positif yang lebih luas jika ditangani, sementara persoalan lainnya adalah spesifik untuk investasi terkait iklim dalam pengelolaan sumber daya alam dan mitigasi bencana.
Hambatan utamanya adalah meningkatnya alokasi dana yang dialokasikan oleh pemerintah pusat, keterbatasan prosedur dalam sistem perencanaan dan penganggaran, terbatasnya cakupan bantuan teknis untuk menjadi masukan informasi bagi investasi desa, dan kualitas tata kelola desa yang sangat berbeda-beda. Akibatnya, anggaran desa terkendala penyelesaian prioritas lokal, tekanan politik, dan hambatan dalam sistem pengalokasian dana untuk kegiatan adaptasi iklim (seperti kegiatan tahunan yang sudah membudaya peningkatan sarana dan prasarana).
ADVERTISEMENT
Selain itu, peraturan perencanaan dan penganggaran desa memungkinkan untuk membiayai kegiatan konservasi dan reboisasi, tetapi tidak memberikan insentif secara langsung (Watts dkk. 2019).
Demi mendorong perencanaan desa yang lebih inklusif dan tanggap terhadap perubahan iklim, penulis berpendapat. Pertama, membangun kapasitas SDM atau masyarakat desa untuk berperan serta dalam program perlindungan lingkungan hidup dan pembangunan ekonomi serta proses perencanaan dan penganggaran desa.
Mekanisme yang dapat dicoba adalah melalui kerja sama kemitraan dengan masyarakat sipil dan sektor swasta yang dapat bekerja secara langsung dengan kelompok-kelompok kepentingan masyarakat (seperti petani, perempuan, dan pemuda).
Dukungan yang diberikan akan mencakup perencanaan lokal yang partisipatif, memperkenalkan peningkatan keterampilan dan teknologi kepada masyarakat, dan memberdayakan kelompok-kelompok marginal di desa. Sehingga kuat dalam spirit nilai gotong royong masyarakat desa terhadap perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Kedua, Mengembangkan instrumen pelatihan dan penjangkauan yang lebih baik bagi pemerintah desa dan fasilitator desa untuk mendorong perencanaan dan tindakan mitigasi perubahan iklim di desa-desa. Dapat juga mengembangkan dan menyusun pedoman perencanaan mitigasi iklim untuk pemerintah desa dan kelompok masyarakat desa. Langkah-langkah tersebut dapat merujuk basis data nasional untuk menilai kerentanan spesifik di desa (seperti peningkatan risiko banjir atau kebakaran).
Ketiga, Memastikan bahwa, selama penyusunan rencana 5 (lima) tahun, proses perencanaan dan penganggaran desa melalui Musrengbangdes harus mencakup penilaian kerentanan iklim partisipatif di desa. Temuan dari penilaian tersebut dapat diintegrasikan ke dalam biaya operasi dan pemeliharaan. Biaya-biaya tersebut dapat mencakup penilaian wajib terhadap stabilitas lereng, rencana/penilaian drainase masyarakat di daerah rawan banjir dan tanah longsor, atau penilaian lokal terhadap erosi pasang surut daerah pesisir.
ADVERTISEMENT
Keempat, merevisi pedoman prioritas anggaran dana desa tahunan, yang dikeluarkan setiap tahun oleh Kementerian Desa PDTT sebagai pedoman bagi penetapan anggaran desa, yang didasarkan pada analisis dan data, seperti peta kerentanan sosial masyarakat desa, dan tidak terlalu bersifat preskriptif. Sehingga, dapat mengurangi proporsi anggaran Dana Desa yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan tertentu akan memberikan fleksibilitas yang diperlukan bagi pemerintah desa dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan aksi iklim di desa.