Konten dari Pengguna

Gender & Maskulinitas Dalam Ilmu Hubungan Internasional

Syahri Ridani
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hubungan International, Universitas Indonesia. Founder Diplomat Mandar Foundation
10 Juli 2024 9:18 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahri Ridani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Canva.com , re-edited by ririd
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva.com , re-edited by ririd
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam ilmu hubungan internasional, jender dan seksualitas merupakan bahasan yang penting karena mencerminkan dinamika kekuasaan dan dominasi. Dalam tulisan ini membahas mengenai tentang maskulinitas dalam jender yang dimana maskunilitas tercermin dalam kebijakan luar negeri serta kontruksi identitas negara-negara sebagai aktor “maskulin” yang kuat dan berpengaruh. Konsep ini juga mempengaruhi kebijakan keamanan internasional, dimana atribut-atribut maskulin seperti keberanian dan kekuatan fisik sering kali dihubungkan dengan respon terhadap tantangan keamanan. Padahal maskunilitas itu merupakan sebuah kontruksi sosial karena tidak semua individu memiliki kondisi maskulinitas yang sama seperti apa yang dikontruksikan sebagai individu maskulinitas. Dalam hal ini ada banyak individu dengan tingkat maskunilitas nya berbeda dengan yang lain merasa termarjinalkan karena adanya posisi kontruksi sosial maskulinitas di masyarakat. Kemudian, diskusi tentang pemberdayaan perempuan dan kesetaraan jender menggambarkan kompleksitas kontruksi sosial yang mempengaruhi dinamika global. Dengan mempertimbangkan isu-isu ini secara holistik, kita dapat membangun khazanah ilmu hubungan internasional yang lebih inklusif, adil dan berkelanjutan bukan hanya mengenai tentang aktor negara.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, Connell & James (2005) dalam tulisannya berjudul “ Hegemonic Masculinity: Rethinking the Concept” menjelaskan bahwa kajian maskulinitas pertama kali diperkenalkan di Australian high schools. Namun sebagai diskusi dalam ilmu sosial maka tentu banyak kritis yang serius terhadap diskusi konseptual terkait pembentukan maskulinitas dan pengalaman tubuh laki-laki. Salah satu kritiknya datang dari Petersen (1998,2003), Collier (1998) dan Maclnnies (1998), konsep maskulinitas memiliki kelemahan karena konsep tersebut mementingkan karakter laki-laki atau memaksakan hal yang kontradiktif dengan realitas. Konsep maskulinitas dikatakan bertumpu pada logis dikotomisasi jenis kelamin (biologis) versus jender (budaya) sehingga meminggirkan atau menaturalisasi tubuh. Namun dalam hal ini, Connell mengatakan bahwa interaksi antara tubuh dan proses sosial telah menjadi salah satu tema sentral penelitian maskunilitas sejak awal. Salah satu penelitian pertama dan paling berpengaruh dalam padardigma baru ini adalah laporan Messner (1992) tentang “masculinity of professional athletes”yang mengkaji penggunaan “tubuh sebagai senjata” dan kerusakan jangka Panjang pada tubuh laki-laki. Kontruksi maskulinitas dalam konteks disabilitas (Gershcick dan Miller, 1994), tubuh pekerja laki-laki pekerja ( Donaldosn,1991), dan kekerasan antar pribadi anak laki-laki (Messerschmidt, 2000) adalah Sebagian besar tema penelitian yang menunjukkan bagaimana tubuh dipengaruhi oleh proses sosial.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Connell menjabarkan tentang ide apa yang harus dipertahakan dalam arus kritik terhadapnya. Ide tersebut ialah kombinasi pluralitas maskunilitas dan hierarki maskulinitas. Penelitian yang luas juga mengemukakan bahwa maskulinitas tertentu lebih penting secara sosial atau lebih diasosiasikan dengan otoritas dan kekuasaan sosial, dibandingkan maskulinitas lainnya. Konsep maskulinitas hegemonik mengasumsikan subordinasi maskulinitas non-hegemonik dan ini adalah proses yang kini telah didokumentasikan di banyak lingkungan secara internasional. Kemudian, hierarki maskulinitas adalah pola hegemoni. Persetujuan budaya, sentralitas diskursif, pelembagaan dan marjinalisasi merupakan ciri-ciri maskulinitas yang dominan secara sosial.
Lalu, apa yang harus diformulasikan menurut Connell? Jawaban atas pertanyaan ini ialah hierarki jender , geographi maskulinitas, perwujudan sosial, dinamika maskulinitas. Hierarki jender dikemukakan hubungan antar maskulinitas kini lebih jelas mengenali kelompok-kelompok yang tersubordinasi dan termarjinalisasi dimana sering kali dikondisikan oleh lokasi spesifik mereka. Sebuah pola maskulinitas yang dibangun di lingkungan kelas pekerja lokal, kadang-kadang diantara laki-laki yang secara etnis terpinggirkan mewujudkan klaim atas kekuasaan yang khas dari hegemoni maskulinitas Kawasan negara tersebut. kemudian, mengenai lokasi spefisik maskulinitas ini setidaknya, kita harus memahami bahwa kontruksi hegemoni maskulinitas regional dan lokal dibentuk oleh artikulasi sistem jender ini dengan proses global. Secara empiris, maskulinitas hegemonik ini bisa ditinjau dari tiga level, pertama lokal; dibangun dalam arena interaksi tatap muka keluarga, organisasi dan komunitas terdekat. Kedua, regional; dibangun pada tingkat budaya atau negara bangsa, seperti yang umunya ditemukan dalam penelitinan diskursif, politik, dan demografi. Ketiga, global; dibangun di arena transnasional seperti politik dunia dan bisnis serta media transnasional, seperti dalam penelitian baru mengenai maskulinitas dan globalisasi. Lalu pentingnya perwujudan maskulin bagi identitas dan perilaku muncul dalam banyak konteks. Di masa muda, aktivitas tubuh yang terampil menjadi indikator utama maskulinitas seperti contoh dalam olahraga dimana cara utama agar heteroseksualitas dan maskulinitas menjadi terhubung dalam budaya barat, dengan prestise yang diberikan kepada anak laki-laki yang memiliki pasangan heteroseksual dan pembelajaran seksual yang dibayangkan sebagai penaklukan dan eksplorasi. Kemudian, hal ini sebenarnya yang dikatakan sebagai dinamika maskulinitas. Maskulinitas adalah konfigurasi praktik yang dikontruksi, terungkap, dan berubah seiring waktu. Maskulinitas hegemonic cenderung melibatkan pola perpecahan internal dan konflik emosional tertentu. Hubungan dengan ayah mungkin merupakan salah satu fokus ketegangan, mengingat pembagian kerja berdasarkan jender dalam pengasuhan anak (Connell & Messerschmidt, 2005).
ADVERTISEMENT
Dalam literatur lain yang ditulis oleh Tal Peretz dalam (2016) berjudul “Men, Masculinities and Violence” menjelaskan bahwa mengatasi jender dan kekerasan berbasis jender merupakan pekerjaan sturktural fokus pada satu aspek tsruktur tidak akan membantu jika aspek lainnya diabaikan. Penting untuk mengenali dan mengatasi semua dimensi struktur yang berbeda agar intervensi menjadi komprehensif. Oleh karena itu, bekerja dengan laki-laki, maskulinitas, dan kekerasan bukanlah pengganti bekerja dengan perempuan dalam mencegah kekerasan, namun saling melengkapi. Kemudian, ada lima alasan mengapa penting mempelajari laki-laki, tidak hanya untuk kepentingan akademis namun juga untuk memperkuat penelitian feminis dan proyek perubahan sosial. Pertama, adalah bahwa kategori-kategori superordinate seperti laki-laki dan maskulinitas cenderung tidak diberi tanda dan mengoreksi kelalaian ini dengan menjadikan laki-laki dan maskulinitas sebagai objek. Kedua, jender adalah struktur sosial relasional yang tertanam dalam matriks dominasi yang bersifat interseksional, oleh karena itu mencakup pembentukan satu bagian dari struktur memberikan infomrasi pada pengetahuan kita tentang bagian lainnya, bahkan feminism yang sepenuhnya tentang pengalaman perempuan harus menyelidiki “ bagaimana laki-laki memperoleh, mempertahankan, dan menggunakan kekuasaan untuk mensubordinasikan perempuan”. Ketiga, menyelidiki kontruksi sosial dari maskulinitas akan mendenauralisasikan baik bentuk maupun superiotasnya, mempertanyakan status sosial superior laki-laki, memperdebatkan kewajaran struktur sosial yang hierarkis dan berbasis dominasi dan menjelaskan kemungkinan adanya perubahan. Keempat, penelitian terbaru menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan sosial yang saat ini menghambat perubahan sosial egaliter jender telah mengalami hal yang sama lebih berkaitan dengan gagasan tentang maskulinitas daripada feminitas. Kelima, investigasi maskulinitas memberikan informasi berharga bagi proyek-proyek feminis, memajukan “tujuan mengungkap dan mendemistifikan mekanisme kekuasaan, mengidentifikasi kontradiksi internal dan perpecahan sehingga dapat menjadi masukan bagi Gerakan perubahan. Oleh karean itu, penyelidikan terhadap atasan, kepentingan mereka dan akses mereka terhadap kekuasaan adalah cara yang efektif dan diperlukan bagi penelitian untuk mengungkap tempat-tempat dimana perubahan sosial dapat didorong secara paling efektif (Das et al., 2016).
ADVERTISEMENT
Dari penjelasan dari literatur diatas, dapat ditarik benang merahnya bahwa kajian tentng maskulinitas ini telah berkembang pesat sehingga ada kontradiksi dari beberapa ahli secara konseptual dan praksis. Kemudian maskulinitas juga dinilai salah satu bentuk hegemoni dalam artian hegemoni beberapa individu laki-laki juga hegemoni secara structural didalam sebuah sistem baik dalam sistem politik atau pun budaya.
Referensi
Connell, R. W., & Messerschmidt, J. W. (2005). Hegemonic masculinity rethinking the concept. In Gender and Society (Vol. 19, Issue 6, pp. 829–859). SAGE Publications Inc. https://doi.org/10.1177/0891243205278639
Das, A., Sharma, A., Hai, N., En, M., En, B., & Endsley, D. (2016). Editors: Guest Editors: Layout & Design Editor: Cover Image. In Graduate Journal of Social Science (Vol. 12, Issue 3). http://gjss.org
ADVERTISEMENT