Konten dari Pengguna

Dari Ritual ke Realitas: Mempertanyakan Tradisi di Era Modern

Rika Aprilia Mauluddina
Mahasiswa Psikologi, Universitas Brawijaya
15 April 2025 12:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rika Aprilia Mauluddina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tradisi nikah dini yang masih merajalela (sumber:https//pexels.com.id/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tradisi nikah dini yang masih merajalela (sumber:https//pexels.com.id/)

Kamu itu kalau dibilangin jangan lakuin, ya udah tradisinya memang begini!

ADVERTISEMENT

Tradisi itu dilestarikan, bukan dihilangin!

ADVERTISEMENT
Hal tersebut merupakan pernyataan yang sering kita temui saat mengobrol. Kita semua pasti punya tradisi yang masih dijalani sampai hari ini. Mulai dari kebiasaan saat lebaran, aturan adat, sampai larangan-larangan seperti “jangan nyapu malam, nanti jodohnya jauh.” Mungkin sebagian dari kita sudah tak percaya sepenuhnya, tapi tetap melakukannya karena malas ribut, atau sekadar tak enak hati. Namun, pertanyaan yang jarang kita jawab jujur adalah “Kenapa kita masih terus melakukannya? “Apakah karena yakin, atau hanya takut beda?”
Tradisi Itu Nyaman, Tapi Apakah Sudah Tentu Benar?
Secara psikologis, manusia punya kecenderungan untuk mencari rasa aman dalam hal-hal yang familiar. Psikolog Robert Zajonc (1968) menyebut ini sebagai mere exposure effect semakin sering kita melihat atau melakukan sesuatu, semakin besar kemungkinan kita menganggapnya “baik” atau “benar”. Tradisi, karena dilakukan berulang kali dan diwariskan turun-temurun, otomatis terasa masuk akal akan hal itu. Tapi kenyamanan bukan jaminan kebenaran. Kalau dipikir secara logis, tidak semua yang sudah lama dilakukan berarti layak dipertahankan. Dalam metode ilmiah, kebiasaan harus diuji, masih relevankah ini? Memberi manfaatkah? Atau sekadar mengulang tanpa makna?
ADVERTISEMENT
Dibelenggu oleh “Takut Diomongin” merupakan hal yang menjadi banyak tradisi tetap hidup bukan karena maknanya, tapi karena kita takut dianggap tidak sopan, tak tahu adat, atau durhaka. Di masyarakat kolektif seperti Indonesia, norma sosial punya pengaruh sangat besar. Teori social conformity dari Solomon Asch (1951) menunjukkan bagaimana seseorang bisa mengikuti sesuatu yang ia anggap salah, hanya karena mayoritas orang melakukannya. Contoh nyata: seseorang dipaksa menikah muda karena dianggap “sudah waktunya”, meski ia belum siap secara emosional atau finansial, atau dilarang mengejar pendidikan tinggi karena “perempuan itu kodratnya di rumah.” Dalam konteks ini, tradisi tidak lagi melindungi, melainkan menekan pilihan hidup individu.
Tak jarang, kita lebih takut pada komentar tetangga dibanding pada dampak panjang dari pilihan yang kita batasi sendiri. Ini yang membuat tradisi bisa berubah menjadi perangkap diam-diam, karena ia bisa membentuk pola hidup tanpa memberi ruang bertanya.
ADVERTISEMENT
Tradisi: Warisan atau Perangkap?
Sosiolog Emile Durkheim menekankan pentingnya collective conscience nilai bersama yang menjaga solidaritas sosial. Menurutnya, tradisi adalah mekanisme pemersatu, tapi ia juga menyadari bahwa ketika norma terlalu kaku, bisa terjadi ketegangan antara individu dan masyarakat (Durkheim, 1893). Hal tersebut bermaksud bahwa tradisi memang bisa mempererat, tapi juga bisa membatasi. Kita patut bertanya, ketika nilai yang diwariskan sudah tidak sesuai dengan zaman, apakah masih perlu dipertahankan dengan cara lama?. Tradisi bisa menjadi fondasi, tapi juga bisa menjadi tembok. Jika tidak dievaluasi, ia berubah dari warisan menjadi beban, dari akar menjadi belenggu untuk yang menjalani.
Namun perlu kita ingat, tidak semua tradisi salah, tapi semua tradisi patut dipertanyakan. Tentu tidak semua tradisi harus ditinggalkan. Ada tradisi yang justru memperkuat nilai-nilai baik, seperti gotong royong, saling memberi saat hari raya, atau menghormati orang tua. Tapi banyak pula tradisi yang dilestarikan hanya karena rasa takut atau tekanan sosial bukan karena nilai moral yang benar-benar kita percaya. Psikolog sosial Jonathan Haidt (2012) menjelaskan bahwa manusia sering memutuskan sesuatu berdasarkan emosi terlebih dahulu, lalu baru mencari alasan logis. Ini menjelaskan kenapa kita cenderung membela kebiasaan meski dalam hati meragukannya. Contohnya yaitu tradisi yang melarang perempuan berbicara banyak di ruang publik karena dianggap tidak sopan. Dalam banyak komunitas, nilai ini masih dijunjung tinggi, padahal jika diuji dengan nilai keadilan dan kesetaraan, ia tidak lagi relevan. Kita tak sedang melawan budaya, kita sedang menanyakan ulang, “apa makna dari ini semua?” Jika tidak bisa menjawab dengan jujur, mungkin saatnya kita memberi ruang untuk nilai yang lebih manusiawi dan kontekstual.
ADVERTISEMENT
Dari hal tersebut kita bisa melakukan hal yaitu “bertanya menjadi berani, memilih mempertanyakan tradisi”. Hal tersebut bukan berarti tidak menghargai leluhur, justru ini bentuk tanggung jawab moral kita sebagai generasi penerus menjaga yang berharga dan melepaskan yang membebani. Kita bisa mulai dari pertanyaan sederhana "Apakah ini masih relevan untuk saya? Apakah saya melakukannya karena percaya, atau hanya takut?" Di dunia ilmiah, pertanyaan adalah awal dari penemuan. Dalam kehidupan sosial, pertanyaan adalah awal dari kesadaran. Tradisi yang dijalani dengan sadar akan jauh lebih bermakna daripada tradisi yang dilakukan karena takut “dibilang apa”.
Tradisi tak harus dibuang, tapi perlu dibuka dilihat isinya. Mana yang membawa makna, mana yang sekadar rutinitas kosong. Kita bisa hormat pada masa lalu, tanpa harus membiarkannya menentukan seluruh masa depan. Pada akhirnya, kita adalah generasi yang hidup di antara dua dunia, yang diwariskan, dan yang sedang kita bangun. Jangan sampai tradisi yang seharusnya memperkuat jati diri, malah membuat kita kehilangan suara sendiri. Kita bisa tetap menyanyikan lagu lama, asalkan liriknya kita pahami. Karena hanya dengan kesadaran, tradisi bisa berubah dari sekadar ritual menjadi sesuatu yang benar-benar berarti. “Kita Boleh Hormat, Tapi Juga Harus Sadar”.
ADVERTISEMENT