Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Ketua BEM FISIP UNAIR Berbagi Pandangannya Tentang Senioritas
11 Mei 2023 6:14 WIB
Tulisan dari Rimaya Akhadiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fenomena senioritas adalah fenomena yang bisa dikatakan sudah mengakar di budaya organisasi di Indonesia. Jika dibandingkan di zaman dulu, tentu fenomena terjadinya diskriminasi hak antara senior dan junior ini sudah berangsur surut. Tetapi, sebagai praktik yang sudah sejak dulu eksis, maka senioritas tidak bisa diabaikan. Sebenarnya, apa yang menjadi dasar dari praktik ini?
ADVERTISEMENT
Menjawab pertanyaan tersebut, XL Axiata Future Leaders bersama BEM FISIP Universitas Airlangga menggelar acara talkshow pada Selasa (02/05/2023) lalu. Acara yang disiarkan langsung dari Instagram tersebut mengusung tema “Senioritas Dalam Ormawa: Kebutuhan atau Ajang Unjuk Kekuatan?”. Aulia Thaariq Akbar selaku Ketua BEM FISIP UNAIR hadir menjadi pembicara yang ikut berbagi pandangannya akan pertanyaan besar tersebut.
Menurut Ata, jika didefinisikan sebagai ajang untuk bersikap semena-mena melebihi dari apa yang menjadi haknya, maka senioritas sudah tidak relevan dengan dinamika ormawa kampus saat ini. “Karena mahasiswa sekarang itu sudah peka dan tahu bahwa budaya senioritas itu sudah nggak menguntungkan bagi dirinya,” ujar mahasiswa Ilmu Politik tersebut.
Keistimewaan hak tidak seharusnya dibedakan berdasarkan status senior dan junior. Melainkan, berdasarkan pada posisi hierarki anggota dalam sebuah ormawa. Ata menilai relasi kuasa yang demikian dapat lebih menjamin sisi profesionalitas anggota dalam menjalankan tanggung jawabnya.
ADVERTISEMENT
Ada berbagai faktor yang bisa memengaruhi mengapa sampai sekarang fenomena senioritas masih dapat dijumpai di beberapa ormawa. Dalam siaran langsung tersebut, Ata memaparkan bahwa tradisi kerap menjadi sumbernya. Atas nama membantu, senior yang bahkan sudah tidak ada lagi dalam struktur organisasi bisa memberikan tekanan pada junior-juniornya.
“Ada juga yang mungkin karena mencari kesenangannya, dengan dia diakui, dia merasa lebih senang kalau perintahnya dilaksanakan,” imbuhnya.
Sebenarnya dalam memberikan masukan, sah-sah saja bagi senior mendorong juniornya dalam melakukan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Bagi Ata, selama hal tersebut dilakukan dengan bentuk arahan yang baik, maka senioritas tidak selalu berdampak buruk. Akan tetapi, jika arahan justru sudah berwujud intervensi atau tekanan, maka senioritas dinilai hanya membawa dampak buruk bagi ruang gerak ormawa.
ADVERTISEMENT
“Jadi, kalau misalkan tadi ditanya apakah ada positifnya, mungkin bisa dibilang ada. Tapi, kalau dibandingkan dengan negatifnya, maka lebih banyak negatifnya,” ungkap Ata.
Agar tidak mendapati adanya penyalahgunaan kekuasaan alumni, maka peran pucuk pemimpin ormawa sangat dibutuhkan untuk memerangi adanya senioritas. Ata menilai bahwa sosok ketua harus berani dan mampu memotong siklus yang sudah mengakar sejak bertahun-tahun yang lalu. Sosok ketua juga harus mampu mendeklarasikan bahwa tidak ada legalitas bagi siapapun untuk menerapkan senioritas, baik itu di internal maupun eksternal.
Dalam siaran malam itu, Ata mencoba berbagi sedikit dari pengalamannya di BEM FISIP UNAIR. Mahasiswa tersebut menjelaskan bahwa hierarki kekuasaan tidak bertumpu pada siapa yang lebih tua atau siapa yang lebih muda. “Di kementerian sekarang, banyak mahasiswa baru yang angkatan 2022 dia menjabat sebagai dirjen. Dirjen itu satu tingkat di atas staf biasa dan satu tingkat di bawah menteri,” ungkapnya. Ata menambahkan bahwa posisi di dalam struktur BEM FISIP UNAIR justru ditentukan berdasarkan kompetensi seseorang yang membuatnya berhak menempati posisi tertentu.
ADVERTISEMENT
Ata berharap bahwa fenomena senioritas dapat kita lawan bersama. Beranikan diri menentang hal-hal yang dapat merugikan organisasi dan para anggota. “Pertama, ketika dihadapkan pada iklim senioritas, beranilah untuk melawan. Gimana caranya kita mengolah perlawanan itu? Kedua, caranya dengan berani menjadi pemutus rantai tersebut,” tuturnya. Terakhir yang tidak kalah penting adalah dibutuhkan budaya baru yang dapat melahirkan iklim demokratis antar anggota.