‘Dokter’ Kartini dan Penyakit Stafodemi

R H Setyo
Pembaca Buku
Konten dari Pengguna
21 April 2020 11:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari R H Setyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
RA Kartini foto Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
RA Kartini foto Kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saya memulainya dengan sebuah pesan dari seorang perempuan tua kepada anaknya yang digambarkan Raden Ajeng Kartini dalam suratnya tanggal 15 Agustus 1902 kepada Tuan E.C Abendanon. "Berpuasalah satu hari satu malam dan jangan tidur selama itu, juga harus mengasingkan diri di tempat yang sunyi sepi.” “Habis malam datanglah cahaya. Habis topan datanglah reda. Habis juang datanglah mulia. Habis duka datanglah suka.”
ADVERTISEMENT
Kartini menceritakan kepada Tuan Abendanon tentang perempuan yang bertanya kepadanya di dalam kamar. Apabila seseorang yang sudah tidak mempunyai suatu apapun, apa yang akan dilakukannya? Baik makanan, pakaian, bahkan perhiasaan. Kartini hanya menjawab dalam bahasa Jawa “Nyuwun sekar melati, hingkang mekar hing pun jering ati.” Artinya, berilah saya bunga melati yang berkembang dalam hati. Namun, kembali lagi terjadi pertanyaan balikan kepada Kartini. Bagaimana cara mendapatkan bunga itu? Jawabannya ialah pesan perempuan dalam pembukaan tulisan ini. Perempuan itu disebut Kartini dengan panggilan ibu.
Dalam situasi ini akan menimbulkan berbagai tanya. Setidaknya dua pertanyaan yang tergesa-gesa menyelinap dipikiran masyarakat tentang apa penyebab dan kapan berakhirnya pandemi COVID-19 atau Coronavirus. Global Health Security Index menjawabnya dari sebanyak 195 negeri yang terjangkit Corana, tidak satu pun yang siap sepenuhnya menghadapi virus ini. Kecepatan wabah penyakit atau epidemi ini tidak hanya melintasi wilayah negara yang menjadi pandemi tapi juga akan melintasi sejarah kehidupan bumi tentang tantangan dalam posmodern ini. Berbagai pertanyaan dan dan ketidakpastian juga melintasi pikiran manusia secara cepat.
ADVERTISEMENT
Kolom Sastrawan Goenawan Muhammad atau GM di Tempo (20/4) berjudul ‘Pakar’, dia menyampaikan tentang dua pandangan yakni banyak orang yang akan mengais-ngais jawaban karena pandemi ini dan kehadiran pakar dalam menghadapi pandemi ini. Sehingga, GM menghadirkan cara berpikir seorang Desacartes dan Heidegger tentang mengada dalam keadaan. Diakhirnya, GM memberi kesimpulan jika COVID-19 sedang mengajarkan kita untuk rendah hati, juga dalam ketakutan. Gaya tulisan aforistik GM menghadirkan tanda tanya pada setiap kalimat yang diakhir tanda titik.
Belum lagi, semakin hari masih mencekami masa depan para tenaga ahli medis di Indonesia. Sesuai hasil rilis Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pusat, ada 24 dokter telah meninggal dunia karena terjangkit virus ini. Belum masih banyak lagi, dokter dan perawat menjadi orang dalam risiko (ODR), orang dalam pengawasan (ODP), bahkan bisa jadi menjadi pasien dalam pemantauan (PDP) karena tertular pendemi yang berasal dari Wuhan. Ketika khidmat melihat kondisi ini, ada juga kegaduhan yang berasal dari kalangan anak muda milenial. Hilangnya satu nyawa tak akan pernah mengganti 1000 Triliun yang mungkin diterima sebuah negara sebagai gantinya. Pelampiasannya ialah masyarakat membuat istilah baru untuk pemberitaan yang dianggap menjadi sebuah penyakit baru, yakni infodemi. Persis gambaran pepatah kuno, buruk muka cermin dibelah.
ADVERTISEMENT
Imajinasi Kartini dalam ‘Pingitan’
Cerita tentang gagasan gadis asal Jepara bernama Kartini ini berhasil menggugah dunia. Zaman imperialisme dimana terjadi pemisahan pribumi Hindia dengan Belanda atau kulit cokelat dengan kulit putih merangsang pikiran perempuan yang lahir 21 April 1879. Ia juga harus merasakan feodalisme Jawa yang kental di tengah masyarakat. Seorang gadis keturunan bangsawan yang enggan dipanggil Raden Ajeng seperti bangsawan yang lain. Ia berusaha melepaskan gelar kebangsawanannya demi memisahkan diri dengan gaya feodal Jawa. Bahkan, namanya pun disejarahkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya berjudul ‘Panggil Aku Kartini Saja’. Judul ini berasal dari penggalan surat Kartini kepada Nona E.H Zeehandelaar pada 25 Mei 1899. Menutup abad 19 itu, Kartini mengenalkan dirinya kepada Zehandelaar dan menceritakan bagaimana seorang perempuan bangsawan harus melakoni kewajiban budaya ‘pingitan’ karena memasuki usia remaja ke dewasa. Dalam kamar bertahun-tahun dan lingkungan rumah saja, Kartini menuliskan awal perlawanannya terhadap budaya Jawa itu.
ADVERTISEMENT
Mengapa Kartini ingin menjadi seorang dokter? Dalam zamannya, ia sempat menggambarkan bagaimana kolera, pes, dan beberapa wabah lainnya menyerang masyarakat Jawa. Bahkan, ia mempunyai catatan jika di Jawa atau seluruh Hindia Belanda rata-rata mempunyai angka kematian 20.000 untuk perempuan saat melahirkan dan 30.000 anak lahir meninggal karena perawatan bagi ibu melahirkan yang kurang memadahi. Sehingga, ketika menjadi dokter minimal ia akan belajar juga tentang kebidanan. Celakanya, Kartini pun harus meninggal dunia pula empat hari usai melahirkan anaknya. Namun, pendidikan ini sulit didapatkan Kartini, karena budaya belum ada yang memberikan contoh jika ada dokter perempuan. Dan ini sangatlah berat baginya, karena ayahnya tidak setuju.
ADVERTISEMENT
Profesi keduanya yang diinginkan Kartini ialah guru. Baginya, profesi ini yang paling disetujui sang ayah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang Bupati Jepara. Ia bercita-cita menjadi guru untuk mendidik anak-anak generasi muda yang akan menjadi perempuan dan ibu di kemudian hari. Terakhir, menjadi pengarang atau penulis. Menurutnya, pekerjaan ini dapat mengangkat derajat, memajukan bangsa Indonesia (Hindia,dulu). Bahkan Kartini sempat ingin melakoni menjadi dokter yang juga menulis atau guru yang juga terus menulis. Yang jelas, dalam suratnya ini ia ingin menjadi seorang pengarang yang berpengaruh.
ADVERTISEMENT
Datangnya Wabah Baru: Stafsus Informasi ‘Presiden’ Milenial (Stafodemi)
Mengingat Kartini, bukan hanya sebagai perempuan, namun bagaimana menjadi manusia yang penuh impian dan imajinasinya untuk mencerahkan peradaban Indonesia patut terus diingat. Apalagi bagi kalangan muda yang kini bermetamorfosis dari julukan agen perubahan menjadi agen perebahan. Baca lagi tulisan saya berjudul ‘Transformasi Agen Perubahan ke Agen Perebahan’ di kolom opini Kumparan.
Begitu pula ada tujuh staf khusus Presiden Jokowi yang sejatinya menjadi role model dalam metamorfosis pemuda sebagai agen perubahan, justru akhir-akhir ini menimbulkan banyak kontroversi. Semestinya, mereka di tengah terpaan pandemi COVID-19 ini, justru bisa membisikkan suara kepada Presiden Joko Widodo untuk mendengarkan para pakar. Apalagi mereka juga lulusan universitas ternama di dunia. Stok intelektualistasnya harus bisa menembus kemacetan berpikir, bukan menimbulkan kemacetan baru karena kegaduhan yang mereka buat. Saya mencatat ada empat kontroversi yang melekat pada stafsus ini.
ADVERTISEMENT
1. Beredarnya surat bertandatangan Andi Taufan Garuda Putra yang sekaligus sebagai CEO PT Amartha Mikro Fintek yang meminta camat seluruh Indonesia untuk bekerjasama dengan program Relawan Desa Lawan COVID-19 pada 1 April lalu. Gambaran teknisnya, PT Amartha akan melakukan pendataan kebutuhan APD di puskesmas atau layanan kesehatan desa dengan menyebutkan perusahaannya sebagai mitra pemerintah dengan menyiapkan 3000 tim lapangan untuk 12.300 desa. Meskipun dalam klarifikasinya, ia meminta maaf dan menarik surat tersebut. Andi juga menyebutkan jika tidak akan menggunakan APBN justru akan menyumbangkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk melaksanakan program tersebut. Tapi hal ini merupakan maladminstrasi, karena Andi tidak berhak menggunakan kop surat tersebut disertai tanda tangannya.
2. Wacana yang diberikan Adamas Belva Syah Devara sekaligus CEO Ruang Guru tentang Peran Milenial dalam Pencegahan dan Kesiapsiagaan COVID-19 pada 22 Maret lalu. Pada siaran konferensi pers di BNPB RI, Belva secara hermeunitika (makna) Belva memberikan pesan agar anak muda mau membantu pemerintah dalam hal melakukan pembatasan fisik dan sosial sebagai langkah preventif. Lalu pada menit 11 detik 17, ia menyebutkan “ini bukan waktu saling kritik, saling menjatuhkan atau saling membully. Kritik membangun boleh tapi alangkah baik lagi bertanya pada diri sendiri apa yang saya lakukan. Karena menyalakan lilin itu jauh lebih baik daripada mengutuk kegelapan”. Kalimat ini menutup testimoninya dan dijadikan sebuah poster resmi BNPB. Namun, masalahnya Ruang Guru miliknya mendapatkan sekian triliun untuk mengerjakan proyek pelatihan prakerja, khususnya mereka yang terdampak COVID-19. Meskipun tak ikut dalam penunjukan proyek ini, namun Belva ialah seorang figur masyarakat. Maka konflik kepentingan akan terjadi di antara jabatannya sebagai CEO Ruang Guru dan stafsus presiden.
ADVERTISEMENT
3. Angkie Yudistia yang juga blunder sempat mengunggah informasi palsu (hoaks) ke akun instagramnya tentang cara mendeteksi virus Corona selama 10 detik meskipun ia mencantumkan asal informasi tersebut. Setelah mendapatkan banyak kecaman dari netizen, ia pun meminta maaf dan menghapus postingan itu pada 16 Maret. Masalahnya, hoaks tetaplah hoaks. Apalagi dalam kondisi seperti ini, justru ia membuat polemik baru.
4. Demikian juga yang dilakukan Billy Mambrasar yang menuliskan biodata di laman Linkedln. Pada kolom pengalaman ia menuliskan jabatan sebagai staf khusus yang diangkat presiden dan mengklaim posisi ini setingkat menteri. Masalahnya ialah terlalu sulitkah membedakan menteri dan staf khusus?
Belum usai Indonesia memerangi wabah ini, justru datang masalah dari orang-orang pilihan Presiden Joko Widodo. Mereka merupakan figur publik, sehingga wajar jika perhatian masyarakat begitu ketat terhadapnya. Sebab, ada kenikmatan (pleasure) yang tidak bisa dirasakan oleh masyarakat biasa, yakni nikmat penghargaan dan segala konsekuensi logis dari jabatan itu. Seperti gaji dan fasilitas lain tersebut dialokasikan dari APBN. Apalagi sekarang istilah baru infodemi telah dipatenkan World Health Organization (WHO) yang menyebut Infodemi ialah penyebaran berita atau informasi. Infodemi menyebar lebih cepat daripada pandemi Corona. Membandingkan kedua istilah perluasan ini membuat saya gatal. Maka saya mengajukan istilah tentang 'Stafodemi' untuk kondisi di Indonesia. Yakni penyebaran informasi tunggal dari staf yang menyesatkan saat kondisi pandemi. Mulai dari salah buta konsep perbedaan menteri dan staf khusus, menambah penyebaran hoaks di media sosial lewat instagram, poster BNPB tentang ajakan menyalakan lilin dari alokasi APBN, dan mencari kesempatan pendataan bahkan maladministrasi di tengah pandemi Corona.
ADVERTISEMENT
Mengembalikan ‘Kartini’ Sebagai Hunian Berpikir
Kartini yang ingin bebas karenaa merasakan kekangan feodalisme Jawa, berbanding terbalik dengan kondisi milenial saat ini. Serba bebas dan terbuka untuk memperoleh informasi dan pengetahuan. Sedangkan, Kartini harus melakukan rayuan dan negosiasi pada ayahnya sendiri. Dan berkali-kali ditolak ketika ia mempunyai suatu cita-cita. Ada percakapan imajiner Kartini yang sangat menyentuh. Ia gambarkan percakapan ini ketika ia mempertanyakan arti sebuah kewajiban kepada Tuhan. Ia menceritakan jika mendengar suara yang nyaring dan kuat. Hal ini ditulis dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon pada 4 September 1901.
ADVERTISEMENT
Pingitan yang dilakukan Kartini ialah bentuk ia menghargai kebudayaan yang lahir di Jawa, meskipun ia menolak juga bagaimana perempuan tidak diberikan hak pendidikan dan pengajaran seperti laki-laki pada umumnya. Istilah pingit dalam Jawa merupakan sebuah pengingan atau imbauan yang dilakukan dalam rumah. Persis seperti apa yang dilakukan masyarakat di tengah wabah Corona.
Semua elemen mendapatkan imbauan untuk ‘memingit’ dirinya sendiri. Agar potensi penyebaran COVID-19 bisa dicegah dengan menghindari keramaian dan kerumunan. Justru dari program pemingitan atau ‘merumahkan’ ini, Kartini mempunyai pikiran-pikiran yang monumental. Pram menyebutnya sebagai perempuan pertama yang sangat intelektual dalam melakukan kritik kebudayaan terlebih yang statis.
Dari konsep pemingitan ini, juga mirip apa yang dilakukan Descartes yang tak hanya filsuf itu, Goenawan Muhammad dalam kolomnya berjudul ‘Pakar’ menggambarkan kemungkinan publik lupa atau tidak tahu jika Descartes ialah pencetus Revolusi Sains. Kalimat monumental dari filsuf Perancis ini yang sering didengar ialah ‘Cogito Ergo Sum’, digambarkan Goenawan Muhammad ketika menemukan itu Descartes sedang melakukan perenungan atau pengisolasian untuk selalu bertanya.
ADVERTISEMENT
Melompat dari pandangan Goenawan Muhammad tentang Descartes, saya juga teringat karya tulisan Martin Heidegger yang berjudul 'Building Dwelling Thinking' atau dalam arti Indonesia ialah Membangun Rumah Berpikir. Karya ini menuntun kita untuk mempertanyakan antara membangun dan menghuni. Dua hal yang dicari hubungannya oleh Heidegger. Ia detail menyebut asal kata bangunan ialah Buan dalam Bahasa Jerman di masa lalu diartikan dengan menghuni atau bauen yang artinya membangun. Namun sebagai kata kerja, Heidegger menerangkan jika bauen ialah menghuni. Di sisi lain, fenomenolog Jerman ini menjelaskan ada beberapa jejak kata yang mempunyai irisannya. Seperti nachbar, nachgebur, atau nachgebaur yang berarti penghuni terdekat atau tempat tinggal di dekat kita disebut tetangga.
Saya bukan seorang filolog atau seorang yang mempelajari tentang asal kata kuno tersebut. Tapi pikiran saya langsung menuju ke istilah Jawa yang menyebutkan bumi dengan Buwana. Hal tersebut bisa dijejaki dengan penyebutan istilah Sultan Hamengkubuwono dan sebagainya. Akhirnya, Heidegger pun berkata “Menjadi manusia berarti berada di bumi sebagai makhluk fana. Inilah arti ‘menghuni’.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari kemiripan kata itu, saya melihat Kartini sebagai jejak tempat tinggal yang masih layak untuk dihuni. Pikiran-pikiran Kartini dalam kumpulan suratnya yang berjudul ‘Door Duisternis tot Licht’ menjadi rumah yang bisa disandari untuk dihuni. Heidegger pun menerangkan jika menghuni menunjukkan bahwa membangun berarti menanam hal-hal yang dapat tumbuh dan membangun inilah yang mendirikan hunian-hunian. Kita mungkin akan kesulitan mencari jejak Kartini dalam praksis, namun secara pemikiran, Kartini telah menuliskannya kepada kawan-kawannya tersebut. Pikiran cemerlang yang dibalut dengan bingkai curahan hati (curhat) tentang kondisi masyarakat Hindia, khususnya Jawa.
Secara esensi kekinian, pikiran Kartini merupakan hunian kuno yang layak untuk pijakan milenial dalam menjalankan pengabdian dan peran dalam budaya (culture) maupun modernisasi. Kartini menyampaikan semua pikirannya juga dalam usia sangat belia. Ia justru tak sempat memikirkan hal apa yang akan didapatkan jika menjadi anak seorang bupati. Dalam konteks kekinian dan kedaruratan, bisa dilihat bagaimana stafsus milenial berbanding terbalik dengan Kartini. Dahulu darurat karena kolonial, kini juga darurat wabah. Bahkan ilmu pengetahuan pun telah berkembang pesat, berbeda kondisi dengan saat Kartini hidup. Apakah pandemi ini akan melahirkan ‘Kartini’ lagi?
ADVERTISEMENT
Sekali lagi “Pergilah, berbuatlah sesuatu untuk mewujudkan cita-citamu. Berbuatlah untuk hari depan. Lakukan untuk kebahagiaan ribuan orang yang tertindas oleh hukum yang kejam karena paham yang keliru tentang benar dan salah, tentang baik dan buruk. Pergilah. Pergilah hadapilah derita dan terus berjuang. Berbuatlah untuk sesuatu yang kekal!”
Rino Hayyu Setyo*
*Penulis adalah mahasiswa program magister Pendidikan Luar Sekolah FIP UM. Berkantor di tugumalang.id partner kumparan.com serta siswa Sekolah Indonesia Bernalar. Sekarang tengah mendirikan rintisan lembaga penelitian I-READ