Menguji Kolaborasi Akademi di Tengah Pandemi

R H Setyo
Pembaca Buku
Konten dari Pengguna
29 April 2020 10:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari R H Setyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto dari pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto dari pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hidup yang ku jalani, masalah yang ku hadapi Semua yang terjadi pasti ada hikmahnya.
ADVERTISEMENT
Jika kita mau menengok sedikit ke belakang, ada sebuah dengan tema bencana dari D’Masiv berjudul Esok ‘Kan Bahagia. Rian sang vokalis membawakannya bersama Giring, Ariel, dan Momo. Memberi pesan tentang penerimaan tragedi untuk terus dijalani. Seperti sekarang, pandemi pasukan Corona yang tak jelas siapa panglimanya sedang menyerang seluruh sektor kehidupan manusia. Dia datang tanpa perintah, dan entah kapan dia menyerah. Mengutip sebuah penggalan lirik judul ‘Utarakan’ Banda Neira, “Dan hari ini tak ‘kan kau menangkan, jika kau tak berani mempertaruhkan”.
Tanpa mendengar lagu ini, mungkin masyarakat yang mulai jenuh dengan kondisi untuk duduk dan berdiam diri di rumah, mereka mulai menyebar untuk mencari penghidupan. Ada yang kembali ke pasar untuk berdagang, ada yang kembali masjid untuk merapal doa. Para tukang becak yang menunggu pelanggan atau bahkan bantuan pun mulai memarkir di pinggir jalan. Para sopir angkutan memindah kekuatan tangan menjadi juru panggul di pasar.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, semua upaya dilakukan untuk tetap hidup, dalam arti melanjutkan kehidupan dan mencari penghidupan. Mereka tak butuh modal keilmuan, mereka hanya bermodal keberanian. Sebab kata orang Minang, alam takambang jadi guru, karena itu pengetahuan bisa dicari di jalanan. Sedangkan, episentrum atau pusat ilmu pengetahuan telah lama tertidur. Para jutaan pikiran sarjana tengah macet karena Corona. Bahkan, kondisi ini mungkin hanya dianggap sebagai liburan. Wajar, apabila meskipun di tengah pandemi Corona, warga pun akhirnya kembali menyebar dan jalan kembali ramai.
Mudik sebagai Pilihan
Berdasar data yang dicatat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) sudah 1,9 juta orang mendapatkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Khususnya bagi para perantau, hidup tetap membayar kos dan berusaha membuang kelaparan dengan makan. Sedangkan, pemerintah tetap bersikukuh untuk menggelontorkan 20 T untuk pelatihan daring dengan beberapa mitra yang telah ditunjuk. Dengan dalil, pelatihan itu akan memberikan potensi kehidupan baru usai Coronavirus atau COVID-19 nanti. Sebelumnya, saya sudah sempatnya membahas tentang mudik di Kumparan.com dengan opini berjudul Transformasi Agen Perubahan ke Agen Perebahan.
ADVERTISEMENT
Pembatasan yang diimbau pemerintah pun setiap hari disampaikan di depan layar televisi dan gadget. Termasuk wacana untuk tidak mudik ke kampung halaman bagi masyarakat yang sedang berada di perantauan. Seperti mahasiswa dan para pekerja yang biasanya mempunyai aktivitas di tempat perantauannya. Wacana ini dilihat sebagai langkah untuk memutus potensi rantai penyebaran virus Corona. Dengan demikian, para masyarakat yang berada di luar kampung halamannya harus memikirkan sejenak apa konsekuensi dari imbauan tersebut.
Bahkan, beberapa daerah sudah menyiapkan tempat karantina khusus untuk masyarakat yang nekat untuk mudik ke kampung halamannya. Meskipun bisa diwajari, tidak adanya kegiatan selama berada di kota perantauan juga tetap membutuhkan pengeluaran keseharian. Bahkan hanya tiduran di kamar kos saja, organ tubuh tetap membutuhkan asupan gizi agar tetap membuat manusia nyenyak tidur.
ADVERTISEMENT
Belum lagi ketika mengambil keputusan #dirumahaja, maka untuk memenuhi kebutuhan sebagai manusia yang berkomunikasi, mereka membutuhkan paketan data untuk gelombang sinyal ponselnya. Dengan demikian, rasa bosan yang bisa saja datang setiap saat bisa dikurangi dengan aktivitas ringan di dalam kamar perantauan.
Konsekuensi dari semua itu ialah alat tukar untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Padahal, banyak perusahaan telah merumahkan masyarakat. Karena mesin produksinya berhenti disebabkan oleh situasi Corona yang berakibat adanya pembatasan sosial ini. Di sinilah, baru masyarakat akan mempertanyakan jaminan apa yang akan didapatkan dari institusi publik yang membatasinya untuk melakukan kegiatan sehari-hari.
Apakah ada pasokan kebutuhan makan dan komunikasi tersebut? Jika tidak ada, maka sekali lagi akan wajar jika masyarakat memutuskan untuk pulang kampung. Pertanyaannya, “Apakah bertemu dengan keluarga di rumah bisa dikonversi dengan tatap muka lewat layar kaca apalagi tidak ada bantuan nilai tukar untuk gelombang sinyal?”
ADVERTISEMENT
Pendidikan Nonformal dan Kesehatan Jadi Garda Terdepan
Wacana adanya relawan dokter dan tenaga kesehatan untuk terjun menangani pandemi ini harus diacungi jempol, artinya kemanusiaan telah memanggilnya. Mengetuk kembali hati arti kata profesi. Pemerintah pun mulai menyiapkan sejumlah komponen untuk menerjunkan mahasiswa kedokteran dan keperawatan untuk turun tangan dalam situasi ini, tak cuma urun angan. Pemerintah menyediakan dana 305 M melalui realokasi anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Wacananya, Nadiem Makarim mengucurkan dana tersebut untuk konsentrasi memperbaiki 13 rumah sakit pendidikan dan menyiapkan 15 ribu mahasiswa kedokteran dan keperawatan untuk dijadikan relawan saat pandemi.
Apa saja yang akan ditugaskan kepada mahasiswa kedokteran dan keperawatan ini? Sesuai rapatnya dengan Komisi X DPR RI, mahasiswa akan diberikan pelatihan menjadi narahubung informasi, melakukan triase dan penelusuran pasien Corona, dan mereka disiapkan untuk pengujian pasien. Ide tugas untuk relawan Corona sayangnya hanya untuk para mahasiswa kedokteran dan keperawatan. Padahal seperti yang diketahui, semua sektor masyarakat terkena dampak dari Corona. Seperti pendidikan, perekonomian, lapangan pekerjaan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Para murid ialah pasien. Layanan pendidikannya bisa jadi hilang. Ia bisa dikatakan ‘sehat’ apabila mempunyai kesadaran belajar tinggi disebut dengan tanggung jawab mandiri belajar. Tanpa itu, seorang pelajar hanyalah manusia yang bergantung pada sistem relasi guru-siswa yang selama ini telah berjalan di sekolah. Kondisi ini memang banyak yang bilang ialah untuk mempercepat slogan merdeka belajar seperti apa yang disampaikan Nadiem Makarim. Namun, berdasar dari survei i-READ tentang efektivitas belajar yang dirilis tugumalang.id dengan judul Survei: 88,5 Persen Mahasiswa Merasa Bosan Belajar di Rumah dari 330 koresponden mahasiswa di Jawa Timur yang menanggapi pada Senin (13/4) menyebutkan 88,5 persen mahasiswa merasa bosan menjalankan physical dan social distancing. Sedangkan yang merasa tidak bosan melakukan kegiatan di rumah hanya 11,5 persen.
ADVERTISEMENT
Ditanya tentang kegiatan mengisi waktu luang saat menjalani pembatasan fisik dan sosial, paling tinggi memilih opsi medsos-an sebesar 48,2 persen. Ada pula mahasiswa yang memilih 19,9 persen untuk membaca buku atau e-book. Sebanyak 13,5 persen mahasiswa memilih tidur dan main game sebesar 10,2 persen. Sisanya sebesar 8,3 persen memilih untuk menulis. Padahal survei ini diberikan kepada mahasiswa yang semestinya sudah mempunyai kedewasaan untuk memilih kebutuhan belajarnya di perguruan tinggi. Namun, demikian antara yang membaca buku dengan medsos-an berbeda jauh. Apalagi untuk anak sekolah dasar (SD) yang mereka masih banyak bergantung bantuan belajar dari gurunya.
Kondisi pandemi COVID-19 yang tidak bisa diketahui kapan berakhirnya ini pun wajar membuat masyarakat kembali melakukan aktivitas seperti biasanya. Seperti yang kita ketahui, masyarakat butuh memenuhi hajat hidupnya sehari-hari. Jika ada jaminan sosial dari negara yang tepat sasaran dan mencukupi keluarganya mungkin masyarakat akan diam di rumah sesuai anjuran pemerintah. Termasuk, dalam pendidikan adanya kegiatan pembelajaran daring ini juga hanya akan membuat siswa asal-asalan mengerjakan tugas. Apalagi, bagi mereka yang tidak punya gadget atau daerahnya kesulitan bahkan tidak ada sinyal yang baik sehingga mungkin lebih baik menganggap kondisi ini sebagai liburan belaka.
ADVERTISEMENT
Saya berharap ada sebuah kolaborasi dari mahasiswa dan sarjana yang diorganisir dengan seleksi ketat, sehingga bisa dikirim ke daerah yang masih aman untuk memberikan materi kepada siswa yang ada di desa tersebut. Semua pihak mulai dari RT/RW, desa, kecamatan, hingga kabupaten/kota bisa saling berkoordinasi untuk menjadwalkan para mahasiswa dan sarjana untuk mendatangi rumah warga. Mengapa harus sangat ketat seleksinya? Sebab, mahasiswa dan sarjana itu akan diseleksi dengan harapan mereka melakukan dengan motif profesi bukan mencari sensasi.
Kegiatan yang seperti ini semestinya bisa dilakukan oleh negara karena jurusan Pendidikan Luar Sekolah/ Pendidikan Nonformal/ Pendidikan Masyarakat di beberapa perguruan tinggi yang mempunyai Fakultas Ilmu Pendidikan telah menyiapkan mahasiswa dan sarjana yang mengetahui secara matang paradigma developmentalis atau pembangunan masyarakat. Kajian ini banyak didiskusi dari tipe program pendidikan nonformal yang disampaikan Patrick Boyle (1981).
ADVERTISEMENT
Daerah yang masih aman di desa tersebut bisa digunakan tempat untuk mengabdikan dirinya. Dengan mengorganisasi dari beberapa bidang pengetahuan dari keguruan. Sehingga, ada kerja sama antara profesi kesehatan dengan pendidikan. Hal ini akan membuat masyarakat merasakan kehadiran pemerintah di level RT/RW. Munculnya potensi keramaian dan kegaduhan pun bisa dicegah melalui agen kesehatan dan pendidikan yang dikirimkan pemerintah ke desa-desa tersebut. Sembari, pemerintah terus melakukan imbauan agar masyarakat tertib melakukan pembatasan fisik dan sosial.
Rino Hayyu Setyo*
*Penulis adalah mahasiswa program magister Pendidikan Luar Sekolah FIP UM. Berkantor di tugumalang.id partner kumparan serta siswa Sekolah Indonesia Bernalar. Sekarang tengah mendirikan rintisan lembaga penelitian i-READ.